Layfe
Jumat, April 20, 2018
Bagaimana rasanya menjadi bagian dari ketidakadilan?
Lelah. Sangat Lelah.
Rasanya seperti ada hubungan patron-klien yang
tidak terputus. Seperti ada relasi kuasa abadi yang tidak bisa diubah. Kau adalah korban ketidakadilan,
kau melihat ketidakadilan di depan matamu, kau melakukan ketidakadilan kepada
orang lain, dan kau tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah bahkan mencari
solusi dari hal itu. Kita terjebak di dalam dunia yang tidak adil. Parahnya,
sistem agama mengajarkan kita untuk tetap percaya pada Tuhan. Tuhan yang disembah di langit maupun yang menjelma sistem universal yang menjebloskan kita ke dalam dunia yang penuh penderitaan. Samsara. Dukha. Bisakah kita tetap percaya pada seseorang yang mengecewakan kita? Bisakah kita tetap setia ketika kita merasa ditinggalkan?
Bayangkan, satu-satunya kekuatanmu di dunia. Satu-satunya
yang paling kau cintai dan imani. Satu-satunya yang kau pegang. Dan Dia pula yang
mengkhianatimu. Meninggalkanmu di tengah jalan ketika api harapanmu berkobar. Kini, kau merangkak,
berdarah, penuh luka dan memar kembali mengulang dari nol. Tanpa kekuatan. Tanpa modal. Tanpa kawan. Sendirian di jalan yang terlalu sunyi.
Sisifus dikutuk hal yang sama. Ia dikutuk para Dewa untuk mendorong
batu besar sampai ke puncak gunung. Begitu sampai di puncak, ia harus
mendorong kembali batu itu ke bawah, duk...duk…duk...gluduk….Lalu ia mulai lagi
mendorong batu itu ke atas, dan melemparkannya kembali ke bawah. Begitu terus seumur hidupnya. Orang awam melihatnya sebagai tindakan sia-sia, tak berguna, dan tanpa harapan. Tetapi filsuf
Perancis, Albert Camus, melihatnya sebagai upaya mempertajam kesadaran. Setiap
kali Sisifus mengulang pekerjaan itu, kesadarannya terbangun. Ia mengenali setiap langkah yang ia lewati. Ia tak melupakan setiap lekuk, tanjakan, dan lubang yang ia temui. Mungkin kadang ia berhenti sejenak dan menikmati pemadangan dari atas gunung, melihat pelangi sehabis hujan, atau melihat matahari dan bulan yang menyapanya. Ia makin sensitif memaknai perjuangannya.
Begitukah hidup?
0 comments