Like a Virgin
Senin, Desember 19, 2016
Di tahun 1984, Madonna, the Queen of Pop, merilis hits singlenya yang berjudul Like a Virgin. Sepanjang karirnya di dekade 1980-an, Madonna telah mencerminkan diri sebagai perempuan pemberontak yang independen nan seksi. Segala hal dieksplorasinya, termasuk kerap kali menggunakan simbol-simbol agama, terutama Kristen, meski tidak selalu untuk menyampaikan maksud lagunya. Di video klipnya, Madonna mengenakan kalung salib dan simbol St.Mark, yaitu kepala singa. Meskipun sebenarnya lagu Like a Virgin bercerita tentang bagaimana seseorang bertahan dalam situasi sulit dan kemudian bertemu dengan orang yang memberinya harapan atau membuatnya move on, Madonna dan seksualitasnya menginterpretasi lagu itu dengan cara yang berbeda. Ia telah membangkitkan “iblis betina” di dalam diri setiap anak perempuan.
Karir Madonna juga tak luput dari kontroversi. Eksploitasi Madonna terhadap simbol-simbol Kristen mendapat kecaman oleh Gereja-Gereja di Barat, terutama Katolik dan beberapa Reformed Church. Madonna dianggap melakukan penistaan agama. Gereja mengeluarkan fatwa, menyanyikan lagu dan ngefans sama Madonna dianggap menyembah Lucifer, si raja Iblis. Saya lantas teringat seorang teman yang tumbuh di kalangan fundamentalis Kristen. Ia tak pernah mendengarkan Rolling Stones atau Madonna. Bahkan komik dan Pokemon pun dibakar di lingkungan rumahnya. Menariknya, antipati Gereja terhadap Madonna justru menguntungkan posisinya. Magnet Madonna sebagai ikon budaya Pop justru semakin menguat. Para kawula muda pun menyembah dirinya. Ini mungkin mirip dengan elektabilitas Ahok dalam masa pemilihan Gubernur DKI Jakarta saat ini. Semakin Gereja mensetankan Madonna, semakin keras golongan konservatif menyerang Ahok, Madonna dan Ahok justru mendapat simpati. Madonna jadi orang kaya, Ahok? Hmmm… kemungkinan ia bisa terpilih kembali.
Pemaknaan terhadap sesuatu sangat tergantung terhadap subyek yang memaknai. Maka, kita juga perlu hati-hati dalam menerima makna yang diberikan kepada kita. Saya ingat waktu pertama kali belajar fotografi. Seorang pemateri di pelatihan tersebut mengatakan bahwa foto yang bagus tidak selalu dipengaruhi oleh kamera yang canggih. Mata orang yang menggunakan kamera adalah faktor utama. The man behind the gun, begitu ia menyebutkan sebuah frase yang kemudian kucatat dalam hati. Senjatanya boleh sama, tetapi orang yang menggunakannya bisa berbeda. Setiap orang memiliki interpretasi dan motif yang berbeda-beda.
Sama seperti saat ini. Menjelang Natal, suasana di pertokoan dan pusat perbelanjaan sangat semarak. Ornamen Sinterklas atau Santa Claus, Pohon Natal megah, dan lampu-lampu kelap-kelip dipadukan dengan instrumen atau lagu-lagu Natal menciptakan suasana yang syahdu. Ada sukacita dan juga rasa damai. Suasana yang sebetulnya paradoks karena justru dialami di Mal-Mal, bukan di Gereja. Gereja saat ini sedang berduka. Ini adalah masa Advent yang berat. Bahkan dekorasi Natal terlihat murung. Sukacita dan damai itu digerogoti perasaan takut dan cemas. Gereja seperti anak perawan yang bingung dan takut melintas di jalan. Segerombolan orang datang, berteriak-teriak, dan melarang pemasangan atribut Natal. Orang dilarang beribadah di tempat umum. Belum lagi ancaman teror bom. Dan yang menyedihkan kata “kafir” muncul entah darimana, tersemat seperti kata “lonte”.
Tadi malam saya menonton video yang diposting Ayu Utami di Twitter. Video lagu Like a Virgin. Kali ini bukan Madonna yang menyanyikan lagu itu. Seorang biarawati Katolik yang menyanyikannya. Seperti Madonna, kalung salib juga tergantung di dadanya. Suster Cristina namanya. Meskipun rambutnya tertutup kerudung, jubah biarawatinya menutup aurat, dan ia memakai kacamata, sungguh ia memiliki mata yang indah.
Suara Suster Cristina mengalun merdu. Lembut namun bertenaga. Like a Virgin menjelma lagu spiritual yang seksi begitu kata Mbak Ayu. Lirik lagu itu berubah makna. Bukan anak tak perawan yang merasa seperti perawan lagi. Tapi lebih jauh. Seorang Perawan yang melepaskan dirinya untuk menjadi tabut perjanjian Allah. Padahal lagu itu adalah lagu yang sama dengan yang dinyanyikan Madonna tiga dekade silam. Pemberontakan menjelma pemujaan. Begitulah, the man behind the gun bekerja.
Namun, siapa aku yang membuat penilaian. Seperti kata Awkarin, “ Kalian semua suci, aku penuh dosa…”
Namun, siapa aku yang membuat penilaian. Seperti kata Awkarin, “ Kalian semua suci, aku penuh dosa…”
0 comments