29 dan Tikkun Olam
Selasa, Mei 12, 2020
Precarious living is always an adventure.
(Anna Tsing - The Mushroom at the End of the World, hal. 163)
Alam seperti tahu bahwa hatiku sedang sedih. Tepat di pergantian waktu menuju tanggal 9 Mei, hujan keras mengguyur Jogja (malamnya hujan juga turun sangat deras). Aku terbangun mendengar pukulan tiang listrik sebanyak 12 kali tak jauh dari rumah Eyang. Suaranya menggelegar bersama curah hujan yang lebat. Agak aneh sebetulnya. Hari-hari sebelumnya yang meski tanpa hujan pun, tak ada pemuda yang memukul tiang listrik. Mengapa di saat hujan deras seperti ini, ia memukul dengan keras?
Aku mengucapkan selamat ulang tahun pada diriku sambil mengusap-ngusap dadaku. Ada rasa nyeri di dada. Lalu, setelah kesadaranku pulih, aku mengambil waktu berdoa pribadi. Ini adalah tradisi yang diajarkan almarhumah Mami setiap kali aku berulang tahun. Biasanya beliau yang memimpin doa. Tapi, sejak dua tahun terakhir, aku harus berdoa sendiri.
Pagi-pagi benar, aku menemukan sekotak desert box sebagai kue ulang tahun yang dibikinkan Yunita, teman kosku. Di pagi itu juga, aku diberi kesempatan oleh Pendeta Audra untuk berbagi tentang Cinderella complex pada remaja dan pemuda GKP (Gereja Kristen Pasundan) Cipatat, jemaat baru yang dipimpin Pendeta Audra. Jangan dikira itu jenis diskusi yang dihadiri ratusan atau ribuan viewer. Diskusi kecil itu hanya untuk mereka yang mau belajar dan mendengar. Ide tentang kesadaran gender merupakan hal yang asing bagi mereka. Tapi, aku senang. Responnya positif. Setidaknya apa yang aku bagikan bisa memberikan pandangan yang berbeda. Diskusi pun berjalan aktif. Kami semua saling menguatkan satu sama lain. Di akhir diskusi, Pendeta Audra menyanyikan lagu “Happy Birthday” dengan ukulele-nya sebagai kado untukku.
Siang itu, aku bergegas ke pasar membeli buah-buahan untuk membuat es buah resep dari Mami. Yunita akan membantuku. Kupertaruhkan nyawaku keluar rumah di tengah pandemi Covid 19. Tak lupa aku membeli surat kabar Kedaulatan Rakyat, surat kabar lokal kesayangan masyarakat Jogja. Aku ingin membingkainya nanti sebagai tanda apa yang terjadi di kota Jogja saat pandemi tepat di hari ulang tahunku. Inilah yang kusyukuri lagi. Tak banyak orang bisa merayakan ulang tahun di tengah pandemi, saat dimana kematian menjadi tamu tak diundang. Di koran itu, aku membaca keadaan yang kontradiksi. Dua berita saling berdampingan: jumlah korban Covid 19 di Jogja meningkat dan sepasang kekasih tetap melangsungkan pernikahannya di tengah situasi ini. Sebuah kesedihan sekaligus kegembiraan. Ada kehancuran, tetapi ada penciptaan.
***
Di hari ulang tahunku yang ke-29, aku mendapatkan kado ulang tahun yang luar biasa dari Tuhan. Sebuah hikmat untuk mengetahui apa itu cinta, belajar mengasihi, dan merasakan dicintai. Cinta itu sederhana. Sebuah perasaan bahwa kamu tidak sendirian lagi menjalani hidupmu. Ia memberimu kekuatan untuk bangkit dan memberimu keberanian ketika kau takut. Cinta memberimu perlindungan dan rasa aman bahwa semuanya akan baik-baik saja. Cinta tak berkesudahan. Cinta itu sabar dan memahami. Cinta menerima apa adanya. Dalam cinta tidak ada penderitaan. Cinta adalah kekuatan yang menghidupkan dan menyembuhkan. Cinta memberi pengampunan. Inilah kado itu. Kekuatan untuk menerima dan menyelesaikan apa yang harus diselesaikan, sama seperti Guruku harus menyelesaikan karyaNya di kayu salib.
Para sahabat, teman, kenalan/kolega, dan mahasiswa bergantian mengucapkan selamat ulang tahun. Aku juga bersyukur bahwa aku berhasil melakukan rekonsiliasi dengan Daddy. Kuutarakan semua yang mengganjal di hatiku. Aku ungkapkan apa yang kurasakan sebagai luka batin yang kubawa sampai usia setua ini. Daddy merespon itu dengan klarifikasi dan pengakuan. Kami akhirnya saling jujur dan terbuka satu sama lain. Aku bahagia sekali. Akhirnya, aku dan Daddy bekerja sama untuk memiliki hubungan yang sehat. Apa yang hanya bisa kuceritakan dulu dengan Mami, kini bisa kubagi dengan Daddy. Dalam rekonsiliasi itu, tidak ada drama penuh air mata. Hanya percakapan sederhana dua manusia yang saling mengasihi.
Para sahabat, teman, kenalan/kolega, dan mahasiswa bergantian mengucapkan selamat ulang tahun. Aku juga bersyukur bahwa aku berhasil melakukan rekonsiliasi dengan Daddy. Kuutarakan semua yang mengganjal di hatiku. Aku ungkapkan apa yang kurasakan sebagai luka batin yang kubawa sampai usia setua ini. Daddy merespon itu dengan klarifikasi dan pengakuan. Kami akhirnya saling jujur dan terbuka satu sama lain. Aku bahagia sekali. Akhirnya, aku dan Daddy bekerja sama untuk memiliki hubungan yang sehat. Apa yang hanya bisa kuceritakan dulu dengan Mami, kini bisa kubagi dengan Daddy. Dalam rekonsiliasi itu, tidak ada drama penuh air mata. Hanya percakapan sederhana dua manusia yang saling mengasihi.
Para sahabatku bergantian memberikan kejutan manis. Ada yang membuatkan makanan, ada yang memberi kado yang dicari bahkan sampai menjelajah ke India, ada yang memainkan cello untukku, ada yang bernyanyi sambil menangis haru karena rindu, dan ada yang menyediakan diri untuk mendengarkanku bercerita. Aku mencintai mereka dengan sepenuh hati. Kami tertawa dan menangis bersama. Kami bebas mengekspresikan rasa cinta kami kepada satu sama lain. Teman-teman, percayalah, mengetahui bahwa engkau dicintai dan dilindungi memberimu kekuatan dan keberanian. Aku benar-benar merasa sangat dicintai. Aku menyadari dengan sungguh bahwa kehadiranku diinginkan. Bahwa jika seandainya aku mati, akan ada orang-orang yang menangisiku dan mengenangku dengan penuh cinta dan harapan. Cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.
Dengan semangat itu, aku mentransformasikan semua kesedihan dan sakit hatiku menjadi energi yang penuh kasih. Tak sedikitpun lagi aku menyimpan dendam. Aku melepas semua angan dan harapan yang pernah kubangun menjadi doa yang terbaik bagi semua pihak. Hal-hal yang tak terduga yang terjadi justru mewarnai hidupku. Hal itu membuatku mensyukuri hidup sebagai petualangan yang seru. Aku bangga pada diriku. Aku memilih tetap memanusiakan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya meskipun aku telah diperlakukan seperti benda tak bernyawa. Pada akhirnya, tak perlu ada kompetisi di sini. Malaikat sudah tahu siapa yang jadi juaranya.
Aku akan membawa cinta sebagai dayaku melanjutkan perjalanan ini. Aku siap berjuang melakukan tikkun olam “memperbaiki dunia”, menjadi kait rantai bagi banyak orang, dan merawat harapan. Aku akan ikut menyebarkan cinta kasih di dunia ini. Itulah pekerjaan Mami dulu dan ia sudah mempersiapkanku untuk menjadi penerusnya. Aku akan bekerja sebaik-baiknya sesuai dengan bagian dan peran yang dipercayakan kepadaku.
Dengan begitu, aku memenuhi tujuan hidupku dan melayani Kekasihku dengan seluruh jiwa ragaku.
Selamat ulang tahun, Meike.
Selamat ulang tahun, Meike.
0 comments