Matilda
Rabu, Mei 20, 2020
Mungkin kesalahannya karena ia memberikan cintanya secara total untuk orang-orang. Entah itu pertemanan atau percintaan. Sebagian dari mereka membalas cintanya dengan sama totalnya, sementara lainnya tidak membalas seperti yang diharapkan. Orang-orang jenis terakhir inilah yang melukai dan mengecewakannya.
Matilda memandang lurus ke depan. Air matanya sudah kering. Tapi sakit di hatinya tak kunjung reda. Di atas sana, langit mendung pertanda akan hujan. Suatu keadaan yang mulai ganjil mengingat saat ini seharusnya masuk musim kemarau. Matilda mengambil smartphone-nya. Mencari di daftar chatnya. Nama itu. Nama itu sekarang online. Tetapi tak ada kabar atau pertanda apapun darinya. Komunikasi sudah terputus sejak berbulan-bulan yang lalu. Matilda kebingungan. Ia berontak merasakan ketidakadilan. Semakin ia mencoba menalar, semakin ia terjebak pada ketidaktahuan. Semakin ia berusaha merasionalisasi, semakin hatinya lebam. Rasa ingin tahunya menjadi obsesi dan itu tidak sehat bagi jiwanya.
Ada yang ia tidak mengerti. Ada yang tidak selesai. Tapi, Matilda harus menyelamatkan dirinya. Ia harus mengambil sikap. Setidaknya, ia berani mengucapkan selamat tinggal. Ia mencari kontak berikutnya. Itu adalah sebuah grup chat. Matilda membaca kata demi kata bagaimana kawan-kawannya menunjukkan wajah mereka yang sebenarnya. Ia membutuhkan mereka dan mereka membutuhkannya. Namun, Matilda telah menganggu kemapanan mereka. Matilda ditandai sebagai ancaman dan ia harus mempersiapkan diri pada kemungkinan ia akan disingkirkan.
Hujan mulai turun. Semakin lama semakin deras. Suara guntur mulai menggelegar. Matilda merasa sangat lelah. Emosinya. Fisiknya. Ia merasa segala usaha dan cinta yang ia berikan terasa sia-sia. Ada dua godaan orang yang menderita: mengasihani diri dan merasa dirinya istimewa karena menderita. Matilda terjebak di antara keduanya. Ia merasa tak ada gunanya lagi mengasihani diri. Ia sendiri dengan sadar memilih jalan yang sunyi ini. Ia juga merasa terlalu angkuh untuk menyebut dirinya istimewa. Bahwa ia terpilih menjalani derita ini dan akan membuat perubahan. Hahahaha. Matilda tertawa sinis. Ia bahkan tidak bisa mengajak orang yang dicintainya untuk berdialog dengannya. Ia bahkan tidak bisa meyakinkan teman-temannya untuk percaya dan respek padanya. Ia sama sekali tidak istimewa. Ia adalah figuran dalam panggung kehidupan ini. Tempatnya ada di pinggiran. Tidak ada lampu sorot apalagi tepuk tangan. Ia hanya angka dalam tabel milik Pemerintah.
Bisakah orang yang dilukai, disakiti, dan dikecewakan terus-menerus menulis tentang harapan? Seperti dunia tidak habis-habisnya menghadirkan dagelan, Matilda mendapatkan tugas. Tulislah tentang harapan! Perintah Komandannya terdengar dengan jelas. Matilda harus menulis tentang harapan di tengah-tengah dunia yang sedang krisis harapan. Ia harus menanam harapan di dalam suasana ketidakpastian ini. Ia harus menemukan cahaya dalam dunianya yang sekarang gelap.
Matilda tidak tahu apa itu harapan. Ia melihat harapan sebagai sesuatu yang samar-samar. Harapan selalu dekat dengan kesuksesan, lalu apakah harapan tidak ada dalam kegagalan? Hidup Matilda adalah serangkaian kehilangan tiba-tiba yang hadir di saat ia tidak melakukan persiapan sama sekali. Ia menemui kegagalan. Bahkan ia sendiri pun adalah kegagalan sehingga jika ia gagal ia akan menyapa kegagalan seperti sobat lama, “ Hey…ketemu lagi kita”.
Matilda tertawa. Ia sekarang punya kemampuan baru. Ia menangis dalam tawa, tertawa dalam tangis. Ia seperti kupu-kupu malam. Dadanya semakin terasa nyeri. Ya, jantung memompa darah dan alirannya deras berebutan ke dalam bilik-bilik disana. Matilda sangat marah. Tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk marah. Ia diperintahkan untuk memaafkan. Ia diperintahkan untuk mengerti keadannya. Belum selesai ia menghentikan pendarahan di hatinya, ia dipaksa untuk berlari lagi. Seolah ia benar-benar bukan manusia lagi. Ia dipaksa serupa dengan Penciptanya. Matilda tidak sanggup. Ia merasa seperti dituntut setiap waktu. Ia merasa sangat pengalah. Ia merasa telah menyerahkan dirinya dan dirinya bukan lagi miliknya. Ia pelan-pelan melebur pada kekuatan di luar dirinya yang ia tak pernah sanggup untuk dipahami. Ia diperintahkan untuk menjalani. Matilda ingin jadi manusia saja, yang lemah dan bisa jatuh. Manusia yang tidak tahu apa-apa. Manusia yang boleh marah dan dendam. Manusia yang karena keterbatasannya, kemudian dimaklumi, dan dimaafkan. Manusia yang boleh takut dan ragu. Manusia yang berdarah.
Apa itu harapan?
Mungkin sejenis kelegaan bahwa ada daya untuk melangkah lagi. Harapan bukan pintu keluar dari labirin persoalan yang membuat kepala dan hatinya sakit. Harapan adalah “perasaan” bahwa ada jalan keluar, bahwa akan ada cerita baru lagi, orang-orang baru lagi, teman-teman baru lagi.
Harapan mewujud dalam aksi untuk mencari pintu keluar. Dalam labirin yang gelap, Matilda berjalan sambil menangis mencari pintu keluar itu.
0 comments