Tenebrae
Senin, April 17, 2017
Jalan setapak menuju kapel itu dipenuhi taburan bunga. Di setiap siku kelokan, terdapat satu lilin yang apinya menari pelan ditiup angin magrib. Hening. Saya memeluk lengan June dengan erat. Suasana kedukaan mulai terasa. Ada rasa ganjil, namun bukan ketakutan. Ganjil ini menghadirkan kesedihan yang pasti. Pintu kapel terbuka lebar. Bau harum bunga dan dupa mulai tercium. Bebauan yang mengingatkan saya pada bau pemakaman Panaikang di Makassar. Saya dan June tercekat, memandang takjub sekaligus sedih akan pemandangan di depan kami. Di hadapan salib dan altar, terletak tiruan peti mati yang terbuat dari styrofoam. Peti itu ditutupi kain tile dan di atasnya ditaburi bunga. Di depan peti itu diletakkan potret Yesus. Ritual ini lazimnya dilakukan pada orang Kristen yang meninggal dunia. Selain itu, ada 8 lilin yang diletakkan di atas altar dengan rangkaian membentuk segitiga. Lilin-lilin itu belum dinyalakan.
Kodong, Tuhanku… (Kodong, anak-Ku...)
***
Sebelum memasuki kapel, kami membungkuk dalam, menghormati dan menyembah Ia yang bersemayam disana. Patung-patung di dalam kapel dibungkus kain ungu, tanda perkabungan. Kami duduk lesehan di depan altar, sangat dekat hingga bisa melihat raut wajah Yesus yang lembut. Ini pengalaman pertama bagi saya dan June. Kami datang dari tradisi yang sama sekali berbeda. Ironis memang, karena praktik ini sudah dilakukan gereja-gereja dan biara-biara kuno. Para frater mulai masuk melakukan persiapan. Ada yang menyiapkan nyanyian dan dibantu para pemuda dari OMK (Orang Muda Katolik). Sebagian lagi mempersiapkan teknis peribadatan. Umat mulai berdatangan: para romo, frater, suster-suster, dan umat awam. Kapel kecil itu mulai terisi penuh. Kedelapan lilin mulai dinyalakan. Ibadah dimulai. Kami mulai menyanyikan lagu-lagu dari Gita Taizé.
Tinggalah bersama Aku di dalam doa (aku disini, Tuhan)
***
***
Tujuh sabda Yesus di kayu salib mulai dibacakan satu-persatu. Setiap selesai pembacaan satu sabda dan renungan, maka satu lilin akan dimatikan. Begitu seterusnya hingga tersisa lilin yang berada tengah. Lilin yang paling besar dari semua lilin disana. Lampu-lampu kapel juga perlahan-lahan dimatikan. Nyanyian Taizé yang bersifat meditatif mendukung suasana itu. Namun bukan berarti nyanyian petang itu selalu bersifat religi. Seorang solois menyanyikan lagu Let It Be dari The Beatles untuk merespon pembacaan dan renungan sabda ketiga. Sabda ketiga adalah ketika Yesus melihat ibu-Nya dari atas kayu salib dengan percakapan yang terkenal dengan kalimat "Ibu inilah anakmu" itu. Saya selalu mengenal Let It Be sebagai lagu sekuler yang humanis. Oh, tidak. Malam itu, lagu ini bercerita tentang Maria. Penderitaan Kristus adalah penderitaan Maria juga. Sang Bunda telah mengetahui segalanya. Ia tahu bahwa jiwanya akan tertusuk sebilah pedang seperti perkataan Simeon. Namun, perempuan ini berkata "Terjadilah...let it be..". Perkataan yang diikuti Yesus di depan sengsara-Nya, "Jadilah kehendak-Mu...". Penyerahan total Maria dan kekuatannya mendampingi putranya hingga mati di kayu salib telah menggetarkan dunia.
Terkadang dalam hidup kita tidak bisa lagi mengubah sesuatu atau keadaan. Ada kalanya, jalan terbaik adalah berserah. Penyerahan bukan kekalahan. Penyerahan adalah mengakui bahwa kita memiliki keterbatasan. Paul McCartney menciptakan dan menyanyikan lagu ini dalam kesedihan, kebimbangan, dan kesulitannya di masa-masa berakhirnya The Beatles. Ia bermimpi ibunya yang telah meninggal mendatanginya dan berkata, "It will be alright, just let it be...". Ketika Maria berkata "Jadilah kehendak-Mu", ia sudah tahu dan bersedia menjalani sukacita dan penderitaan secara bersamaan. Ia menyimpan perkara di dalam hatinya.
Speaking words of wisdom, let it be
***
Pembacaan sabda ketujuh telah selesai. Lilin ketujuh telah dimatikan. Lampu di ruangan kapel telah dimatikan semuanya. Satu-satunya cahaya adalah dari lilin yang kedelapan. Itulah simbol Yesus sang Terang dan Ketenangan Dunia. Romo mengambil lilin itu dan mengaraknya ke kanan, ke kiri (sakristi), ke tengah, dan pada akhirnya menjauhi altar (keluar kapel). Semakin cahaya lilin itu menjauhi altar, maka umat membuat suara gaduh: memukul bangku, bertepuk tangan, berteriak, atau apa saja yang menciptakan keributan. Situasi ini menyimbolkan keadaan dunia yang kacau ketika ditinggalkan Yesus. Dunia telah kehilangan harapan. Lalu kegelapan memenuhi dunia. Itulah Tenebrae.
***
Setelah mengambil saat teduh, kami keluar dari kapel. Orang-orang saling bersalaman. Layaknya perkabungan tak ada yang bersuara keras. Berjalan pun pelan-pelan. Saya dan June masih shock. Liturgi adalah perjalanan kehidupan: kelahiran, masa bertumbuh, hingga kematian. Selama ini kami menjalani "liturgi" yang monoton. Ibadah Jumat Agung terasa sama saja dengan ibadah minggu biasanya. Ada kerinduan untuk memerlukan distingsi. Ketika kami akhirnya bertemu dengan salah satu tradisi purba Gereja, kami menyadari betapa mahalnya harga Reformasi Gereja. Betapa logos telah menjauhkan kami dari tradisi Gereja mula-mula. Reformasi telah membebaskan kami dari kekuasaan Gereja yang lalim, tetapi juga sekaligus mencabut kami dari akarnya. Umat hasil reformasi Gereja terdisartikulasi dari pengalaman purba koinonia-nya. Hari ini, tradisi seperti itu bisa saja dianggap "sesat" atau "menyimpang". Padahal disimilaritas seperti ini membuka ruang bagi ekspresi iman.
Seperti Maria, para perempuan, para murid, dan Yusuf dari Arimatea yang menguburkan Yesus, kami pulang dari "pemakaman Tuhan" dengan tanda tanya di hati masing-masing.
Apa yang telah terjadi pada Gereja hari ini?
P.S: Terima kasih untuk Celine, Tika, dan para frater yang mengundang kami untuk mengikuti Tenebrae (Kegelapan) di Skolastikat SCJ (Sacerdotum a Sacro Corde Jesu/Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus). Ibadah Tenebrae merupakan gabungan ibadah pagi dan ibadah sabda. Biasanya digabung dengan sabda-sabda dari Mazmur, Deutrokanonika, dan Perjanjian Baru. Paus menyerukan agar umat melakukan ibadah ini pada pekan suci terutama pada Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci. Tenebrae biasanya dilakukan pada jam 3 subuh, tetapi ibadah yang kami lakukan kemarin diadakan jam 7 Malam
Kodong = Kasihan (dengan prihatin); bahasa Makassar.
Frase "terjadilah" diambil dari kalimat Maria yang ketika itu didatangi Malaikat Gabriel dalam pewartaannya tentang kelahiran Kristus, "Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Lukas 1:38).
Kodong = Kasihan (dengan prihatin); bahasa Makassar.
Frase "terjadilah" diambil dari kalimat Maria yang ketika itu didatangi Malaikat Gabriel dalam pewartaannya tentang kelahiran Kristus, "Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Lukas 1:38).
1 comments
Doa dari tradisi katolik kuno, tdk banyak mungkin tidak tahu sama sekali generasi kekinian. Mungkin perlu menggali paham untuk mengerti.
BalasHapus