Itu adalah judul artikel di salah satu media online tentang Virginia Woolf, salah satu penulis perempuan yang berpengaruh di awal abad ke-20. Tulisan Virginia merupakan narasi diri perempuan yang berada di lapis dalam sehingga layak dikaji untuk membuktikan keberadaan narasi feminin di tengah narasi maskulin yang mendominasi dunia sastra. Kejujuran Virginia menceritakan keresahannya dan depresinya secara puitis menjadi kekuatannya.
Virginia memang punya sisi gelap. Akumulasi dari rasa kehilangan dan ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintainya (ibunya, ayahnya, dan saudaranya meninggal dunia dalam waktu berdekatan) membuat dia menderita depresi dan mood swing disorder. Suaminya, Leonard, adalah orang yang paling setia menemani dan menghadapi berbagai serial episode perubahan mood Virginia. Ia bisa sangat marah, sangat sedih, dan menderita serangan panik. Pada akhirnya, Virginia memilih mengakhiri hidupnya. Ia menenggelamkan dirinya di sungai dekat rumahnya.
***
Bagi orang-orang yang tidak mengalami depresi atau tidak pernah berhadapan dengan mereka yang menderita depresi, dorongan untuk meniada sepertinya tampak konyol. Tapi percayalah, bahwa kesedihan dan kesakitan yang ditanggung mereka itu tidak tertahankan. Kebanyakan mereka yang depresi memilih bunuh diri untuk mengakhiri penderitaannya. Mereka tidak bisa melihat terang. Mereka tidak bisa memiliki harapan. Mereka kesulitan merasakan bahwa mereka dicintai. Mereka selalu merasa lelah, memberi terus-menerus tetapi tidak menerima kembali: entah cinta, respek, atau apresiasi. Orang-orang depresi menderita rasa bersalah, takut, dan melakukan self-abuse karena merasa diri mereka tidak berarti. Mereka percaya bahwa keberadaan mereka tidak penting dan tidak diinginkan di dunia ini. Orang depresi banyak melakukan "penundaan" menuju klimaks rasa sakitnya dengan melakukan hal-hal yang menyakiti dirinya. Rasa sakit menjadi semacam adiksi. Dengan merasa sakit, maka semakin benarlah perasaan dan pikiran bahwa mereka adalah penyebab malapetaka: ibumu atau ayahmu meninggalkanmu karena kamu bukan anak baik, kekasihmu meninggalkanmu karena kamu tidak sempurna, teman-temanmu menjauh karena kamu tidak memiliki apa-apa, atau apapun pekerjaan atau usaha yang kamu lakukan semuanya sia-sia.
Orang-orang depresi berjalan dalam jurang yang gelap. Sangat sedikit orang-orang yang menemani mereka dan ketika menemani mereka pun, kita tidak tahu harus berbuat apa. Aku teringat perkataan sahabatku yang berjuang bertahun-tahun dengan sakitnya, "Apakah karena kita begitu ingin dicintai dan diterima sampai kita terus-menerus yang berusaha? yang mengemis?".
***
Aku sekarang menyukai tema kehancuran: kesakitan, penderitaan, kehilangan, ditinggalkan, diabaikan, kesepian, keterpisahan, ketidakpastian, ketidakterdugaan, kerapuhan, kegilaan, dan penantian. Di tengah kehancuran, aku menemukan keindahan. Sebuah paradoks. A happy sad story or a happy horror story. Rasanya seperti berenang dalam black hole. Jalan kehancuran kupilih (atau dipilihkan?) untuk melakukan ziarah ke dalam diri. Ini adalah jalan sunyi menuju penciptaan yang baru.
Akhirnya, aku memberanikan dan menguatkan diri untuk memanggil inner child-ku atau kusebut sweet child o'mine seperti judul lagunya Guns N' Roses. Dialah luka batinku di masa kecil yang kubawa sampai dewasa. Dalam bayanganku, dia berwujud anak kecil berusia kurang lebih 5 tahun berkulit putih dengan mata sipit, rambut ikal kecokelatan, mengenakan kaos warna merah gambar Satria Baja Hitam, celana jeans pendek, sepatu Keds warna merah, dan topi bowler warna biru tua. Kecemasanku adalah produk dari trauma yang dia alami dulu. Dia-lah yang melakukan self abuse bertahun-tahun: pikiran-pikiran jahat dan sedih yang terus-menerus muncul manakala trauma-ku ke-trigger. Dia-lah yang merengek memaksakan keinginannya ketika tidak dituruti. Dia-lah yang akan membanting pintu dan menyakiti dirinya. Kata-katanya selalu terasa benar. Dia adalah si Jenius. Dia sebenarnya lucu dan suka tertawa. Dia yang penyayang dan akan memberikan segalanya kepada yang dicintainya. Tetapi, ketika dia merasa tidak dicintai, dia akan berbalik menyalahkan dirinya karena ada bagian dari dirinya yang tidak diterima, suatu keadaan yang divergent. Dia anak perempuan tetapi ekspresi gender-nya androgini. Dia bisa sangat maskulin sekaligus bisa sangat feminin dan bisa diantara keduanya. Aku pikir traumaku dulu hanya seputar Daddy issue dan Oma (dan aku sudah berdamai dengan itu). Namun, ternyata ada trauma yang tersembunyi. Trauma itu tentang identitasku yang hybrid. Aku harus membunuh identitasku yang satu, untuk bisa diterima di lingkungan tertentu. Kecemasanku membutuhkan validasi. Trauma itu juga dimiliki Mamiku. Tidak, trauma tidak diturunkan secara genetik, melainkan melalui pola asuh dan faktor pendukung seperti lingkungan tempat kita dibesarkan atau perlakuan orang-orang yang berinteraksi dengan kita.
Inner child-ku itu memandangiku. Ia tampak sangat sedih, sendiri, dan kedinginan. Wajahnya hidup dalam beberapa fotoku yang diambil secara candid, wajah orang yang ditolak. Ia selalu merengut: antara sedih dan marah. Ia sering menggugat. Tapi, suaranya tidak didengarkan. Psikolog bilang aku harus melepaskan inner child-ku. Tetapi, itu tidak mungkin. Aku tidak bisa meninggalkan atau berpisah dengan dia. Dia adalah bagian diriku. Yang bisa kulakukan adalah berdamai dengannya, menerimanya, dan bekerjasama dengannya. Tentu itu semua tidak bisa dalam sekali waktu. Ini baru tahap awalnya.
Aku lalu merentangkan tangan, mengundang anak kecil itu mendekat. Ia pelan-pelan menghampiriku. Ia masih kaku, tapi badannya akhirnya tumpah di pelukanku: Meike tidak ditolak, kamu sangat dicintai. Maafkan aku ya...aku mencintaimu, Meike.”
Seperti kata Kermit, the Frog, "Maybe you don't need the whole world to love you. Maybe you just need one person.”
And that person is you, diri kita sendiri.
Aku sedang bergandengan tangan dengan inner child-ku sambil mendengarkan lagu ini, "Someday we'll find it, the rainbow connection...the lovers, the dreamers, and me..".