Hilalnya sudah kelihatan. Memang bukan cahaya yang dinanti. Bukan nasib yang berubah. Tetapi, perspektif.
Apa lawan dari tragedi? Komedi.
Hilalnya sudah kelihatan. Memang bukan cahaya yang dinanti. Bukan nasib yang berubah. Tetapi, perspektif.
Apa lawan dari tragedi? Komedi.
Hari kesepuluh. Tiba-tiba tanpa diduga saya mendapat uang sebesar Rp.250.000 dari bank BNI sebagai reward karena terlalu sering menggunakan mbanking. Hmmm… saya jarang sih mendapat model reward atau hadiah begini jadi disyukuri saja. Inikah yang dinamakan keberuntungan? Tidak perlu usaha, tapi bisa langsung dapat?
Sementara sesuatu yang diusahakan itu lain lagi. Kadang rasanya letih. Kadang terganjal. Kadang mau menyerah. Sekarang rasanya seperti menunggu nomor antrian. Saya masih menanti.
Sudah tiga hari belakangan ini saya memantapkan diri untuk berolahraga. Kalau orang lain berolahraga untuk hidup sehat, saya berolahraga supaya bisa makan lagi hehehe.
Bercandaaaa! Jadi ceritanya, berat badan saya naik drastis disebabkan beratnya beban salib yang membuat beta lari ke makanan. Abis makan langsung tidur kayak ular, jadinya kurang gerak kan. Akibatnya, badan saya menjadi tidak seimbang seperti badan Pikachu: gede di atas, tapi kakinya mungil. Tubuh mengirimkan informasi itu melalui lutut yang mulai ngilu-ngilu pertanda tidak kuat menumpu badan saya. Begitulah...apa boleh buat. Biar kita tetap kuat menjalani derita hidup ini, mari kita barengi dengan berdoa dan berolahraga.
Awalnya, saya memulai acara olahraga ini dengan niat dulu. Kumpul niatnya sekitar dua bulan. Lalu mikir dulu mau memilih olahraga apa. Tidak ada proses instan dalam berolahraga. Tapi, kita bisa memilih yang mana yang nyaman. Mau lari, malas karena medannya gak oke. Mau ke gym mahal. Ya, udah goler-goler di tempat tidur dulu sambil ngemil kue taiyaki dan nonton Netflix.
Lalu, saya ingat akan sepeda statis peninggalan Eyang yang tidak terpakai. Dulu Eyang membeli sepeda statis itu untuk melatih gerakan persendiannya pasca kena serangan stroke. Setelah googling khasiat naik sepeda statis, ternyata cocok dengan kebutuhan saya. Kenapa tidak naik sepeda beneran? karena saya tidak berani naik sepeda di jalan yang ramai, buta arah, dan tidak punya sepedanya juga.
Bagaikan marmut yang berlari di roda yang tidak bergerak, begitulah saya dengan sepeda statis ini. Cara olahraganya biasa saja sih. 10 menit dulu untuk 2 hari. Lalu nanti naik jadi 15 menit. Nanti naik lagi 20 menit begitu seterusnya sampai saya sanggup sepedaan 30 menit x dua kali sehari pagi dan sore. Kedengarannya gampang ya naik sepeda statis doang. Tapi, gengs, 10 menit itu rasanya kayak lamaaaaa banget. Apalagi kalau beban kayunya ditambah. Beneran sama aja kayak lari deh. Keringatan juga kita.
Supaya saya tidak bosan dan merasa proses ini berat, saya membutuhkan distraksi supaya saya tidak fokus ke waktu. Caranya dengan mendengarkan lagu atau kalau tidak sambil nonton film. Lumayanlah bisa membantu meski kadang mengeluh juga, "Hahh...udah capek begini ternyata baru 4 menit?".
Kalau orang lain olahraga menggunakan lagu-lagu yang upbeat dan ceria, saya kebalikannya. Saya menggunakan lagu-lagu cinta yang sedih-sedih manja. Kayak tadi nih sepedaan diiringi lagunya Vierra dan Stinky hahahaha. Sebenarnya sih ini pereferensi saja gess. Kebetulan saya kalau terhanyut melankolia jadi suka lupa sama waktu. Kan tujuan saya memang mengalihkan diri dari waktu biar bisa enjoy sama olahraganya dan bukan pada hasil olahraganya. Yang penting konsisten! Eaaaaa.
Udah dulu ya, selamat Minggu Palma dan salam olahraga!
Hari kedelapan. Belum ada tanda-tanda perubahan nasib. Namun, perasaan saya sudah lebih mendingan. Saya tahunya dari mimpi saya semalam. Waktu #Day 1, mimpi saya buruk. Perasaan tertolak itu muncul di alam bawah sadar dan termanifestasi dalam ikon-ikon yang mengingatkan saya pada hal-hal yang berhubungan dengan pergumulan saya saat ini. Tapi tadi malam saya mimpinya manis. Mungkinkah mimpi kali ini adalah pertanda dan bukannya proyeksi insecurity saya? Biarlah kita simpan di alam kemungkinan dulu. Nanti waktu yang akan menjawab.
***
Suatu ketika saya mendengarkan lagu Salahkah Aku Terlalu Mencintai-mu dari duo Ratu yang diputar di dalam cafe tempat saya biasa nongkrong. Sambil ikut nyanyi-nyanyi penuh penghayatan, saya tiba-tiba terkaget sendiri karena umur lagu ini ternyata sudah hampir 20 tahun. "Wah, waktu cepat sekali berlalu ya?". Saya mendengarkan lagu ini pertama kali waktu masih SMP dan bayi-bayi yang dilahirkan di tahun lagu ini dirilis adalah anak-anak yang sekarang menjadi mahasiswa saya.
Kadang-kadang, saya sedih mendengar jawaban mahasiswa kalau ditanya soal cita-cita. Kebanyakan mindset-nya ingin menjadi pekerja. Selain jadi buruh, mahasiswa yang kaya pengennya jadi pengusaha. Jarang sekali yang punya minat di dunia pemikiran. Saya jadi menyadari kalau kebanyakan mahasiswa saya memang berasal dari kelas menengah yang pikirannya sudah dikondisikan untuk bekerja dan mengonsumsi. Kelas menengah adalah target pasar paling besar dalam sistem kapitalisme.
Saya pernah mendiskusikan hal ini dengan sahabat saya, Angel. Kenapa ya kita susah sekali mempengaruhi orang-orang dengan ide tentang pembebasan? Begitu kami berbicara tentang keadilan dan kesetaraan gender langsung kami ter-block. Meskipun ada juga yang senang dan kemudian pelan-pelan bertransformasi.
Saya merenung. Yang ditakuti manusia kan keadaan yang tidak pasti. Sementara sistem patriarki sudah mapan dan menawarkan kestabilan. Sesuatu yang bisa diprediksi. Bagaimana kami bisa menang, apabila penjara yang ditawarkan itu membuat orang aman, nyaman, dan stabil? Feminisme adalah gagasan yang masih mencari-cari bentuk sebagai hasil perlawanan dari sistem yang sudah ada. Keadaan ini menyebabkan ketidakpastian dan ketidakamanan. Menjadi feminis berarti memiliki kesadaran bahwa dirinya berada dalam penjara. Bebas dari penjara yang satu, bisa masuk lagi ke penjara yang lain. Kadang-kadang bebas, tapi kadang-kadang juga masih terjebak. Sikap reflektif dan kritis pada diri sendiri dan dunia ini penting sekali disini. Yang kita lawan sesuatu yang mengontrol alam bawa sadar kita. Sesuatu yang disebut Gramsci sebagai hegemoni.
Pembebasan berarti membiarkan diri masuk dalam kemungkinan tidak terbatas. Bebas berarti memiliki keleluasaan untuk menjalani hidup dengan sadar. Tapi, rupanya pembebasan itu bisa menjadi mengerikan buat manusia. Seperti bangsa Israel yang meski sudah bebas dari penjajahan Mesir, tapi kadang-kadang rindu untuk kembali dijajah ketika menghadapi rintangan. "Duh, ngapain sih kita susah-susah begini? Lebih enak dulu waktu masih di Mesir...". Kerentanan dan sulitnya beradaptasi menghasilkan tindakan yang inkonsisten. Pantaslah dulu Musa suka ngamuk-ngamuk sama mereka ya hehehe.
Jujurly, saya juga masih merasakan turbulensi antara kondisi internal dan eskternal sebagai resiko atas pilihan menjalani skenario hidup yang saya desain sendiri. Menjadi beda ternyata meminta harga yang mahal. Berapa banyak orang yang mau bikin susah diri untuk bertahan dalam ketidakpastian? Berapa banyak di antara kita yang kuat? Mengapa kita tetap bertahan meski tahu jalannya tidak mudah?
Sayup-sayup suara Pinkan Mambo mengalun,"Jangan tanyakan mengapa, karena aku tak tahu..."
***
Tanpa terasa sudah masuk di hari ketujuh dalam masa pemulihan luka emosional-spiritual saya ini. Kadang saya bingung, saya harus ke pendeta atau psikolog ya? hehehe.
Kemarin malam saya movie marathon serial Maya and The Three di Netflix. Ada kutipan di serial itu yang mengingatkan saya bahwa "daripada mengeluh untuk hal yang tidak saya miliki, lebih baik saya mensyukuri apa yang saya miliki". Film itu membahas tentang perjuangan melawan tiran. Karakter utamanya berasal dari representasi kelompok liyan yaitu mereka yang hybrid atau dianggap beda secara fisiologis. Dalam penelitian saya bersama teman-teman PLUSH tentang kekerasan terhadap kelompok minoritas seksual, kami menemukan akar penyebab kekersan yang mereka alami. Kami bertanya mengapa mereka mendapat kekerasan? jawabannya "karena kami beda, kami tidak seperti yang masyarakat harapkan".
***
Inilah masalah dunia hari ini: unrealistic social expectations. Ada standar ideal yang membentuk hierarki ketimpangan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Manusia modern punya kecenderungan untuk memilih dan menyukai sesuatu atau seseorang yang memenuhi kualitas-kualitas yang mereka inginkan. Manakala seseorang/sesuatu itu tidak memenuhi standar, maka ia cenderung diremehkan, dinomorduakan, atau dibuang. Orang-orang yang tidak masuk ke dalam standar kemudian dianggap gagal dan kerap dijadikan tumbal untuk memapankan hierarki yang sudah terlanjur tercipta.
Ketika ada yang menanyakan progress-ku dan setelah saya ceritakan apa adanya, respons orang-orang sungguh menarik. Hambatan yang saya alami dianggap kegagalan. Dalam imajinasi mereka, kesuksesan meraih sesuatu itu lancar jaya. Semudah satu kali mencoba dan langsung dapat. Ketika ada yang prosesnya tidak selancar yang dibayangkan, maka yang bersangkutan dianggap tidak mampu. Lalu kita tidak berpikir kritis lagi. Kita tidak bertanya mengapa ia bisa tidak mampu? Mengapa ada orang yang sama-sama berjuang, sama-sama berikhtiar, sama-sama berusaha keras, tetapi akhirnya yang satu bisa terbang, sementara yang satu sayapnya terbelenggu sehingga sulit terbang?
Dalam proses menerima itu, timbul obsesi saya untuk mempertanyakan hal-hal "mengapa ini terjadi". Sayangnya, sikap itu dirasa menganggu, bahkan dianggap menjadi beban. Saya berhadapan dengan dilema ini. Kalau saya protes pada Tuhan, maka saya dituduh kurang bersyukur. Kalau saya mengeluh tentang ketidakadilan sistem, maka saya dicibir salah sendiri siapa suruh terlahir dalam kelas menengah ngehek yang aksesnya terbatas. Lalu, kemanakah kubawa risalahku ini?
Dalam masyarakat kapitalis, kegagalan bukanlah hal yang harus diceritakan. Narasi kegagalan itu disingkirkan, menjadi "the other". Orang hanya mau membahas kesuksesan saja dan tidak memberi tempat pada kegagalan. Sudah beberapa kali saya menerima kata "jangan sedih lama-lama ya". Tidak sedikit saya menerima kata-kata penghiburan seperti: "Ya gak papa, mungkin belum waktunya", "Ya, jangan sedih ya, nanti coba lagi", atau "sabar saja, masih ada yang lebih baik". Wacana ini menggampangkan proses saya. Proses saya menerima keadaan itu juga mau dipercepat, mau di-instan-kan, mau digampangkan. Tepat disinilah, masyarakat telah melukai saya.
Kurangnya empati membuktikan bahwa kemanusiaan kita pelan-pelan terkikis. Masyarakat kita lebih bergairah untuk mencari kebahagiaan dan kebahagiaan itu dianggap berhubungan dengan kesuksesan. Kesuksesan itu diukur dengan standar-standar yang digerakkan ideologi dominan dan industri. Kita sedang dalam pabrik raksasa yang sistematis membentuk orang menjadi seragam dengan pola pikir yang sama. Manusia tidak diarahkan untuk memiliki kebahagiaan atau kesuksesan versi mereka sendiri. Penyeragaman ini menciptakan benturan langsung ke individu yang tidak sejalan dengan pihak eskternal di luar dirinya. Kondisi ini yang oleh Marx disebut alienasi. Kita terputus dengan dunia di sekitar kita, menjadi kesepian, dan depresi.
***
Tadi malam saya berdoa. Tuhan, saya tidak mengerti cara kerja dunia ini. Mungkin saya tidak cocok tinggal di dunia ini. Saya cocoknya tinggal di Dunia Fantasi saja.
Suara Ipang mengalun menyayat hati menyanyikan lagu Rahasia. Lagu itu adalah salah satu hits dari Plastik, band terdahulu Ipang yang ngetop di tahun 90-an sebelum akhirnya ia bergabung dengan BIP. Ya, sesama alumni Potlot juga. Gara-gara lagu ini saya jadi tertarik mendengarkan lagu-lagu lain yang ada di album The Best mereka. Seperti jodoh, musik dan liriknya cocok dengan suasana hatiku sekarang. Salah satu kesenanganku adalah menemukan lagu-lagu dan band-band bagus. Musiknya dominan grunge, blues, dan rock n roll. Kadang-kadang ada lagu yang ada sentuhan reggae-nya. Klop banget dengan liriknya yang sarat mengkritik sistem dan ketidakadilan di muka bumi.
Setelah mendengarkan lagu Rahasia, saya mendengarkan lagu Harus Mulai dari Mana yang lagi-lagi menggambarkan isi hati: "Percayalah, kau kan mampu hadapi...percayalah, kau tak berjalan sendiri...masih banyak kesenangan yang kan dapat kau temukan...". Vibe 90s-nya memang dapat banget sih. Berasa kayak main di film-film indie yang ceritanya tragis. Paling enak dengar lagu-lagu ini di dalam kamar sendirian sambil sebats. Bukan karena saya butuh, tapi supaya lebih sinematik aja hehehe.
Lagu Statis membuat jiwa pemberontakku menerjang"..lewati hari percuma...lewati seribu tanda tanya...seakan hanya berhenti di sini..". Aihh mantap jiwa! benar-benar keluar deh itu emosi jiwa. Terakhir, lagu Bintang Kecil yang langsung mencabik-cabik dengan liriknya. Seperti rasa lelah itu ikut menemukan muaranya. Ternyata, ada yang mengerti yang dialami banyak perempuan. "Lelah dan depresi mencoba untuk menjadi gadis yang baik...memberi apa yang diinginkan...tapi tak cukup hanya sampai di situ...". Sehabis mendengarkan lagu ini saya terhenyak. Sakit itu ternyata bikin kita jadi kebal. "Tak pernah menangis dan juga mengeluh...".
***
Aku punya seorang teman bernama Di yang memiliki organisasi yang concern kepada anak-anak jalanan. Kami biasa berkolaborasi dalam pendampingan kasus-kasus kekerasan. Seperti biasa, kami biasa sharing kasus apa yang kami hadapi. Syukur-syukur kalau bisa sama-sama menemukan solusi. Di bercerita padaku tentang kisah hidup salah satu dampingannya. Sebut saja namanya X. X dan kakaknya Y sudah hidup di jalanan sejak mereka masih kecil. Ceritanya, X dan Y dulu memiliki orang tua. Ibu mereka meninggal dunia. Tak lama kemudian, ayahnya mengajak dua anak laki-lakinya ini untuk pergi ke Jogja naik kereta api. X dan Y senang luar biasa. Paling tidak perjalanan ini menghibur hati mereka yang masih berduka ditinggal ibu. Sesampai di stasiun Tugu, X dan Y diminta ayahnya untuk menunggu di depan stasiun. Ayahnya katanya mau membeli rokok di kios depan. X dan Y tanpa berpikir buruk mengiyakan. Mereka menunggu disana. Lama mereka menanti, hari sudah semakin malam, tapi ayahnya tidak kembali. X dan Y mencari-cari ayahnya, tetapi tidak ditemukan. Akhirnya, mereka menyadari bahwa mereka ditelantarkan. Ayah mereka tidak kembali-kembali sampai sekarang. X dan Y tidak mengenal satu orang pun di Jogja. Ketika mereka melapor ke polisi pun ternyata susah dilacak karena mereka tidak memiliki informasi yang jelas tentang alamat rumah di kota asal. X dan Y pernah dimasukkan ke panti sosial, tetapi mereka tidak merasa cocok dan akhirnya kabur. Akhirnya, X dan Y hidup di jalanan.
Waktu aku mendengar cerita itu, aku bergidik ngeri. Aku tidak bisa membayangkan diriku berada di posisi mereka. Di usia yang masih kecil, baru ditinggal ibu, dan ayah mereka meninggalkan mereka juga. Hidup di jalanan yang keras dan bergelut dengan kekerasan. Mereka tentu juga putus sekolah dan bertahan dengan kerasnya hidup. Aku betul-betul ngeri dengan manusia yang hanya tahu beranak tetapi tidak tahu caranya mengurus anak. Kenapa berkembang biak kalau tidak bisa diurus? Di sisi lain, ada banyak pasangan yang mengharapkan buah hati dan berusaha keras dengan segala daya, tenaga, dan biaya untuk mengusahakan bayi tabung dan metode fertilitas lainnya agar memiliki buah hati. Aku tidak mengerti cara kerja dunia ini!
Di juga bercerita lebih sedih tentang masalah administrasi negara yang harus dia advokasi. Berbahagialah anak-anak yang lahir dalam pernikahan. Orang tuanya jelas. Selain itu, di mata hukum, anak-anak yang lahir di luar pernikahan tetap dianggap anak ibu. Tidak ada lagi istilah anak haram. Tetapi, yang kasihan justru anak-anak yang dibuang di tempat sampah, selokan, atau pinggir jalan yang sama sekali tidak diketahui identitasnya. Di bilang sulit sekali mengurus administrasi mereka karena bahkan nama ibu saja mereka tidak punya. Tidak punya orang tua berarti tidak memiliki identitas. Tidak ada identitas, maka tidak ada akses. Tidak ada akses, maka tidak ada perubahan hidup. Tanpa identitas, Di sulit membantu anak-anak itu mendapatkan bantuan dari pemerintah.
***
Memang semua orang punya trauma. Tapi, itu tidak membenarkan perilaku mereka yang abusive dan tidak adil pada orang lain. Orang lain yang menyakiti kamu, kok kita yang kena hantamannya? Apa salah kita sampai diperlakukan kayak begini?
Apakah kerja kasih sayang ini benar-benar patut diperjuangkan atau pada akhirnya kita hanya kelelahan dan merasa semuanya sia-sia belaka?
Kenapa sih kita mencintai?
Orang mencintai karena ia memiliki kebutuhan untuk berbagi. Ia ingin memberi dirinya kepada orang lain. Namanya saja mencintai, ada kata kerja aktif disitu. Beda dengan dicintai yang sifatnya pasif. Kata seorang sahabat,"Mencintai itu berat. Hanya orang-orang yang kuat saja yang bisa". Lalu, sahabat yang lain juga pernah berkata,"Carilah orang yang lebih mencintai kamu daripada kamu mencintai dia supaya kamu tidak sakit". Adapula sahabat yang berkata,"Lebih enak dicintai daripada mencintai". Sahabat saya itu mengira ketika dia yang dicintai, dia mendapat kuasa dan kontrol atas orang yang mencintainya. Dia lupa, orang yang mencintai justru yang memegang kendali. Kapan dia berhenti mencintai, disitulah akhirnya. Disitulah baru kita merasakan kehilangan. Ternyata, kalau dia sudah tidak ada, aku bukan apa-apa ya.
Dasar sebagai pecinta adalah memiliki empati. Empati itu ternyata karunia yang harus diasah. Oleh sebab itu, harusnya pendidikan dan pengalaman hidup membuat kita bisa mengasah empati itu. Kalau sudah punya empati, maka orang bisa mencintai. Kalau kamu mencintai, kamu akan merawat cinta itu. Kamu tidak mungkin menghancurkan. Kenapa cinta jadi menyakitkan? karena masih ada orang yang tidak menggunakan kapasitasnya untuk mencintai. Kalau cuma setengah manusia di dunia ini saja yang mau mengasihi, sementara sisanya membangun benteng pertahanan, maka kita akan terus-menerus terluka karena cinta. Kekerasan terjadi dimana-mana, baik yang disengaja atau tidak.
Setiap ciptaan itu memiliki sifat-sifat ilahiah dan salah satu sifat ilahi itu adalah mengasihi. Tetapi, sakitnya hidup membuat manusia pelan-pelan kehilangan kemampuan mencintainya. Mencintai tidak harus mahal. Menunjukkan perhatian adalah salah satu bentuknya. Misalnya, waktu tahu saya sedih, sahabatku Angel langsung spontan mengirimkan coklat supaya saya tidak bersedih. Angel berada jauh di kota seberang dan coklat itu adalah representasi kehadirannya. Melalui cokelat itu, Angel mau bilang "Aku ada disini untukmu, Meike". Gesture Angel itu adalah bahasa non verbal yang saya terima bahwa saya tidak sendirian menghadapi derita ini. Saya tidak ragu karena ada sahabatku Angel yang ikut menangis bersamaku.
***
Cinta adalah suatu jenis pekerjaan yang tidak bisa diukur. Namun, para pecinta dapat terluka apabila cintanya tidak diapresiasi, tidak dihargai, atau tidak direkognisi. Sakit juga kan memberi terus-menerus tetapi tidak dihargai. Tuhan saja bisa capek, apalagi manusia. Katrine Marçal di buku Who Cooks Adam Smith's Dinner? menyoroti kerja-kerja kasih sayang yang tidak dihargai dalam dunia modern yang patriarkal, rasis, dan kapitalistis ini. Salah satu manifestasi cinta tercermin dalam pekerjaan domestik. Namun, karena dianggap tidak memberi profit materi, maka pekerjaan domestik itu dilihat sebatas pengabdian atau dedikasi. Akibatnya, jangan harap pekerjaan ibu rumah tangga itu dihargai atau diapresiasi seperti orang-orang mengapresiasi pentingnya urusan politik, ekonomi, atau teknologi. Masyarakat modern baru melihat sesuatu itu berharga atau sukses ketika bisa diukur dengan membandingkan antara usaha dan hasil. Ketika itu sifatnya "pemberian" atau "anugerah", hal itu kemudian digampangkan.
Saya pernah jatuh dalam pandangan yang patriarkal itu. Saya menganggap remeh perempuan yang tidak bekerja dan masuk dalam ranah domestik. Hingga sampai di suatu ketika, ibu saya meninggal dunia dan saya diserahi tongkat estafet merawat rumah. Saya tidak tahu mana yang lebih sedih: masa depan saya tanpa Ibu atau tanggung jawab saya untuk mengurus rumah tangga. Ternyata, mengurus rumah tangga itu tidak mudah. Untuk memasak saja, saya harus mikir keras bahan-bahan apa yang akan digunakan. Berapa beda harganya kalau beli di supermarket atau di pasar ? Sejak saat itu, saya menaruh hormat pada ibu rumah tangga.
***
Meskipun jalannya terjal berliku, pada akhirnya saya tetap memilih cinta kasih. Cinta kasih itu bisa berwujud dalam relasi personal maupun kolektif. Semuanya itu penting dan jihad saya adalah berusaha menyeimbangkannya sehingga tidak ada yang merasa seperti hidup dalam hierarki.
Suatu ketika dalam kelas trauma healing, kami dibawa dalam suatu refleksi. Refleksi itu meminta kami untuk membayangkan kapal yang akan tenggelam dan kami diminta untuk memilih 10 orang yang kami cintai untuk naik di dalam sekoci penyelamatan. Kami tentu menulis nama-nama orang-orang yang kami cintai: orang tua, pasangan, anak, saudara, sahabat, dst. Permainan semakin mengerikan karena lama-kelamaan kami diminta untuk mengurangi jumlah penumpang yang bisa dimasukkan dalam sekoci itu. Bayangkan, kamu harus mengorbankan orang-orang yang kamu cintai! Kamu harus memilih antara orang tuamu, pasanganmu, anak-anakmu, saudaramu atau sahabatmu. Ini akan sangat menyakitkan bagi yang tidak dipilih. Apakah ukuran kita bisa memilih yang satu dari yang lain? Bukankah akan sangat menyakitkan ada yang menjadi prioritas dan ada yang tidak? Ada yang berada di hierarki paling atas dan yang di paling bawah?
Refleksi itu ditutup dengan pemahaman bahwa pilihan untuk memilih siapa yang ter- di antara orang-orang yang kita cinta itu sangat mengerikan dan menyakitkan. Tetapi, kita beruntung karena kita punya Tuhan yang tidak mengajari kita untuk membangun hierarki. Tuhan mau menyuruh kita membangun jembatan. Istilah Pontifex dalam bahasa Latin yang kemudian dipakai untuk Paus sebagai pemimpin gereja Katolik artinya "pembangun jembatan". Entah mengapa para paus ini lebih banyak bertingkah sebagai patriakh (kepala/pemimpin) daripada pembangun jembatan yang menghubungkan dunia yang terputus ini. Tapi syukurlah, Paus yang terakhir ini sudah mulai menginisiasi membangun jembatan.
***
Kadang-kadang hati saya sakit bukan karena cinta itu tidak ada. Tetapi, karena dia dianggap selalu ada, makanya disepelekan. "Ah, Meike kan selalu ada. Meike pasti mengerti". Jadi, orang-orang yang kucintai ini kadang bersikap semena-mena. Mereka hanya mencariku ketika susah. Ketika tidak ada lagi tempatnya pulang, barulah mereka ingat padaku. Ini Meike apa Tuhan Allah? hahahaha.
Dan, sama seperti relasi Meike dengan orang-orang yang dicintainya. Relasi Meike dengan Tuhan juga seperti itu. Karena Tuhan selalu ada buat Meike, sehingga Meike juga jadi sesuka-suka hatinya sama Tuhan. Meike tidak merekognisi Dia. Meike tidak mengapresiasi Dia. Ya, Meike rajin berdoa dan melakukan ritual keagamaan, tetapi tampaknya Yang Maha Kuasa ingin Meike mengasihinya dengan kesadaran penuh. Meike harus sadar bahwa Tuhan mencintainya sehingga dia tidak perlu meragu lagi. Dia tidak perlu takut lagi. Meike punya banyak trauma dan takut kecewa lagi. Ia ternyata membangun jarak sama Tuhan. Karena dia takut kecewa lagi, dia lebih percaya pada rasionalitasnya daripada percaya sama Tuhan.
Mungkin peristiwa ini mau mengajarkan saya bahwa penderitaan ini terjadi karena absennya Yang Maha Kuasa. Ia tampak menarik dukungannya. Ia tampak "tidak melakukan apa-apa" untuk membantu Meike seperti biasanya. Dan, Meike baru sadar bahwa ketika Cinta itu ada, ia tidak menghargainya. Tuhan mengizinkan ini terjadi bukan untuk menghukum Meike, tetapi untuk membuat Meike ingat padaNya.
Cintailah Dia selagi ada.
"Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar pada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu." (Amsal 3:5-6)
Harusnya tulisan ini saya posting kemarin, tetapi karena satu dan lain hal, saya baru bisa menyempatkannya hari ini.
Kemarin adalah jadwal perawatan gigi saya. Perawatan rutin untuk scaling dan kontrol gigi. Ternyata, setelah dicek saya punya 4 gigi yang berlubang. 2 gigi yang lain masih belum parah. Tapi, 2 yang lainnya cukup parah meskipun belum sampai saraf. Padahal, kalau dilihat dari luar, hanya muncul titik hitam saja.
Dokter giginya menjelaskan begitulah cara kerja gigi kita. Kulit lapisan luar gigi memang yang paling keras, tetapi bagian dalamnya itu lunak. Jika ada gigi berlubang, bisa saja di permukaan hanya tampak titik hitam, tetapi ternyata di dalamnya sudah besar lubangnya. Contohnya, gigi geraham saya yang paling belakang itu ternyata ada lubangnya. Lubang itu tertutupi karang gigi. Begitu alat scaling menyentuh giginya, langsung ngilu. Saya langsung bercanda, "Wah, mirip manusia ya dok...dari luar tampak baik-baik saja, tetapi dalamnya hmmm...". Dokternya ikut tertawa, dia bilang,"Mbak curhat ya? hehe...".
Setelah selesai perawatan scaling, dokter akhirnya mengambil tindakan untuk menambal gigi. Awalnya mau empat-empatnya langsung. Tetapi, karena tambal gigi itu capek dan mahal, jadi akhirnya diputuskan dua saja dulu yang paling parah. Nanti, di perawatan berikutnya, baru ditambal lagi yang lainnya. Setelah kurang lebih 1 jam berkutat dengan dua gigi plus menahan sakit dan ngilu. Saya berkesimpulan bahwa benar kata Om Meggy Z: lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Sakit gigi itu terlihat dan ada obatnya. Sakit hati itu tidak kelihatan dan obatnya susah : kerelaan diri untuk berserah, percaya, mengakui, menerima, dan mengampuni.
Hasil ke dokter gigi sangat memuaskan: gigi saya bersih dan sudah ditambal. Cara kerja tambal gigi ini mirip kayak tambal ban motor ya hehee. Saya mengucapkan terima kasih pada dokternya dan berjanji akan rajin perawatan untuk 6 bulan ke depan lagi. Meskipun saya tidak tahu, apakah saya akan masih ada di Jogja atau tidak atau apakah saya masih ada di bumi atau tidak. Kadang kita lupa kalau kita tidak selamanya ada di sini. Kadang kita lupa kalau orang-orang yang kita cintai tidak selamanya ada.
Saya pulang dari klinik gigi dengan berjalan kaki demi menjernihkan pikiran saya. Inilah momen paling privat bagi saya: berpikir. Lalu, di tengah jalan saya memutuskan singgah ke kedai gelato untuk memberikan apresiasi kepada diri saya yang sudah melalui sakit ngilu di gigi dan di hati. Ibu saya mengajarkan untuk belajar bahagia sendiri. "Kamu tidak bisa menggantungkan kebahagiaanmu pada orang lain". Hanya saja efeknya saya jadi mandiri. Kalau lagi susah, orang-orang melihat bahwa saya bisa mengurus diri saya sendiri. "Dia tidak perlu ditolong, dia kuat kok!". Mungkin yang orang-orang tidak tahu, orang yang paling kuat sekalipun juga membutuhkan orang lain untuk bisa bertahan. Orang yang menanggung sendiri biasanya justru paling membutuhkan pelukan.
Saya membuka email dan celah yang saya harapkan itu memberikan sinyal positif. Saya masih menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Hari Ketiga. Saya bangun dan nangis lagi karena lapar (udah kayak bayi ya hehehe). Saya bermimpi sedih dan perasaan saya menjadi tidak enak. Pikiran saya jadi keruh sejenak. Ketakutan saya muncul. Tampaknya, alam bawah sadar saya bergejolak hebat, meskipun dari luar saya terlihat baik-baik saja.
Namun, hari ketiga ini jauh lebih baik. Ada harapan guys. Sebelumnya, saya merasa tidak ada harapan, panik, dan menemukan kebuntuan yang membuat saya jadi putus asa. Setelah berdoa malamnya, besok siangnya saya menemukan celah. Yap, ketika semua pintu dan jendela tertutup, ternyata Tuhan membuka sebuah celah. Celah itu memang kecil, potensinya juga 50:50. Tapi, itulah pilihan yang rasional dengan situasi saya saat ini. Maka, saya memilih mencobanya. Saya juga diskusi dengan beberapa teman dan mereka mendorong melakukan hal tersebut. Seorang teman menyarankan saya mengontak seorang kolega di kampus yang ternyata sudah secure. Ketika tahu bahwa kami bergerak ke tujuan yang sama, dia senang sekali. Saya juga senang sekali karena paling tidak, kalau saya jadi kesana, saya sudah punya teman disana. Tapi, saya masih tertahan di satu hal ini.
Kolega saya bercerita panjang lebar tentang prosesnya. Terdengar mudah. Dia tidak perlu tes berulang-ulang seperti saya. Satu kali mencoba langsung lolos. Ketika mendengar itu, saya jadi minder. Lalu, saya masuk dalam perenungan panjang. Saya mencoba tidak membanding-bandingkan diri, setiap kali membanding-bandingkan diri hati saya sakit. Ternyata, saya masih terbelenggu oleh sisa-sisa kontestasi ala sistem patriarki. Setiap orang ditandingkan, dikompetisikan, dan siapa yang jadi juaranya. Suara Yuseptia, sahabat dan kolegaku di kampus terngiang dengan sedih,"Kita ini kalau dilihat dari atas tidak kelihatan. Jadi, kita harus bertahan sambil tetap kasih vitamin buat diri sendiri". Saya sudah berusaha dan harusnya mengapresiasi diri sendiri karena mau berjuang.
***
Dalam perenungan itu, saya melihat ke belakang. Sejak dulu saya tidak pernah bertanya mengapa saya selalu berhasil dan cemerlang dalam segala hal yang saya tekuni. Saya tidak pernah bertanya kenapa saya bisa berhasil meraih cita-cita saya sementara ada orang lain yang terpaksa harus mengubur cita-citanya. Saya kerap merasa bahwa saya tidak perlu berusaha keras seperti orang lain untuk mendapatkan nilai bagus atau mendapatkan penghargaan. Kini, roda berputar. Buat orang lain itu mudah, buat saya ternyata sulit. Ternyata semua peristiwa ini adalah cara Tuhan untuk membentuk saya. Ia mau mengikis kesombongan saya.
Akhirnya, saya menyadari bahwa selama ini kesuksesan dan kecemerlangan itu berhasil diraih karena ada yang membantu saya. Bukan saya sendiri yang hebat ternyata. Saya tidak mengapresiasi kehadiranNya dan mengakui Dia yang telah melakukan banyak hal untuk saya. Saya mengabaikan cintaNya. Saya akhirnya menjadi sombong dengan apa yang saya raih dan merasa itu karena upaya saya sendiri. Ketika saya membaca ulang beberapa tulisan lama saya di blog ini pun, saya ngeri-ngeri sedap melihat diri saya dulu. Angkuh dan merasa punya power. Kemegahan diri... ohhh dosa turunan di keluarga saya.
Sepertinya peristiwa ini mengajarkan saya untuk belajar rendah hati dan bersyukur. Memang kemarin reaksi saya sempat marah-marah dan bersungut-sungut, tetapi itu hal yang manusiawi. Yang tidak manusiawi adalah mengakui kalau saya salah. Mengakui kalau saya lemah dan terbatas dan berdamai dengan kelemahan dan keterbatasan itu. Lalu, mohon ampun dan mengakui kesalahan kita di hadapanNya. Bertobat.
Di bulan Ramadhan ini, saya teringat bahwa jihad yang paling berat adalah jihad melawan kebatilan diri sendiri.
Orang Jawa punya kata untuk menggambarkan keadaan ketika kita harus berhadapan dengan situasi yang tidak seperti kita harapkan, tetapi harus menerimanya dengan ikhlas: nrimo atau nrima atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai menerima.
Orang pertama yang mengajariku tentang nrimo adalah Eyang Pomo. Seumur hidupnya, Eyang adalah orang patuh. Ia mengikuti alur hidupnya seperti air yang mengalir. Eyang pernah cerita bahwa ia ingin sekali melanjutkan studinya ke Australia. Tetapi, ibundanya tidak memberikan restu karena jauh padahal Eyang sendiri memilih Australia karena dekat. Meski sedih, Eyang ikut saja dan ternyata ibunya Eyang meninggal dunia. Ternyata, ibunya melarang Eyang karena ibunya mau pergi jauh. Setelah ibunya meninggal, Eyang justru yang dicari dan ditawarkan beasiswa untuk sekolah di Amerika. Bukan main-main, dia berkesempatan melanjutkan studinya di salah satu universitas Ivy League disana yang pastinya jauh lebih bagus dari kampus di Australia. Dari kisah itu aku belajar, kalau sesuatu tidak diberikan kepadamu, maka Gusti Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Kuncinya berserah.
***
Aku merasa bahwa ujianku kali ini bukan tentang ujian bahasa saja, tetapi ujian tentang kondisi spiritual. Ujian itu topiknya tentang berserah. Apakah itu berserah?
Salah satu sosok yang mengingatkanku pada Eyang Pomo adalah Arika, sahabat dan kolegaku di kampus. Arika ini anak milenial tapi jiwanya jiwa priyayi Jawa kuno. Selain suka wayang dan hanya mau makan ayam kampung, Arika memiliki karakter yang khas jawani: nrimo. Salah satu hal yang membuatku kagum padanya adalah karena ia tidak memaksakan kehendaknya. Ketika Eyang sudah tidak ada, aku menanyakan padanya arti berserah.
Jawaban Arika menarik: Ya, ikhlas. Ikhlas itu tidak hanya ke sesama, tetapi juga ke atas. Penderitaan itu tidak selamanya. Kesenangan dunia itu juga tidak selamanya. Memang sudah di-setting seperti itu.
Aku kaget. Karena selama ini, aku juga pernah memikirkan hal yang sama. Kenapa kita ini seperti rasanya "tidak utuh" atau "tidak berdaya"? karena sudah di-setting demikian. Supaya kita tetap selalu membutuhkan dan melibatkan Yang Maha Kuasa. Berserah ya percaya bahwa Dia akan bertindak untuk yang terbaik. Kita menyerahkan keputusan tertinggi padaNya dan apapun keputusanNya kita terima.
"Kalau kamu sudah melaluinya, kamu akan jauh lebih kuat," ujar Arika lagi.
Semua orang punya mimpi. Sayangnya, mewujudkan mimpi itu ada harganya. Kalau kamu punya privilese, kamu bisa lebih dulu sampai ke tujuanmu. Tapi, kalau kamu kurang punya privelese, maka jalanmu akan lebih panjang. Syukur jika kesampaian, kadang kita harus ganti mimpi untuk menyesuaikan dengan keadaan. Harus kita akui betapa mahal harga sebuah akses. Betapa hidup ini kadang jauh dari keadilan. Bayangkanlah, ada tanaman yang dirawat dan diberi pupuk agar subur sehingga bisa bertumbuh dengan baik. Tetapi, ada tanaman yang dibiarkan tumbuh sendiri. Ia sulit berkembang karena tidak didukung dengan perawatan yang baik. Tanaman ini posisinya adalah bertahan hidup, bukan bertumbuh.
Saya baru saja menerima kabar yang tidak sesuai ekspektasi. Hatiku sangat kacau seperti habis menyanyi lagu Balonku Ada Lima. Perasaan sedih, kecewa, marah, dan frustasi muncul. Mengapa? Apa yang masih kurang? Bukan. Ini bukan tentang kegagalan. Ini rasanya seperti masih tertahan di udara karena pesawat kita belum lolos security clearance dari negara yang dituju. Jadi, saya masih berputar-putar di langit.
Setelah menerima kabar itu, saya sempat shock. Dada saya terasa sesak. Barulah, malamnya saya baru bisa menangis kencang. Efeknya, saya tidak bisa tidur sampai subuh karena overthinking. Begitu tertidur pun, ternyata hanya bisa tidur beberapa jam. Itupun tidak nyenyak. Saya bermimpi buruk. Kali ini, saya putus asa karena semua jalan seperti buntu. Tidak enak rasanya semua rencana menjadi terhambat dan tiada berdaya untuk mengatasi hal tersebut. Saya teringat U2 bernyanyi," You've got to get yourself together...you've got stuck in a moment and now you can't get out of it...". I feel you, Bono hikss...hikss.
Keesokan harinya, perasaan saya belum juga membaik. Saya memutuskan menarik diri dari orang terdekat saya. "Nanti aku balik lagi ya, aku menenangkan diri dulu". Saya butuh waktu untuk memproses kejadian ini. Rasa lelah itu makin terasa. Sejenak saya membayangkan perjalanan yang sudah dilalui dan hal itu membuat tangisku makin pecah. Saya menangis sejadi-jadinya. Lalu, karena lapar, saya makan dulu. Tetap butuh energi dong. Lalu, setelah itu menonton film sekuel The Croods: A New Age, itu loh film animasi yang ceritanya tentang manusia gua dan homo sapiens. Ada adegan yang bikin saya tertawa. Tapi, ada adegan yang bikin saya nangis juga. Sungguh menyebalkan sekali perasaan tiada berdaya ini.
Mungkin yang paling bikin sedih adalah karena support system yang diharapkan justru yang menunjukkan sikap tidak suportif. Saya tidak punya cukup energi lagi untuk menggugat, marah-marah, mengasihani diri, atau menyalahkan keadaan. Saya terlalu capek dan mau istirahat dulu. Saya perlu menenangkan diri dulu untuk membuat keputusan yang tepat. Seorang teman pernah mengingatkan,"Kalau kamu capek, berarti kamu sudah berusaha". Seperti rumput liar, saya perlu belajar mengapresiasi diri saya yang sudah berusaha meskipun keadaan tidak selalu mendukung.