Cerita Pendek

Al dan Bintang di Langit (1)

Rabu, April 24, 2019

“Aku suka dia,” Al menunjuk laki-laki yang berdiri hanya beberapa meter dari kami duduk. Kulitnya putih bersih, agak kurus, dan tingginya proporsional untuk ukuran orang Indonesia. Hidungnya mancung, bibirnya agak tebal, tapi matanya akan menyipit jika ia tersenyum. Wajah yang ramah sekaligus sendu. Dia sering terlihat salah tingkah dan canggung. Ia tampan tapi kadang terkesan biasa saja. Ia seperti air, mengalir dan mengikuti bentuk. 
 “Serius? Itu kan….,”aku melotot
“Iya…,” Al memotong cepat. 
“Dan sebentar lagi dia akan menjadi…,”aku menyambung dan segera dipotong Al. 
“Iya,” ia menjawab namun matanya tak lepas dari lelaki itu. 

Setahun kemudian kami berjumpa lagi dengan lelaki pujaan Al. Iya jauh lebih percaya diri.  Ia banyak tersenyum sehingga wajahnya bercahaya. Suaranya merdu. Ya, Pesonanya semakin menguar. Ia telah menjelma manusia baru. Dengan kemampuan yang ia miliki, dengan modal sosial yang diberikan padanya sejak lahir, dengan latar belakang yang ia punya, dan nama besar rumah yang ia tempati, lelaki itu segera menjadi bintang baru. Ia tak hanya punya Al sebagai pengagum dari jauh, tetapi juga para fans perempuan maupun laki-laki yang mengidolakannya. 

“Al, fans-nya banyak sekali. Pulang yuk.” 
“Jangan dulu, Pilar. Tunggu sebentar lagi,” Al membujukku. 
“Tapi kepalaku sudah pusing ini. Betis sudah pegal,” aku menggerutu. 

Hari itu Al mengajakku mengikuti seminar dimana lelaki pujaannya menjadi pembicara utama. Ya, dia bintangnya malam itu. Dia berbeda sekali dengan setahun lalu ketika kami melihatnya. Tubuhnya sekarang lebih berisi. Ia mengenakan kemeja blue-navy berpotongan slim fit dengan denim yang melekat di badannya yang padat. Jika Al bersandar di dada atau punggungnya, yakinlah anak itu tidak akan rela untuk berpisah. 

“Pilar, kenapa sih aku selalu jatuh cinta pada bintang di langit?,” Al bertanya ketika kami dalam perjalanan pulang ke rumah. 
“Mungkin karena orang-orang seperti dia hanya akan lebih indah dipandang dari jauh. Kalau dia beneran jadi pacarmu, mungkin banyak yang musuhin kamu. Kamu juga harus kuat hati dengan rasa cemburu. Ah, terlalu banyak rintangannya. Tapi, kamu akan memiliki semacam kebanggaan karena berhasil memilikinya,” aku menjawab polos.
 
Al terdiam. Lelaki itu seperti bintang di langit dan Al seperti pungguk yang merindukannya. 

“Kenapa sih kamu menyebut dia bintang di langit?,”aku bertanya. 
“Karena dia hanya bisa dilihat dari jauh. Ia tidak bisa digapai. Bahkan jika kami berdekatan pun,” jawab Al.



(bersambung)




Aku dan Tuhan

Kapel

Rabu, April 03, 2019

Akhir-akhir ini saya suka bergereja di kapel RS Panti Rapih. Thanks to Lioni yang memperkenalkan saya dengan tempat itu. Misa dilaksanakan dengan tata cara Katolik dan berbahasa Inggris. Jadi, bisa lah sedikit-sedikit latihan merasakan misa kalau suatu saat melanjutkan sekolah ke negeri seberang. Tapi yang lebih istimewa lagi karena misa-nya diadakan di rumah sakit. Tempat itu selalu menakutkan bagi saya. Disitulah kehidupan dan kematian bertemu. Setiap jam ada saja yang pergi mendahului kita. Setiap jam ada juga yang terlahir ke dunia. Di tengah-tengah paradoks itu ada doa yang dipanjatkan sebagai jembatan antara yang hidup dan yang mati.

Biasanya saya datang misa yang dihelat pada sore hari. Di setiap misa itupula selalu bertepatan dengan hujan. Suasana rumah sakit yang sendu dan langit mendung yang gelap merupakan kombinasi munculnya rasa sesak yang ganjil. Kau tahu ketika kau menangis tapi tidak bisa, kau ingin marah tapi tidak bisa melampiaskan. Kau hanya bisa diam dan merenung. Kadang-kadang berkeluh kesah. Tapi lebih sering kau ingin teriak. Meskipun lagi-lagi tidak bisa. 

Kau tidak bisa marah pada persona yang kau cintai. Kau gemas. Tapi juga rindu pada-Nya. 




Peringatan 9 Bulan Mami Pergi
14 hari menjelang Pemilu
18 hari menjelang Paskah