Kupu-Kupu Malam
Kamis, Januari 05, 2017
photo: http://manualdaloucaresolvida.blogspot.co.id/
Malam ini saya dan Satky ngobrol manja via whatsapp tentang banyak hal, termasuk ASEAN Community. Tentu saja, ASEAN Community yang kami bahas tak selalu intelek, kebalikannya justru kami akan teringat berbagai peristiwa konyol ketika kami KKN. Tahun 2012, saya dan Satky sama-sama menjadi mahasiswa KKN Internasional angkatan pertama di perbatasan Malaysia-Thailand, tepatnya posko kami terletak di Kedah. Nah, ASEAN Community ini menjadi topik empu yang didiskusikan bersama dengan para mahasiswa di Universiti Utara Malaysia.
Setelah KKN berakhir, dalam kurun waktu 2012-2015, hingga ASEAN Community benar-benar terjadi, kami berdua lebih banyak menggunakan kata itu untuk mencibir sesuatu yang tidak kami senangi sebagai guyonan sarkastis. Tapi yang namanya cibiran bukanlah perbuatan yang baik, anak muda. Guyonan kami itu ternyata berimbas karma. Satky menjadi dosen Hubungan Internasional yang sekarang sibuk mengurus akreditasi standar ASEAN akibat pengaruh ASEAN Community sementara saya secara tidak terduga menjadi peneliti muda di pusat studi tentang Asia Tenggara yang pasti akan membahas ASEAN Community.
Perbincangan mengenai ASEAN Community selalu menghantarkan pada salah satu pengalaman ketika kami berkunjung ke Thailand Selatan, tepatnya di Hatyai. Setelah seharian melakukan kunjungan lapangan kesana-kesini, anak-anak memutuskan mencari hiburan. Karena anak-anak laki-laki banyak ingin menonton Thai Girl Show, maka kami terpaksa menuju kesana. Rupanya klub Thai Girl Show yang didatangi berbeda dengan diimajinasikan (waktu itu saya pikir kita akan menonton Tiger Show), bisa dipastikan terkejutnya saya ketika dibawa ke tempat dimana perempuan-perempuan menjadi obyek laki-laki. Tentu saja tak gratis masuk kesana. Kami patungan 300 Baht per orang. Mengetahui kenyataan itu, sebagian besar dari kami memutuskan pergi darisana dan memilih jalan-jalan ke pantai, sementara sebagian besar lagi memutuskan tinggal. Satky adalah satu-satunya laki-laki yang memutuskan ikut rombongan ke pantai sementara saya dan dua teman perempuan yang lain memutuskan tinggal demi rasa penasaran.
***
Klub itu tidak terlalu besar, mungkin hanya bisa menampung 50-70 orang. Di sudut yang diberi lampu sorot (mirip dengan panggung untuk stand up comedy), seorang perempuan masuk dengan mengenakan pakaian minim, ia lalu striptease. Percayalah, pertunjukkan itu sangat tidak sebanding bila dibandingkan adegan striptease-nya Demi Moore di film Striptease. Saat itu saya menyadari bahwa selain rombongan kami yang sekitar 15 orang, ada beberapa tamu laki-laki yang juga berada disitu. Malam itu tidak terlalu ramai, mungkin juga karena baru pukul 9 malam. Kami bertiga hanyalah pengunjung perempuan disitu. Perempuan-perempuan yang lain bukanlah pengunjung. Mereka punya tugas untuk menemani para tamu, dipeluk dan diajak ngobrol entah apa.
Tak lama setelah perempuan pertama striptease, muncul perempuan kedua. Wajahnya manis, masih belia. Ia juga mengenakan pakaian super minim dan menari-nari menggoda. Saya memandang perempuan itu dengan sedih. Ia seharusnya berada di dalam rumah, belajar, atau membuat PR. Tapi malam ini ia bekerja demi menyambung hidupnya. Hal ini yang pula memiriskan hati adalah karena uang yang didapatnya tentulah tak seberapa karena akan dipotong oleh pemilik klub dan petugas keamanannya. Pendapatan mereka total akan bergantung pada kebaikan hati para tamu. Perempuan cilik itu masih meliuk-liuk. Sepatu hak tinggi bling-bling ukuran 12 cm yang dipakainya terlihat longgar. Teriris hatiku melihatnya. Kelak saya akhirnya tahu kalau pertunjukkan Thai Girl Show lebih akrobatik daripada pertunjukkan malam itu.
Meskipun pertunjukkan itu masih berlangsung, tetapi teman-teman laki-lakiku menyuruh kami bertiga perempuan yang ada disitu untuk segera pulang. Mereka tak nyaman ketika kami berada disitu disaat mereka mulai memesan bir tower dan beberapa diantara mereka sudah duduk berdempetan dengan perempuan. Dalam kesedihan dan kejengkelan, saya membayar minuman cola yang kami pesan dan langsung pulang. Peristiwa itu tidak pernah disinggung lagi karena entah mengapa ada yang melapor ke pacar-pacar teman-teman yang pergi ke klub malam itu. Pacar-pacar mereka marah, dan teman-teman itu marah kepada kami yang tak berada di klub. Sampai hari ini, siapapun yang telah mengadukan perihal itu tetap menjadi misteri. Dan peristiwa itu menjadi drama KKN yang paling absurd. Setidaknya bagiku.
***
Masa-masa KKN sudah lama berlalu, tapi aku tidak pernah melupakan pengalaman di malam itu. Bayangan anak perempuan itu tetap menghantui. Ia menjadi tanda bahaya bahwa perdagangan manusia masih terjadi sampai hari ini. Ia menjadi peringatan bahwa anak perempuan sangat rentan untuk menjadi pekerja seks komersial. Ia menjadi mimpi buruk bagi masa depan negara berkembang yang belum signifikan memperhatikan masalah perempuan dengan seksama. Apalagi sekarang adalah era ASEAN Community. Kompetensi yang semakin ketat tentu akan menyingkirkan mereka yang berada di lapisan terbawah dalam piramida ekonomi. Mereka yang tak bisa bertahan, selamanya secara sistemik berada dalam black hole penderitaan ekonomi dan sosial. Waktu aku menceritakan hal itu pada Satky, ia menulis dalam chatnya,”Bergetar hatiku bayangkan. Apalagi mereka tutur katanya lembut. Ramah-ramah sama pelanggan. Tapi dibalik senyuman itu ada kenyataan pahit”.
Hatyai bukanlah satu-satunya tempat yang membuatku menyadari industri seks begitu merajai dunia. Aku teringat perempuan muda berpakaian seksi yang terlihat acuh pada laki-laki yang terlalu genit padanya di sebuah restaurant di Mall Malioboro pada jam 10 pagi. Perempuan-perempuan berpakaian minim yang duduk di depan klub sambil berpangku kaki dan merokok di sepanjang jalan Nusantara di Makassar dan sebuah klub di daerah Demangan, Jogja. Pekerja seks transgender yang aku temui tak sengaja di jalan-jalan sempit di Berlin dan di daerah Bukit Bintang, Malaysia. Perempuan-perempuan yang berlalu lalang dengan bule yang memeluk mereka erat di daerah merah Bangkok. Jika memang benar bahwa tak ada manusia yang meminta dilahirkan menjadi penjaja diri, maka saya bertanya dengan sedih, “Apakah nasib ada ditangan Tuhan atau di tangan Negara? Apakah kita ini korban takdir atau korban sistem?
Sambil menuliskan ini saya teringat lagu lama yang dinyanyikan Titiek Puspa dengan getir:
Dosakah yang dia kerjakan
Sucikah mereka yang datang
Kadang dia tersenyum dalam tangis
Kadang dia menangis di dalam senyuman
0 comments