Billy Joel, Jakarta Sebelum Pagi, dan Hal-Hal Yang Belum Selesai
Sabtu, Oktober 14, 2017
Ketika kamu bekerja, weekend merupakan waktu yang selalu dinanti. Saya selalu menyukai hari Sabtu (kemudian teringat bahwa waktu sekolah dulu, saya tetap masuk di hari Sabtu) lebih-lebih kalau cuacanya mendung atau sekalian hujan. Rasanya semua perasaan sendu-romantis menghambur di dada, menyebabkan kantuk, dan berakhir dengan tidur sampai siang yang nikmat.
Sabtu yang mendung juga mengingatkan saya dengan lagunya Roxette yang dimulai dengan lirik, "Milk and toast and honey, make it sunny on a rainy Saturday...". Saya suka lagu itu karena musiknya seksi. Namun, di siang yang mendung kali ini, saya memilih mendengarkan lagunya Billy Joel yang judulnya Just The Way You Are yang diambil dari album kesukaan saya The Stranger (1977). Lagu ini membuat suasana jadi romantis terutama pada suasana mendung meskipun anda mungkin sedang tidak jatuh cinta. Billy Joel menciptakan lagu ini untuk istrinya, Elizabeth, yang kemudian tak lama setelah lagu itu dirilis justru bercerai dengannya.
Begitulah cinta. Magis dan aneh. Cinta punya banyak dimensi. Dimensi terluar adalah dimensi fisik yang berhubungan dengan hal-hal yang membuat kita menakar seseorang untuk layak dijadikan pasangan. Dimensi yang menurut saya sangat politis. Karena orang bisa tidak dicintai hanya karena agamanya berbeda, rupanya unik (tidak sesuai gambaran manusia ideal versi iklan produk kecantikan), atau karena dia sama sekali tidak cerdas. Cinta yang lain memiliki dimensi substantif, alias mencintai karena sesuatu yang esensial. Itu loh jenis cinta yang meski orangnya berganti rupa atau identitas sekalipun, kamu tetap mencintainya. Mencintai orang karena esensi adalah yang paling sulit sekaligus juga jarang terjadi di dunia yang segala sesuatu mudah dipertukarkan. Meskipun demikian, saya punya satu keyakinan tentang cinta: Jika kamu mencintai, kamu akan melakukan apa saja untuk yang dicinta. Bagi saya, cinta membuat kita melakukan apa saja bahkan jika hal itu diluar batas kemampuan kita.
Inilah yang terkonfirmasi dari novel Jakarta Sebelum Pagi karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Novelnya diceritakan dengan penuturan yang unik. Mungkin hanya orang yang punya selera humor bagus yang mengerti cara Ziggy bercerita. Dari novel inilah, saya menemukan tokoh Abel, seorang yang memiliki phobia terhadap suara dan sentuhan. Abel jatuh cinta pada Emina, yang suaranya lantang dan anaknya heboh. Kebayang kan, bagaimana Abel harus mengutarakan perasaannya dengan mengatasi ketakutan-ketakutannya itu. Sebagai catatan, orang yang phobia bisa mati karena ketakutannya. Abel merasa ditusuk-tusuk atau terbakar jika ada yang menyentuhnya atau ingin mati rasanya ketika mendengar suara yang besar. Ketika akhirnya ia berupaya mengaitkan telunjuknya ke telunjuk Emina, bisa Anda bayangkan betapa beraninya ia?
Seperti Abel saya punya ketakutan saya sendiri. Saya takut dengan waktu, bahkan sejak dalam kandungan. Namun kali ini, saya harus mengalahkan diri saya, ketakutkan saya demi cinta saya padanya. Ia tidak mudah digapai. Ia berdiri di puncak Himalaya. Dan kau tahu, jika kau ingin mendaki puncak Himalaya maka persiapannya tidak sama seperti ketika kau ingin mencapai puncak Semeru. Kau tahu resikonya. Kau tahu kesulitannya. Tapi kau tetap melakukannya. Kau mencintainya, maka kau berusaha mengalahkan dirimu untuk melalui semuanya itu demi mendapatkannya. Untuk seseorang yang selau dikabulkan keinginannya sesuai waktu yang dikehendakinya, menunda dan menunggu sesuatu seperti membuatnya ditusuk dan dibakar. Tapi saya harus tetap tabah, demi cinta. Demi sesuatu yang belum selesai.
Cinta pada ilmu pengetahuan membuatmu penuh. Namun, jalannya sunyi dan berliku. Saya tak menduga, jalannya memang sesepi ini.
0 comments