Telepon
Minggu, April 05, 2020
photo by: Daria Nepriakhina (www.unsplash.com)
Aku rindu mendengar suaramu…
Teknologi mengubah cara kita berkomunikasi. Dulu kita menikmati cara bertukar pesan dengan berkirim surat. Seorang mahasiswa Ilmu Sejarah pernah meneliti tentang surat-surat cinta yang dikirim oleh para siswa-siswi sekolah Katolik di masa kolonial. Lalu, telepon datang dan kita rela antri berjam-jam di telepon umum atau wartel untuk menelpon (yang ini pasti golongan kelas menengah banget). Saya ingat ikut mengoleksi kartu telepon di masa itu. Kakak sepupuku yang waktu itu sedang asyik-asyiknya pacaran menghabiskan banyak uang jajannya untuk membeli kartu telpon. Ia membelinya supaya lebih leluasa berpacaran di telepon umum karena kalau di rumah ada ayah, ibu, dan saudara-saudaranya yang menguping. Kartu telepon yang sudah habis “pulsa”-nya itu kuminta untuk dijadikan koleksi. Banyak gambar bagus: hewan, bunga, atau sebuah tempat di negeri yang jauh. Penulis Seno Gumira Ajidarma pernah menulis sebuah cerita pendek tentang pengalaman menelpon kekasih di telepon umum. Ia mengabadikannya dengan judul Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta. Itu adalah salah satu cerpen favoritku.
Era millennium membawa perubahan baru. Internet menjadi milik banyak orang dan dimulailah komunikasi via text, suara, dan video dalam sekali klik. Tak ada yang baru sesungguhnya selain platform yang berbeda, kecuali video sih. Selain itu, waktu menjadi kunci. Di masa kolonial, orang berkirim surat harus menunggu selama 6 bulan. Ketika Terusan Suez jadi, jarak kemudian dipersingkat menjadi 3 bulan. Sekarang, kita bisa berkomunikasi tanpa ada perbedaan waktu yang signifikan.
Sekilas kita memang jadi mudah untuk berkomunikasi. Namun, ternyata ada sesuatu yang berubah. Kita jadi terbentuk untuk mendapatkan sesuatu secara instan. Pesan yang cepat dibalas, mengirim pesan tanpa pikir panjang, membagi informasi tanpa verifikasi, curhat tersamar melalui status-status yang bisa menghilang dalam 1x 24 jam (termasuk saya juga sih hehee), dan sederet tindakan impulsif bermedia lainnya. Oiya, saking banyaknya pesan yang masuk, kita bahkan sampai lupa membalas pesan-pesan yang sudah tertimbun.
Ada yang menganggu saya dengan kultur instan ini. Pertama, kita jadi semakin narsistik. Kata temanku Sophie, sebenarnya semua manusia itu narsis, media hanya memudahkan itu saja. Kita sekarang mudah mengobral diri dan hal-hal privasi kita di media. Kita mudah membagikan emosi kita pada publik. Saya sendiri juga sih. Gimana ya, gak semua orang sanggup menyimpan perasaan sendiri dan punya banyak orang yang mencintainya. Jadi, kalau dia merasa membagikan emosinya hanya untuk mendapatkan kelegaan atau untuk merasa berkawan dan tidak merasa sepi, ya why not?. Justru kitalah sebenarnya yang harus pegang kontrol. Kalau tidak suka dengan pesan-pesan seperti itu ya tidak usah dilihat. Apalagi di era digital ini, kita harus melek media dulu baru bisa cerdas bermedia. Makanya saya lebih suka curhat di blog ketimbang di sosmed. Di sosmed, pesan yang saya share yang sifatnya informatif. Ada sih beberapa hal-hal yang personal tapi dalam konteks seru-seruan aja, kayak kuis atau momen nostalgia. Yang mau jualan atau branding diri supaya dapat orderan ya silahkan. Nah, kalau di blog beda. Kita bisa puas mau ngapain disini. Blog memang diary digital. Kalau sosmed, orang-orang bisa merasa seperti dipaksa melihat postingan kita. Jadi, seperti terobligasi untuk ikutan ngecek postingan mereka meskipun sebenarnya kita tidak menginginkannya. Tapi kalau blog, justru orang-orang atas kesadaran dan kehendak sendiri yang mau berkunjung dan membaca postingan di blog. Jadi, saya mau mengucapkan terima kasih kepada pengunjung setia blog ini. I love you all....
Kedua, kita lupa menghargai waktu. Memberi ruang untuk jeda. Penerimaan pesan perlu diproses, diolah, dan kemudian diformulasikan untuk menjadi pesan kembali. Dalam teori komunikasi, model komunikasi seperti ini sangat mekanik. Kita dibentuk untuk percaya pada teori klasik komunikasi bahwa pesan yang dikirim akan diterima dan direspon kembali seperti yang kita harapkan. Kenyataannya, harapan itu dibantah dengan teori komunikasi yang berperspektif kritis bahwa pesan yang dibentuk si pengirim bisa diterima oleh si penerima tetapi pesan itu bisa dipersepsikan secara berbeda pula sehingga menghasilkan respon yang bisa sangat jauh berbeda dengan yang diharapkan pengirim pesan. Itu tesisku dan aku hampir lupa teori ini.
Selain persoalan itu, kemampuan kita berkomunikasi juga berubah. Berkomunikasi berarti tidak hanya berbicara, tetapi juga mendengarkan. Tampaknya kita semakin lincah untuk berbicara, tetapi semakin gagap untuk mendengarkan. Kita mudah bosan untuk mendengar sehingga kadang penerimaan kita terhadap pesan tersebut mengalami distorsi. Lalu, kita mudah menyalahkan si pembicara, padahal kita sendiri yang tidak memperhatikan dengan baik.
Aku jadi teringat zaman telepon lagi. Aku rindu mendengar suara orang-orang. Aku rindu pengalamanku bercerita di telepon, tertawa, dan menangis bersama suara di seberang sana. Kini, orang-orang lebih memilih komunikasi via chat. Bukannya tidak bisa menelpon, kita masih bisa menelpon, tetapi untuk menelpon kita harus mengkhususkan waktu. Nah, menelpon cukup menghalangi kita untuk multitasking, padahal kapitalisme hari ini menuntut kita untuk mengerjakan banyak hal di waktu yang bersamaan. Komunikasi via chat masih memungkinkan untuk multitasking. Akibatnya, kita berkomunikasi tanpa rasa sembari tetap terus-menerus bekerja. Kita pelan-pelan jadi mesin.
Sedih ya.
2 comments
udah ngikutin blog kak Meike dari jaman masih SMA dan sekarang udah lulus kuliah dan kerja, still, selalu suka sama isi tulisannya terutama kalau udah bahas-bahas 'hal jaman dulu' yang engga bisa lagi atau susah dinikmati di waktu sekarang ini :) keep writing, kak! I'm a loyal reader ;)
BalasHapusHalo Mirda....terima kasihku dari hati yang terdalam karena kamu sudah menjadi pembaca setia blogku.
BalasHapusSemoga kita bisa berjumpa dan ngobrol bagai dua sahabat lama. Sehat dan sukses selalu ya.