Artikel itu menyapaku begitu saja dari halaman majalah Tempo yang terbit beberapa tahun silam. Namanya tak asing. Saya belum terlalu mendalami karya-karyanya, tapi suatu saat akan kucoba menghabiskan waktu dengan membaca pemikirannya. Beberapa puisinya pernah kubaca, tapi waktu itu saya tak punya cukup kemampuan dan pengalaman untuk memahaminya. Saya masih terlalu muda dan naif. Hari ini, saya juga masih muda, tapi mungkin tak senaif dulu.
Sylvia Plath, nama besar dalam dunia sastra. Ia adalah salah satu novelis, penyair, dan cerpenis Amerika ternama. Puisi-puisinya banyak dipakai untuk mengontekskan narasi perempuan di masa itu. Ia mungkin dianggap feminis juga. Sylvia mati bunuh diri. Ia memiliki masalah kesehatan mental yang cukup serius. Pernikahan dengan seorang penyair mapan dan memiliki dua anak ternyata tetap membuatnya merasa sendirian.
Mengapa sesuatu yang bermula begitu indah, bisa berakhir tragis?
"Dying is an art", begitu kata Sylvia dalam puisinya Lady Lazarus.