Selamat Paskah
Jumat, April 10, 2020
Aku akan menceritakan padamu kisah tentang temanku. Namanya Dietrich Bonhoeffer. Aku bertemu pertama kali dengannya di hall Fakultas Teologi, Universitas Humboldt zu Berlin. Ada patung kepala Dietrich disana dan kutipannya dalam bahasa Jerman. Aku tidak tertarik padanya waktu itu. Fokusku hanya tertuju pada kehidupan kampus dan betapa inginnya segera studi lanjut disana. Kampus Teologinya terletak di seberang Museum Seni dan Katedral Berlin. Di tengah-tengahnya, membelah sungai Spree yang sering membawa kapal-kapal ferry kecil. Ruang kelas yang memiliki jendela besar tanpa gorden telah menyajikan pemandangan indah. Betapa aku iri pada mahasiswa yang belajar disana. Mereka mengonsumsi dua hal yang paling kuhasrati: ilmu pengetahuan dan seni semesta. Jika waktu kuliah sudah selesai, kita bisa berjalan kaki untuk membeli es krim atau nongkrong di café tak jauh dari kampus. Langit kelabu kota Berlin menyuguhkan perasaan sendu. Jika kamu beruntung, kamu akan mendengar suara saxophone dari musisi jalanan menyanyikan lagu Raindrops Keep Falling on My Head. Momen itu sangat sederhana, namun magis.
Beberapa bulan sejak peristiwa itu, aku masuk gereja dan mendengar sang Pendeta menyinggung nama Dietrich. Dia berkisah tentang konsep Dietrich yang terkenal, yaitu cheap grace dan costly grace. Dietrich adalah seorang pendeta, teolog, aktivis, dan martir. Ia mengkritik pemerintahan otoriter Nazi dan orang-orang Kristen zaman itu yang apatis karena membiarkan orang-orang Yahudi mengalami penindasan. Dietrich akhirnya ditangkap, dipenjara, diisolasi, dan pada akhirnya dieksekusi. Pulang dari gereja, aku langsung mencari karyanya dan membaca The Cost of Discipleship. Buku itu memberiku daya untuk berjuang di jalan kemanusiaan sembari memaknai iman dan pilihanku sebagai pengikut Kristus.
Dari penjelajahan buku-buku seputar Dietrich, aku menemukan secuil kisah tentang hubungannya dengan tunangannya, Maria von Wedemeyer. Tunangannya hanya disebut sedikit sekali di buku-buku keilmuan teologi itu. Tapi, di referensi lain yang lebih nge-pop dan personal, kutemukan bahwa peran Maria sangat vital dalam hidup Dietrich. Dietrich dan Maria terpaut usia yang jauh. Saat mereka bertunangan, Maria berusia 19 tahun dan Dietrich 37 tahun. Mereka berdua datang dari keluarga berpendidikan dan aristokrat Jerman. Tiga bulan setelah bertunangan, Dietrich ditangkap dan dipenjara. Selama kira-kira dua tahun, mereka menjalani hubungan dalam keterpisahan dan isolasi. Bayangkan, pasangan yang harusnya “consummate their love” ini harus menjalani jalan salib itu.
Selama dalam penjara, Dietrich dan Maria saling berkirim surat. Dalam surat-suratnya terlihat betapa justru keterpisahan itu menguatkan ikatan hati antara Dietrich dan Maria. Di sisi lain, surat-surat itu juga menunjukkan di balik keteguhan hatinya untuk menghadapi semua represi itu, tak sedikitpun Dietrich tak merasa lemah dan tak berdaya. Ia juga merasakan takut dan kerinduan yang luar biasa. Memori dan keyakinan bahwa orang-orang yang dicintainya selalu ada untuknya menguatkannya: orang tua, saudara-saudaranya, teman-temannya, murid-muridnya di universitas, dan kekasihnya, Maria.
Di sisi lain, Maria berada dalam ketegangan yang hebat antara menepikan hasrat dan kebutuhannya dengan mendukung kekasihnya menghadapi apapun dunia yang sedang dihadapinya. Dietrich bukan orang yang mampu menunjukkan perasannya, namun dalam suratnya akhirnya ia mengatakan bahwa pertemuannya dengan Maria adalah sebuah kasus hominum confusione et dei Providentia. Dietrich menulis begini:
“Everyday I am overcome anew at how undeservedly I received this happiness, and each day I am deeply moved at what a hard school God has led you through during the last year. And now it appears to be his will that I have to bring you sorrow and suffering … so that our love for each other may achieve the right foundation and the right endurance.”
Waktu aku membaca itu aku menangis. Bahwa kisah yang mereka miliki begitu tidak biasa. Ada dua orang yang saling mencintai, tetapi ternyata mereka lebih besar mengasihi Allah. Maria pasti memiliki hubungan yang dekat dengan Allah sehingga ia mengerti jalan yang harus dilalui Dietrich dan Dietrich mendapatkan kekuatan untuk melanjutkan “membayar harga yang ia pilih sebagai pengikut Kristus” dengan mengapresiasi dan mensyukuri kehadiran Maria.
Pasangan ini bekerjasama untuk mengonversi kerinduan yang menyakitkan menjadi rasa syukur bahwa ada sesuatu yang harus diantisipasi. Mereka mengubah penderitaan menjadi sukacita bahwa relasi mereka benar-benar nyata. Mereka bekerjasama untuk mengubah hal-hal yang menganggu dan menjadi keterbatasan sehingga menghasilkan kesalahpahaman dalam relasi mereka menjadi harapan yang penuh dengan tantangan. Mereka mampu mengubah kesalahan dan emosi menjadi sumber kekuatan dalam hidup mereka. Mereka bekerjasama merespon anugerah itu.
Pada akhirnya, keduanya melihat Allah dalam diri pasangannya masing-masing.
Pada akhirnya, keduanya melihat Allah dalam diri pasangannya masing-masing.
Selamat Paskah!
0 comments