28
Kamis, Mei 30, 2019
Saya percaya bahwa setiap orang diberikan suatu “duri dalam daging” yang membuatnya menanggung kepedihan dan penderitaan. “Duri dalam daging” itu akan membuatnya mengajukan berbagai pertanyaan, keluhan, bahkan gugatan atas pegangan yang diyakininya. Tak mudah menanggung rasa sakit itu. Ada trauma. Sebuah luka yang belum kering. Rasa itu menjadi horor, sebuah kutukan yang tercipta dari pola berulang yang sama. Sesuatu yang awalnya saya pikir adalah bencana. Saya merasakan ketidakadilan. Saya merasa menjadi pecundang. Orang yang kalah.
Tahun ini saya genap berusia 28 tahun. Tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Setiap tanggal 9 Mei, tepat pada pergantian jam 12, Mami akan membangunkan saya dan menyanyikan lagu “Happy Birthday”. Kadang dengan kue ultah yang lilinnya menyala, kadang juga tidak. Ketika saya merantau ke Jogja untuk sekolah, maka ia akan segera menelpon. Satu yang selalu ada, doa. Ia akan selalu mendoakan saya.
Tahun ini adalah perayaan ulang tahun pertama tanpa Mami. Tak ada telpon. Tak ada nyanyian “Happy Birthday”. Tak ada doa, ciuman, dan pelukan secara langsung. Malam itu, beliau seperti ada dan tiada. Sebaris pesan dari Daddy masuk. Ia mengucapkan selamat ulang tahun dan berpesan untuk berdoa pada Tuhan dan Bunda Maria. Daddy bukan family man. Ia tidak terbiasa dengan keintiman. Tapi, saya tahu ia mencintaiku lebih dari apapun.
Malam itu saya berdoa. Dengan berlinang air mata. Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang “duri dalam daging”. Saya meminta jawaban. Dan Dia menjawabku. Saya pikir ulang tahunku kali ini akan berlalu dengan biasa saja. Saya ingin merayakannya seorang diri. Makan mie dan membeli kue ulang tahun sendiri. Namun, hidup selalu memberi kejutan. Para sahabatku datang dan mengejutkanku. Ada rasa hangat di dalam dada. Kebahagiaan yang tak terucapkan ketika saya mengetahui betapa saya dicintai oleh mereka. Saya juga mendapat teman baru dan kesempatan bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa yang akan saya ajar. Di momen itulah, saya menyadari mengapa kampus itulah yang dipilihkan untuk saya. Dan saya diberikan tanggung jawab dan peran disana.
Semua adalah mujizat yang hanya bisa dimaknai dalam hening.
Saya pun menyadari bahwa “duri dalam daging” ini ternyata sebuah tegangan. Sesuatu yang dipakai untuk membuat saya tetap eling. Keadaan ini membantuku untuk waspada dari semua rasa, nafsu, dan syahwat yang positif dan negatif. Rasa-rasa yang ada dalam diri manusia. Tegangan ini memurnikan tabiat anak tunggal yang merasa seluruh alam semesta berputar mengelilinginya. Sebuah kemelekatan. Sebuah obsesi. Saya kini mengetahui bahwa semua rasa itu harus diterima dan dijaga keseimbangannya. Belajar mengenali potensi diri. Belajar untuk menerima apa yang menjadi keberuntunagn dan ketidakberuntungan saya. Belajar sportif. Belajar untuk waspada atas potensi-potensi baik dan jahat dalam diri. Yang melampaui batas harus dinetralkan melalui sikap refleksi dan pemurnian. Dan pada akhirnya, belajar untuk pasrah. Dengan kesadaran dan kekuatan ini, saya dapat bertransformasi menjadi versi terbaik dari diri saya. Sebuah metanoia.
Terima kasih Tuhan untuk kasih karunia-Mu.
Terima kasih Tuhan untuk kasih karunia-Mu.
Kamis, 30 Mei 2019, pada hari Kenaikan Yesus Kristus
yang juga jatuh pada Kamis, 9 Mei 1991
hari dimana saya memilih lahir ke dunia
0 comments