Berdamai Dengan Luka
Sabtu, Januari 02, 2021Semua orang punya trauma. Trauma penolakan, trauma ditinggalkan, trauma kehilangan, dan banyak lagi. Trauma itu menciptakan ketakutan. Trauma itu menyebabkan orang lari dari lukanya atau meredamnya begitu dalam. Kata Eyang Freud, luka-bagaimana pun diredam- pada suatu ketika akan muncul ke permukaan tanpa kita pernah sadari dan hasilnya tidak akan baik.
Aku ingin bercerita tentang trauma penolakanku. Trauma penolakan pertama kali datang dari keluarga, terutama dari ayah dan nenek. Penolakan itu juga muncul bukan tanpa sebab. Ada peristiwa yang melatarbelakanginya. Ayah mungkin tidak siap dengan ekspektasi yang tidak kesampaian untuk memiliki anak laki-laki sementara nenek melihatku sebagai representasi dari ketidakberuntungannya. Keduanya akhirnya membesarkan dan mencintaiku dengan cara yang unik. Aku anak perempuan yang dibesarkan dengan gender anak laki-laki. Aku cucu yang diharapkan sebagai investasi jangka panjang.
***
Lalu, tibalah masanya aku mengenal cinta romantis. Cinta masa sekolah yang berakhir dengan banyak penolakan. Namun, yang paling berkesan adalah cinta pertama dengan seseorang yang kusamarkan saja namanya sebagai Bonbon. Dia kakak kelasku di SMA. Dia kelas 2, aku kelas 1. Kalau ditanya apa yang membuatku jatuh cinta pada Bonbon, maka jawabannya tidak tahu. Aku sama sekali tidak pernah berinteraksi langsung atau ngobrol dengannya. Inilah kenapa kisah cinta SMA itu dangkal hehehe. Yang aku tahu, Bonbon lahir dari keluarga Batak. Anak kedua dari tiga bersaudara. Bintangnya Gemini. Dia tinggi sekali dan jago main basket. Memang dia figur maskulin yang mempesona. Hanya itu. Aku tidak tahu kepribadiannya atau apakah kami memiliki kesamaan. Aku hanya suka lihat Bonbon waktu itu. Naksir aja karena dia cakep. Setiap Bonbon lewat, teman-teman gengku mulai men-cie-cie-in kami. Inilah yang tidak disukai Bonbon.
Suatu hari, teman kelasku Suneo yang tahu aku naksir Bonbon bertemu dia. Mungkin maksud Suneo hanya ingin bercanda. Suneo bilang, "Bon...ciyee, pacarmu Meike yaa?," sambil ketawa-ketiwi. Bonbon langsung marah. Dia menganggap serius bercandaan Suneo. Alih-alih marah pada Suneo, Bonbon marah besar padaku. Dia mengira aku mengaku-ngaku jadi pacarnya. Dia tidak suka. Di sisi lain, aku tidak tahu apa-apa. Bonbon mendampratku secara tidak langsung melalui teman kelasku, Widiana. Bisakah kau membayangkan? orang yang kau sukai membencimu sementara setiap malam kau berdoa pada Tuhan semoga orang itu jatuh cinta padamu.
Cara Bonbon menolakku adalah dengan melakukan silent treatment dan penghindaran. Kalau aku muncul, dia menghindar. Kalau aku ada, dia buang muka. Kebetulan karena kami sama-sama pengurus OSIS, kami pernah terlibat di beberapa kepanitiaan. Setiap kali aku menyapanya, dia hanya diam. Anehnya, dia ramah pada teman-temanku. Tapi, begitu aku muncul dia langsung dingin. Aku tidak pernah naksir orang lain di masa sekolah sehebat dengan Bonbon. Mungkin karena dia tidak bisa digapai ya?. Bonbon juga tidak punya pacar. Ada yang dia naksir, tapi sepertinya bertepuk sebelah tangan juga. Kisahku dan Bonbon ini menjadi salah satu legenda cinta bertepuk sebelah tangan paling memorable di sekolah. Dari Bonbon aku kemudian tahu bahwa didiamkan dan dihindari adalah bahasa penolakan.
Penolakan Bonbon menimbun trauma penolakan yang sudah kudapatkan. Alasan Bonbon menolakku katanya karena aku agresif. Ya, agresif. Kata itu jadi momok buatku. Aku merasa tidak agresif. Aku tidak pernah meneror dia. Aku tidak pernah menelpon atau kirim surat cinta padanya. Aku hanya hadir disitu dan Bonbon langsung merasa "diserang". Perlu kukasih catatan bahwa aku tidak pernah mengaku-ngaku jadi pacarnya. Waktu aku bertemu kembali dengan dua teman SMA-ku, Rio dan Edo, mereka bilang kalau aku memang "aneh". Tidak seperti cewek kebanyakan. Feminitas itu tidak ada padaku. Kata mereka, laki-laki tidak suka kalau perempuan itu mendominasi. Kelak, aku tahu agresivitas itu adalah kuasa laki-laki. Itu kekuatan maskulin.
Ketika Bonbon lulus, aku sedih sekali. Meski pahit, Bonbon yang membuat hari-hariku menyenangkan di sekolah. Sungguh ngeri kita melihat kekerasan sebagai bentuk cinta. Kami pun melanjutkan hidup masing-masing. Dia pergi ke Jakarta untuk kuliah disana. Saya mulai disibukkan dengan persiapan UAN dan masuk perguruan tinggi. Setahun kemudian, kami bertemu lagi dalam acara reuni tim basket sekolah. Acara itu digelar selama tiga hari dengan menginap di sebuah villa di Malino. Di momen itu, aku mengungkapkan perasaanku padanya. Aku hanya mengikuti kata hatiku waktu itu. Aku tidak berharap Bonbon akan membalas cintaku. Aku hanya ingin Bonbon tahu kalau aku menyukainya. Dia punya hak untuk tahu. Setelah aku mengungkapkan perasaanku yang mana butuh keberanian besar dan merupakan suatu pembangkangan pada nilai patriarki (karena hanya laki-laki yang boleh mengungkapkan perasaan), Bonbon hanya diam. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Keesokan paginya, dia langsung pulang. Sebelum dia pergi, dia berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka. Entah siapa yang dia lihat karena di kamarku ada dua temanku yang masih tidur dan air di bak mandi terus mengalir. Tapi, aku sudah separuh sadar waktu itu. Aku melihat dia berdiri cukup lama, lalu pergi. Itu terakhir kalinya aku bertemu Bonbon.
***
Setelah duduk di bangku kuliah, aku mencoba mengusahakan perdamaian dengan Bonbon. Aku meng-add Facebook-nya. Aku mengirim pesan via Facebook untuk menjelaskan maksudku. Responnya? aku di-block. Upaya perdamaianku ditolak. Hingga akhirnya, aku sampai di titik aku sudah selesai dengan Bonbon. Setelah Bonbon, aku lebih berhati-hati lagi. Setidaknya, laki-lakinya sudah aku kenal dan berinteraksi.
Penolakan Bonbon membuatku bertanya-tanya tentang diriku. Kenapa aku ditolak? Barulah ketika aku belajar Psikoanalisa Feminis aku menemukan jawaban rasional. Aku adalah seorang phallic woman. Aku perempuan yang memiliki kuasa maskulin. Seorang perempuan yang memiliki kuasa maskulin harus dihukum dengan sadis. Dalam struktur patriarki, laki-laki adalah subyek. Laki-laki bukanlah obyek seksual. Pengungkapan hatiku dilihat sebagai obyektifikasi pada laki-laki yang mana dianggap sebagai pelanggaran. Aku harus dihukum dan dibuang ke Tartarus. Di situ, aku menyadari bahwa aku bukan obyek. Aku adalah abjek, subyek yang terusir. Aku menganggu superego sehingga aku dipinggirkan.
Tahukah kalian apa yang terjadi setelah itu? Bonbon menjadi arketipe penolakan yang muncul dalam mimpiku manakala aku merasa ditolak atau merasa sedih akan suatu hal. Selama kurun waktu 2006-2020, empat belas tahun lamanya, penolakan itu mengambil sosok Bonbon dan hadir untuk mengingatkan traumaku. Itu sungguh sangat menyakitkan dan melelahkan. Setelah aku bermimpi Bonbon, aku pasti akan merasa sedih keesokan harinya. Aku menjadi kesulitan merasakan dicintai karena aku selalu merasa ditolak. Dampaknya, aku sering melakukan self-abuse, menyalahkan diriku atas keberbedaanku.
***
Tahun 2020 merupakan tahun yang menuntunku untuk menemukan siapa diriku ini. Perjalanan ini tidak mudah. Rasanya semua trauma bangkit dengan cara yang tidak terduga. Hanya pertolongan Tuhan saja aku bisa melewati semua itu. Ada teman-teman yang menolong, tapi lama-lama mereka juga letih dalam proses pendampingan ini. Aku tidak bisa menyalahkan mereka. Aku hanya merasa sedih, aku telah membuat mereka susah hati.
Singkat cerita, aku memutuskan untuk pulih. Ada dua sosok yang aku ingat waktu itu. Keduanya sudah meninggal. Mami dan Adit, temanku. Mami pasti marah besar dan sedih melihatku menyiksa diri seperti itu. Ia membesarkanku untuk menjadi petarung, bukan pecundang. Adit datang mengingatkanku untuk menghindari kesalahan yang dibuatnya. Aku lalu mencari pertolongan. Aku mengunjungi psikolog untuk membantuku mengurai luka-luka ini. Waktu itu aku mengalami gangguan kecemasan sebagai produk dari traumaku. Depresi membuatku tidak bisa bangun dari tempat tidur, menangis sepanjang hari, tidak mau melakukan apa-apa, dan hanya ingin hidup ini segera berakhir. Jika boleh ini disebut suatu keuntungan, aku tetap kuat makan dan minum gula (yang membuat glukosaku naik). Waktu itu aku mikir, untuk bersedih aku butuh energi hehehe. Walaupun begitu berat, aku berjuang melawan depresiku. Aku tetap berusaha menyelesaikan pekerjaanku dan semua tugas yang diberikan atasan. Beberapa tulisan lahir di fase ini. Kolegaku memuji pekerjaanku, "Kamu menulis karya ilmiah dengan puitis". Upaya mengadvokasi kebijakan dan pendampingan mahasiswa juga tetap kulakukan. Kadang-kadang aku heran, betapa baiknya Sang Pemilik Hidup telah memberi kekuatan yang membuatku tetap berdiri sampai hari ini. Ternyata benar, kebijaksanaan lahir dari rasa sakit.
Butuh keberanian besar untuk melangkah maju. Tapi, aku tidak mau kalah dengan traumaku. Aku menyadari bahwa trauma tidak akan hilang seumur hidup. Menyadari keberadaannya membantu kita untuk terlatih lagi menghadapinya. Aku beruntung dipertemukan dengan orang-orang hebat yang membantuku melatih diri untuk meningkatkan kemampuan well-being yang lebih baik. Semacam latihan rohani. Tugasku adalah melatih diri menyeimbangkan energi feminin dan maskulin di dalam diriku. Aku dituntut untuk bisa mengendalikan emosiku. Misalnya, karena aku terbiasa ditolak, maka aku cenderung melakukan pembuktian diri. Di sinilah aku melatih diri untuk mendorong sisi femininku yang mengambil alih kontrol. Pengakuan tidak perlu selalu didapat dari luar, cukup dari diri sendiri. Feminitas mengajarkanku untuk merasakan kemegahan diri tanpa harus dipamerkan. Kemegahan diri yang dipamerkan adalah maskulinitas.
Tentu saja, manakala ada peristiwa atau seseorang yang mentrigger, maka trauma itu bangkit. Namun, aku sekarang sudah jauh lebih terlatih. Ketika trauma itu datang, aku menghadapinya. Aku biarkan dia ngomong. Kadang dia bicara tidak berhenti dari jam 1 subuh sampai 5 subuh. Lalu, ketika sudah selesai, aku menenangkannya. Aku menguatkan dan meyakinkan dia atas semua perjalanan yang sudah dilalui. Betapa ia sangat dicintai dan berharga di dunia ini. Perdamaian itu dimulai dengan diri sendiri. Kemampuan menerima dan mencintai diri apa adanya. Memaafkan diri sendiri untuk semua yang sudah terjadi. Memaafkan orang-orang yang menyakiti kita, terutama karena orang-orang itu kita cintai. Mencintai diri yang terlahir unik dan harus berjuang lebih keras bukan saja untuk diterima dunia, tetapi terlebih lagi untuk dicintai oleh diri sendiri. Keunikan itu yang membuat warnamu indah dan cantik. Berlian yang ditatah dengan air mata dan luka-luka. Pelajaran berharga itu yang menjadi dayaku untuk mau berbagi dan menolong orang lain. Pelajaran untuk memahami dan bukan menghakimi. Prosesnya memang menyakitkan, tetapi buahnya manis. Inilah yang membentuk karakter. Seperti ada tertulis: kepandaian, kekayaan, dan kejayaan akan berlalu, tetapi karakter yang baik akan bertahan.
***
Di hari terakhir tahun 2020, aku jatuh tertidur lebih cepat. Malamnya aku bermimpi. Aku bertemu Bonbon lagi. Tapi, kali ini dia tidak sejahat biasanya. Dia tidak menolakku, tapi juga tidak menerimaku. Dia lebih welcome dibanding biasanya. Aku bangun pagi dengan perasaan aneh yang diikuti suatu keyakinan baru. Empat belas tahun lamanya aku memimpikan hal yang sama, namun kali ini mimpinya berbeda. Mimpi sebagai proyeksi luka di alam bawah sadarku sudah menunjukkan (kemungkinan) bahwa aku sudah pulih. Aku sudah berdamai dengan diriku sendiri dan orang-orang yang pernah menyakitiku.
P.S.: Buat Aquaman, terima kasih sudah jadi partner lawan tanding yang luar biasa. Besi menajamkan besi. I always love you!
0 comments