Aku menemukan satu keindahan. Ia bersembunyi di sudut emperan toko di jalan Maliboro yang ramai, bising, dan pesing. Ia berwujud seorang lelaki berwajah rupawan, dengan tatapan mata sayu nan sendu. Rambutnya cepak ala Keanu Reeves di film Speed. Ia memakai topi baseball cap dengan kemeja putih lengan pendek dan celana panjang hitam. Ada tindik di telinganya dan banyak tatto di kedua lengan. Tatto-nya agak-agak random: antara tatto macam tutul, tulisan nama "Ilham", arah tanda mata angin, dan abstrak yang tak kutahu apa artinya. Ia sedang menjajakan berbagai macam T-Shirt bertuliskan Yogyakarta atau bergambar Tugu, Malioboro, Keraton, dan Candi-Candi. Oleh-oleh khas yang diincar para turis jika berkunjung ke Yogyakarta.
Aku memandanginya penuh minat. Kureka-reka masa lalunya. Apakah dia mendapat kasih sayang yang cukup dari keluarganya? Masih adakah ayah dan ibunya? Dimanakah dia tinggal? Apakah dia pernah bersekolah? Apakah dia memiliki saudara? Apakah ia memiliki kekasih? Orang yang seperti apa yang bisa membuatnya jatuh cinta?
Jika saja dia datang dari kelas menengah ke atas, dia pasti akan terlihat cemerlang. Kalau saja dia mendapatkan pendidikan tinggi yang membuatnya mengetahui banyak hal dan mengunjungi banyak tempat, dia pasti sukses dan terpandang. Kalau saja dia bisa bekerja di tempat yang membuatnya memakai dasi atau kemeja Uniqlo, cewek-cewek akan mengelilinginya. Kalau saja dia nongkrong di cafe-cafe urban, dia akan bersenda gurau dengan teman-temannya yang datang dari kelas yang sama dengannya. Kalau harum tubuhnya adalah bau parfum yang menggoda, bukannya mau tengik keringat. Dia lebih cocok hidup di dunia yang kosmopolitan dan sophisticated daripada berjualan kaos di emperan toko seperti ini.
Lalu, aku tercekat.
Aku merasa sedih.
Karena aku berpikiran tidak adil. Aku juga memiliki sejenis kesombongan. Siapa aku yang menilai hidupnya untung atau malang? Siapa aku yang menakar kepedihan dan sukacita yang dialaminya? Siapa aku yang mengatur dia harus menjadi "siapa"? Siapa aku yang merasa hidupku lebih baik dari dia?
Aku malu. Bagaimana aku bisa berbuat adil jika berpikir adil saja aku tidak bisa? Bagaimana bisa aku tulus kalau aku masih memiliki keangkuhan?
Aku memandanginya penuh minat. Kureka-reka masa lalunya. Apakah dia mendapat kasih sayang yang cukup dari keluarganya? Masih adakah ayah dan ibunya? Dimanakah dia tinggal? Apakah dia pernah bersekolah? Apakah dia memiliki saudara? Apakah ia memiliki kekasih? Orang yang seperti apa yang bisa membuatnya jatuh cinta?
Jika saja dia datang dari kelas menengah ke atas, dia pasti akan terlihat cemerlang. Kalau saja dia mendapatkan pendidikan tinggi yang membuatnya mengetahui banyak hal dan mengunjungi banyak tempat, dia pasti sukses dan terpandang. Kalau saja dia bisa bekerja di tempat yang membuatnya memakai dasi atau kemeja Uniqlo, cewek-cewek akan mengelilinginya. Kalau saja dia nongkrong di cafe-cafe urban, dia akan bersenda gurau dengan teman-temannya yang datang dari kelas yang sama dengannya. Kalau harum tubuhnya adalah bau parfum yang menggoda, bukannya mau tengik keringat. Dia lebih cocok hidup di dunia yang kosmopolitan dan sophisticated daripada berjualan kaos di emperan toko seperti ini.
Lalu, aku tercekat.
Aku merasa sedih.
Karena aku berpikiran tidak adil. Aku juga memiliki sejenis kesombongan. Siapa aku yang menilai hidupnya untung atau malang? Siapa aku yang menakar kepedihan dan sukacita yang dialaminya? Siapa aku yang mengatur dia harus menjadi "siapa"? Siapa aku yang merasa hidupku lebih baik dari dia?
Aku malu. Bagaimana aku bisa berbuat adil jika berpikir adil saja aku tidak bisa? Bagaimana bisa aku tulus kalau aku masih memiliki keangkuhan?