Bintang Lima
Minggu, Juni 25, 2017
*google
Kenangan memiliki banyak spektrum: mulai yang standar seperti manis, pahit, lucu, dan traumatis hingga yang bikin dilema: dibuang sayang tapi disimpan juga jangan, dikenang atau dihapus selamanya. Salah satu album musik yang membawa banyak kenangan adalah album Dewa yang berjudul Bintang Lima. Album ini berisi 11 lagu ( 2 lagu adalah instrument) dan merupakan album penting dari fase post-Ari Lasso. Ada dua personil baru yang diperkenalkan melalui album ini: Elfonda Mekel alias Once, sang vokalis dan Tyo Nugros, sang drummer. Ada semacam "kekhawatiran" saat itu bahwa Once tidak mampu menggantikan karisma Ari Lasso. Beruntungnya, sosok dan warna vokal Once justru telah mentransformasi Dewa menjadi lebih dewasa. Sayang sekali, band ini mati suri pada akhirnya (dan Dhani berubah menjadi seperti sekarang). Saya beruntung pernah menyaksikan konser reuni-nya Dewa 19 dua tahun lalu. Dulu waktu zaman Once, saya mencari-cari Ari Lasso. Giliran Ari Lasso yang tampil, saya mencari-cari Once. Begitulah hidup, yang tak ada dicari, yang ada dicuekin *eh.
Kembali ke album Bintang Lima, album ini memiliki kenangan tersendiri untuk saya karena inilah album pertama yang saya beli dengan uang jajan sendiri. Harganya waktu itu sekitar 17.000-an (atau 20.000? hmmm lupa yang jelas tak sampai 50.000 karena anak SD tak punya uang jajan sebanyak itu dulu hehehe). Saya membeli album ini gegara suka banget dengan lagu Roman Picisan yang waktu itu sering diputar di radio. Roman Picisan memang hits perdana yang dilempar dari album Bintang Lima. Lagu ini memang grande, musik maupun liriknya memang puitis, klasik, dan sekaligus bikin ngilu.
Saya ingat banget ketika membeli album ini. Waktu itu setelah pulang sekolah, Daddy mengantarkan saya ke Disc Tarra, hujan keras pula. Kasetnya kemudian diputar berulang-ulang, tidak peduli baru bangun tidur, lagi kerja PR, hingga mau tidur lagi. Tentu saja saya ikut bernyanyi. Nyanyinya dengan sepenuh hati dong. Waktu itu lagu Dua Sejoli juga jadi soundtrack salah satu sinetron di Indosiar. Kalau gak salah yang main Cindy Fatika Sari dan Tengku Firmansyah. Meski masih jadi anak SD yang miskin pengalamana cinta, saya sudah terhanyut dan belajar banyak dari lagu-lagu di album itu. Kelak, beberapa lagunya masih relevan menjadi soundtrack kisah percintaan saya hingga kini.
Demi totalitas sebagai Baladewa, saya juga membaca buku-bukunya Kahlil Gibran. Khusus untuk album Bintang Lima, Dhani memang banyak mengambil syair-syair puisi dari Kahlil Gibran. Buku penyair Lebanon yang saya baca pas zaman itu adalah Sayap-Sayap Patah dan Jesus The Son of Man. Meski tidak selalu mengerti kisah yang ditulis Gibran, saya menemukan bahwa cinta mengundang banyak penderitaan tetapi anehnya dalam penderitaan itu orang justru menemukan kebahagiaan. Saya mengingat dengan jelas sebuah larik puisi Gibran yang dijadikan lagu di album ini:
Bila cinta memanggilmu
Kau ikut kemana ia pergi
Walau jalan terjal berliku
Walau perih slalu menunggu
(Cinta adalah misteri - Dewa)
Meski hapal semua lagu-lagu di album Bintang Lima. Lagu andalan saya adalah Risalah Hati. Lagunya sedih dan kok bisa cewek banget ya (kelak saya tahu kalau Bunda Maia yang tulis liriknya). Ceritanya tentang seseorang yang jatuh cinta tetapi sayangnya cintanya tidak berbalas atau paling tidak orang yang dicintai itu tidak memiliki kadar cinta yang sama dengannya. Oleh karenanya, seseorang ini menuliskan risalahnya. Yang kusukai dari lagu ini, meski menderita banget tetapi sang pecinta tetap optimis merebut hati orang yang dicintainya itu. Selain itu, ada lagu Hidup Adalah Perjuangan (yang katanya Royyan mengutip kalimatnya Nietzsche) dan Lagu Cinta yang selalu bikin hati hangat setiap kali memasuki fase awal naksir seseorang.
Di awal tahun 2000-an, album ini memang termasuk populer. Beberapa teman saya di kelas juga penyuka album ini. Bersama Jean dan Tirta, kami mencari not angka lagu Roman Picisan untuk dimainkan di pianika. Kadang kalau guru tidak ada di kelas, kita akan bernyanyi bersama. Paling asyik pakai lagu Sayap-Sayap Patah, Separuh Nafas, atau Cemburu. Ketika menyanyikan lagu-lagu itu, kami merasa sangat keren. Seorang teman saya yang bernama Bryan (entah dimana ia sekarang) memberikan stiker hati dan sayap yang merupakan logo album Bintang Lima. Stiker itu saya tempel di kaset saya dan masih ada sampai sekarang. Selain Bryan, ada Tono. Kami berdua suka sama-sama menyanyikan Sayap-Sayap Patah. Beberapa hari yang lalu saya melihat ia memposting sedang mendengarkan kembali album Bintang Lima di salah satu medsos-nya.
Hal itu kemudian membuat saya teringat drama antara Tono dan Siska di masa lalu. Siska, sahabat saya itu, menyukai Tono sejak kelas 1 SD. Kami semua memang teman akrab, sama-sama satu kelompok belajar hingga satu kelompok dance perpisahan kelas. Saya senang bergaul dengan keduanya karena kami nyambung ngobrol apa saja. Tono dan Siska sama-sama Gemini. Dua-duanya memang pribadi yang pintar dan charming. Dua-duanya memiliki wawasan yang luas. Jika penerimaan rapor tiba, mereka berdua peringkatnya berdekatan macam Satre dan de Beauvior di masa kuliah. Pendek kata mereka cocok!
Perasaan Siska pada Tono terkuak ketika kami duduk di kelas 3 SMP. Kebetulan kami melanjutkan ke SMP (dan SMA) yang sama. Sayangnya, setelah memendam perasaan selama 9 tahun, Siska harus menerima kenyataan pahit. Tono tidak memiliki perasaan yang sama pada Siska. Ia malah menghindari Siska setelah mengetahui perasaannya. Hubungan pertemanan mereka jadi renggang. Siska tidak hanya kehilangan orang yang disukainya, tetapi juga temannya sendiri. Kami akhirnya mengetahui bahwa Tono ternyata naksir cewek lain. Pengalaman "cinta bertepuk sebelah tangan" ini mengajarkan kami banyak hal, termasuk refleksi kritis terhadap konstruksi "cantik" dan relasi antara laki-laki dan perempuan.
Belasan tahun berlalu, namun kenangan-kenangan itu masih tersimpan rapi. Saya masih bertanya-tanya bagaimaan proses seleksi kenangan itu? apa kriteria hingga satu kenangan terpilah dan masuk kotak sampah. Manakah yang akan tinggal dan terpatri di ingatan. Saya tidak tahu jawabannya.
Perasaan Siska pada Tono terkuak ketika kami duduk di kelas 3 SMP. Kebetulan kami melanjutkan ke SMP (dan SMA) yang sama. Sayangnya, setelah memendam perasaan selama 9 tahun, Siska harus menerima kenyataan pahit. Tono tidak memiliki perasaan yang sama pada Siska. Ia malah menghindari Siska setelah mengetahui perasaannya. Hubungan pertemanan mereka jadi renggang. Siska tidak hanya kehilangan orang yang disukainya, tetapi juga temannya sendiri. Kami akhirnya mengetahui bahwa Tono ternyata naksir cewek lain. Pengalaman "cinta bertepuk sebelah tangan" ini mengajarkan kami banyak hal, termasuk refleksi kritis terhadap konstruksi "cantik" dan relasi antara laki-laki dan perempuan.
Belasan tahun berlalu, namun kenangan-kenangan itu masih tersimpan rapi. Saya masih bertanya-tanya bagaimaan proses seleksi kenangan itu? apa kriteria hingga satu kenangan terpilah dan masuk kotak sampah. Manakah yang akan tinggal dan terpatri di ingatan. Saya tidak tahu jawabannya.
Ps: Kusarankan kalian membaca tulisan ini sambil mendengarkan album Bintang Lima-nya Dewa.
5 comments
Saya langsung ke youtube putar lagunya, hehehhe.. Duh masa2 baper itu...
BalasHapushahhaaa...selamat bernostalgia mbak ririn.....:*
BalasHapusaku berhenti di pandawa lima :(
BalasHapusKak Emma: saya berhenti di Laskar Cinta.....setelah itu Dhani aneh2 mi kak...hehee
BalasHapusPagi kak. Kak maaf, punya scan cover baliknya ngga kak? Soalnya saya mau bikin promo album bintang lima yg mau di buat vinylnya. Terima kasih kak
BalasHapus