Surat Buat Juni
Sabtu, Februari 01, 2020
Juni sayang,
Semoga kamu tetap semangat dan ceria melakukan apa yang sedang kamu persiapkan disana. Hatiku sedih mengetahui bahwa kamu sakit. Seperti gayamu juga, kamu memberitahu ketika dirasa sudah tepat waktunya, yang mana kamu sudah melewati fase sakitnya. Jantung dalam bahasa Inggris disebut heart dan kita memakai kata itu untuk memaknai tindakan cinta. Aku sedang di rumah Bu E waktu itu. Disana ada Pendeta Rosa, suaminya, dan si kecil Ben. Kami sedang makan Tahun Baru bersama. Hidangannya adalah makanan Sulawesi. Ada brene bon dan babi papiong. Kami bercerita banyak hal. Bu E terlihat berbeda setelah sembuh dari sakit. Ia singa betina yang semakin sulit kupahami. Orang-orang yang diurapi Tuhan ini selalu membuatku bingung. Mereka mencintai kita tetapi sekaligus kadang menyingkirkan kita begitu saja. Lalu, mereka bisa datang kembali dalam hidup kita dan kita bisa menerima mereka dengan tangan terbuka. Tanpa dendam, tanpa sakit hati. Setidaknya bagiku.
Aku mencuci tanganku di kitchen sink dan baru memperhatikan ada pajangan berisi surat 1 Korintus 13: 4-8 dalam bahasa Inggris digantung dekat kran air. Aku tidak ingat ada pajangan itu disitu padahal kita sudah sering main ke rumah Bu E sejak bertahun-tahun lalu. Sungguh aneh menyadari bahwa banyak hal-hal kecil di sekitar kita yang luput dari perhatian kita. Hal-hal yang justru bermakna ketika kita mau jeli melihat. “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri serta sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan…”. Aku membayangkan dulu ketika kamu masih tinggal disana dan sambil mencuci piring kamu juga membaca ayat itu. Terasa indah dan menyakitkan ya. Kita tersenyum sekaligus menangis. Kata Wan, “Itulah salib yang harus kita pikul…”.
***
Juni, aku akhirnya mendapat kesempatan berziarah ke Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran di Bantul. Rencana itu sudah lama kuniatkan tetapi selalu gagal. Dan seperti memang sudah waktunya, kesempatan itu tiba dengan spontan. Nama gerejanya sama dengan nama SD-ku dulu. Gereja yang arsitekturnya mengikuti keraton-keraton Jawa dan candi yang kental dengan budaya Hindu-Jawa. Di dalam gereja itu, patung Yesus dan Bunda Maria dibuat dalam kekhasan budaya Jawa. Rasanya seperti kembali ke zaman Jawa kuna. Melihat Gusti Prabu Yesus menunjuk hatinya yang membara dan berduri serta Dewi Mariah yang menggendong Yesus kecil disana seperti arca-arca Hindu. Senang rasanya June melihat ada yang berbeda. Sesuatu yang dekat dengan kita, mengingat kita selalu disuguhkan patung Yesus dan Bunda Maria dalam budaya barat. Aku teringat kita sering melakukan perziarahan seperti ini. Pergi keliling gereja atau bahkan ke rumah ibadah agama lain. Jalan kaki menelusuri jalan-jalan kecil di Jogja. Duduk berjam-jam ngobrol sambil makan menu yang itu-itu saja di cafe makanan organik favorit kita. Bercerita tentang kegelisahan dan pergulatan kita. Lalu, membicarakan Antua kesayangan kita. Sungguh sangat romantis ya.
Aku datang kesana bersama teman kosku. Nama dan ulang tahunnya sama denganmu. Ia juga sedang menghadapi pergumulan yang kurang lebih sama denganku dengan cerita yang berbeda. Kami datang kesana untuk meminta penjelasan sementara orang-orang disana berdoa untuk memohon sesuatu. Pada akhirnya, kami pun juga meminta pertolongan. Ini pergumulan yang tidak bisa kami selesaikan sendiri. Aku merasa sangat lelah. Dan karena lelah aku jadi marah. Kata teman kerjaku," Kalau kamu merasa lelah, berarti kamu sudah berusaha."
Di dalam gereja kami dihampiri seorang koster. Koster adalah orang yang bertanggung jawab mengurus gereja dan segala isinya. Ia seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahun-an. Sambil membersihkan gereja, dia mengajak kami mengobrol. Dia menanyakan asal kami dan dimana kami tinggal. Dia sudah tujuh tahun bekerja di gereja itu, sama denganku yang sudah selama itu tinggal di Jogja. Dibandingkan dengan temanku, bapak koster itu lebih sering mengajakku bicara. Dia yang pertama mendekatiku.
“Mbak, masih kuliah?,” tanyanya.
“Dulu kuliah, Pak. Sekarang sudah kerja,” jawabku.
“Saya sampai sekarang masih kerja,” balasnya. Sebuah respon yang kurasa ganjil.
Aku lalu pergi ke depan altar. Suasana dalam gereja cukup sepi. Aku mengambil beberapa foto, memperhatikan tahta para Imam dan patung-patung malaikat penjaga Tabernakel, dan akhirnya berhenti di pojok dimana patung Gusti Prabu Yesus berada. Kebanyakan peziarah lebih memilih berdoa di dalam candi yang terletak di samping gereja. Patungnya memang sama. Tapi, entah mengapa aku langsung duduk bersimpuh disana dan menggugat Yang Mulia. Kutanyakan dalam hati mengapa Ia selalu membelanya? Mengapa harus aku yang dituntut mengerti? Kapan aku yang dimengerti?. Lamat-lamat kemarahanku berubah menjadi permohonan agar orang yang dikasihi selalu dijaga dan dikuatkan dimanapun ia berada.
Setelah puas berkeluh kesah, aku berjalan kembali ke bangku belakang gereja dimana temanku duduk menunggu. Tapi, mataku tiba-tiba tertumbuk pada gambar yang terlukis di kaca patri dekat patung Dewi Mariah.
Bapak koster yang tadi menyapa kami ada disana. Lalu, aku bertanya:
“Pak, gambar di kaca patri itu dari cerita Orang Samaria yang baik hati ya?,” tanyakau meminta konfirmasi.
Bapak koster yang sedang menyapu itu mendogakkan kepalanya menatapku dan tersenyum.
“Iya. Kok kamu tahu?,” ia malah balik bertanya.
Aku mengerutkan kening, “ Ya iyalah Pak. Orang Kristen pasti tahu,” jawabku yakin. Aku jadi bingung dengan jawaban bapak koster ini. Semua orang Kristen bahkan orang non-Kristen yang banyak membaca pasti pernah mendengar kisah orang Samaria yang baik hati. Itu adalah kisah yang populer. The Good Samaritan adalah perumpaaan yang dipakai Yesus dan dicatat dalam Injil Lukas. Orang-orang memakai kisah ini untuk menggambarkan kebaikan pada orang lain meskipun kita tidak mengenal orang tersebut. Kebaikan yang digerakkan karena belas kasih tidak pandang bulu.
Sambil lanjut menyapu, dia kembali menjawabku,” Oh begitu ya?,” tanyanya dengan nada menguji.
“Iya Pak. Itu kan ada di Kitab Suci. Kan kita harus kenal siapa yang kita sembah,” jawabku. Tanpa sadar, kakiku berjalan menuju bapak koster.
Ia berhenti menyapu dan menatapku. Lalu berkata,“Kalau begitu kamu jangan kenal saya, nanti kamu menyembah saya”. Ia tidak sedang bercanda.
Aku tercekat. Seperti gadis SMA yang malu-malu dengan pujaan hatinya, aku lantas membalasnya demikian, “ Kalau sama kamu, kalau kenal ya kita jadi sahabat.”
Raut wajah bapak koster itu berubah. Ia tersenyum lalu tertawa. Wajah yang sangat ramah dan akrab. Ia seperti seorang guru yang puas dengan jawaban muridnya. Aku juga tertawa. Lalu kemudian pergi dari hadapannya. Aku tidak melihat dia lagi sampai kami beranjak dari gereja.
Setelah berjarak dari peristiwa itu. Pada malam harinya menjelang tidur, aku tiba-tiba teringat percakapanku dengan koster itu. Rasanya percakapan tersebut tidak lazim antara seorang koster dengan orang yang datang berziarah. Aku merinding sekaligus berbunga-bunga mengingat percakapan itu.
Lalu, aku teringat kamu. Dan aku merasa kamu perlu mengetahui kisah ini.
Juni, baik-baiklah disana. Aku berdoa semoga kamu selalu sehat dan siap dengan pentahbisanmu. Semoga aku juga bisa hadir disana. Aku juga berdoa jika kamu pun nanti bisa hadir di hari pengangkatan sumpah jabatanku. Semoga Antua membuka jalan ya.
I Love You, Juni.
0 comments