1. Yesus
dihukum mati
Ingatanku masih jelas mengingat hari itu,
sejelas aku mengingat ulang tahunku sendiri. Aku memutuskan berjalan di jalan
para Begawan. Aku ingin menjadi brahmani. Hidup tanpa pikat duniawi. Aku ingin mengabdi
pada pengetahuan dan kemanusiaan. Hadiahku pasti. Jiwaku merdeka karena aku
berdaulat atas tubuh dan pengetahuanku. Aku menerimanya dengan penuh iman dan
bersandar pada Allah. Aku percaya Allah berjalan di depanku seperti ketika dulu
Ia berjalan memimpin Israel ke luar dari tanah Mesir.
2.
Yesus memanggul salib
Ternyata
tidak mudah menjadi seorang brahmani. Kau harus berguru pada para Begawan. Kau
harus mengabdi pada mereka. Kesunyian adalah kawanmu yang paling karib. Kadang
kau merasa sendiri. Kadang kau tak dimengerti. Ada masa di mana aku merasa
kesepian dan merindukan pelukan. Tubuhku lelah dan pikiranku seolah tak pernah beristirahat.
Aku ingin menyerah, tetapi cita-cita mengalahkan kepengecutanku. Begitulah murid.
Begitulah abdi. Manisnya memabukkan tetapi pahitnya membuat nyinyir. Inilah
salibku. Aku mengenang masa-masa itu sebagai momen kedekatanku dengan Allah.
Jika Ia di pihakku, siapakah yang mengalahkanku?. Seperti Yesus, aku juga
memikul salibku dengan penuh cinta. Aku tahu ini berat. Aku tahu jalannya
panjang dan berliku. Tapi cinta yang menguatkanku untuk bertahan.
3.
Yesus Jatuh Untuk Pertama Kalinya
Kadang-kadang
aku merasa Allah lupa bahwa manusia memiliki waktu yang lebih pendek dari
waktu-Nya. Aku dianugerahi kehendak bebas. Aku tak mau menunggu dalam diam. Dan
kesempatan-kesempatan pun datang menjelang. Aku kini berhadapan dengan
persimpangan jalan. Semuanya terasa masuk akal, namun hanya satu yang memikat.
Aku dan ukuran kemanusiawianku menilainya dan berharap inilah yang terbaik. Saat
itu aku juga berpikir mungkin inilah jalan Tuhan. Rasanya waktu itu Roh Kudus
bekerja di dalamku. Wajahku bersinar dan ada rasa optimis. Setiap proses
kulalui dengan percaya diri. Aku merasa aku layak. Aku merasa niat tulusku akan
membawaku ke puncak. Sayangnya, aku terjatuh. Aku berharap lebih pada salah
satunya. Aku telah terpikat pada simbol-simbol dunia. Aku berdoa, “Tuhan
izinkan aku marah pada-Mu.”
4. Yesus
Berjumpa dengan Ibunya
Perjuanganmu akan terasa ringan jika orang
tuamu mendukung. Ibuku adalah orang yang memberiku semangat dunia. Imannya
mengagumkanku. Jika aku lemah, aku merasa iman ibuku yang menyelamatkanku.
Namun, hari itu aku meragukan imanku, yang tampaknya tidak sebesar biji sesawi
pun. Aku bahkan berpihak pada Kain, Anak Sulung, Lucifer, dan seluruh tokoh
antagonis dalam dongeng-dongeng. Aku seakan memahami perasaan mereka. Perasaan
kecewa terkhianati dan menuduh Allah memiliki kecenderungan untuk pilih kasih.
Oh, dan jangan lupakan Ayub. Allah dan Ayub adalah pasangan BDSM paling
legendaris sepanjang masa. Aku tak tahu lagi, apakah aku dikasihi oleh-Nya atau
tidak. Aku tak tahu lagi apakah aku menikmati penderitaan ini, atau Allah
senang menyiksaku sebagai tanda cinta. Ibuku melihatku seperti Anak Hilang. Ia
memilih pergi dari kamarku begitu aku menyebut Lucifer dan aku berbagai nama
tengah yang sama.
5. Yesus
ditolong oleh Simon dari Kirene
Ketidakmampuanku memahami Allah membuatku
marah dan sedih. Aku tidak tahu lagi: mana iman, mana cita-cita, atau mana
kehendak Allah dan mana hawa nafsuku. Aku menjelma orang yang tidak aku sukai.
Aku menjadi nyinyir. Banyak orang nyinyir saat ini. Mereka memposting kebencian
mereka ke jagat dunia maya. Tak ada orang baik di mata mereka. Tapi nyinyirku
berbeda. Seperti kata temanku, Afif, mereka nyinyir karena benci, tetapi aku
nyinyir karena sedih. Aku bertemu Simone sebagai bagian dari perjalanan panjangku
di sebuah kota tempatku memuridkan diri. Simone, gadis manis dengan hati devosi
pada Yesus dan Bunda Maria. Ia adalah Platonian di dunia yang modern. Seperti
semua pengikut Kristus, kami memikul salib kami dengan penuh cinta. Sampai
suatu ketika, kami berpapasan di jalan salib yang kami lalui. Kami merasa
terkhianati. Kami merasa ditinggal sendiri. Kami merasa tak berdaya. Aku dan
Simone memikul salib masing-masing sambil saling menguatkan. Seperti ada
tertulis, seorang sahabat menaruh kasih setiap saat dan menjadi saudara dalam
setiap kesukaran.
6.
Wajah Yesus diusap oleh Veronica
Mereka
adalah oase di tengah gurun gersang. Setiap pagi aku mengawali hariku dan
bermain bersama mereka. Mereka membantuku menata kembali keinginanku yang sudah
berkeping-keping. Mereka –seperti sedang bermain puzzle- mencocokkan kembali
potongan demi potongan agar gambar mimpiku kembali utuh. Kita akan memulainya lagi
dari awal. Kamu tidak sendiri memikulnya. Berkata mereka kepadaku. Veronica
menghapus kegelisahanku. Ia memantik harapanku kembali. Waktu itu aku tak tahu
harus kemana. Jalan di depanku terasa gelap. Veronika datang membawa sapu
tangan putih dan menghapus air mataku. Ia menancapkan kembali mimpi yang pernah
kutunda. Ia meyakinkan aku untuk mencoba kembali. Bangkit dan berjuang demi
sebuah harapan di Tanah Perjanjian.
7. Yesus
jatuh untuk kedua kalinya
Aku bertemu kembali dengan serangkaian proses
untuk mewujudkan mimpiku itu. Betapa berat sesungguhnya memulai kembali mimpi
yang baru di atas puing-puing mimpi yang retak. Dalam proses itu, aku
perlahan-lahan melangkah tahap demi tahap. Tahap pertama begitu. Tahap kedua
begini. Aku lalui dengan setia. Seringkali aku dihantui kegagalan seperti mimpiku
yang sebelumnya. Aku takut. Tapi api harapanku masih menyala. Dan aku tak mau
kalah sebelum berperang. Aku ingin seperti Paulus, aku ingin melakukan
pertarungan yang baik.
8. Yesus
menghibur perempuan-perempuan yang menangisi-Nya
Aku berusaha menjadi lilin meskipun saat ini
aku tak yakin apakah aku mampu bersinar. Dalam perjalananku, aku bertemu banyak
orang. Ada orang-orang yang mendukungku. Ada orang-orang yang menantikan
kejatuhanku. Ada yang mencintaiku. Ada pula yang diam-diam menyimpan dengki. Mereka
datang dan pergi. Mereka berlaku sesuai perannya masing-masing. Hidup ini
memang berat. Perjalananku juga tidak mudah. Mereka yang berdarah-darah
kemudian melahirkan diri mereka yang baru. Seorang yang berhati malaikat, yang
menyediakan pelukan bagi siapapun yang berbeban berat. Seorang lagi menjelma
iblis yang menyimpan bara di hatinya. Luka-luka itu mengeras serupa kerak di
panic-panci gosong. Setiap orang bisa memilih ingin menjadi apa. Aku memilih
menjadi malaikat. Aku memilih mengeluarkan dendam di hatiku. Aku tahu lagi-lagi
itu tak mudah. Tapi aku mau berusaha. Aku mau belajar. Aku sudah memilih. Cinta.
9. Yesus
jatuh untuk ketiga kalinya
Kejatuhanku dimulai lagi dari rasa iri. Iri
yang membakar hati Kain dan Anak Sulung yang menggugat Bapanya. Setiap kali aku
melihat mereka datang, hatiku diliputi rasa sedih. Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang memiliki kapital yang lebih banyak. Di dunia ini, orang-orang
yang kalah adalah mereka yang tidak punya kapital. Kapital datang melalui
relasi yang banyak, lahir dari keluarga terpandang, teraplikasi melalui hidup
di luar negeri yang sekaligus juga mengasah kemampuan berbahasa, dan kemudian
menjadi primadona di mata laki-laki selevelnya. Tak sulit bagi mereka untuk
menjadi ideal. Kapitalnya kuat. Dan aku terpaksa merunduk, karena modalku
hanyalah sebuah niat tulus. Niat tulus ternyata tak cukup untuk hidup di dunia
ini. Aku bertanya-tanya benarkah semuanya kembali pada nasib? Tuhan atau
negara-kah yang memilah nasib manusia sehingga yang satu berbeda dengan yang
lain? Lalu mengapa ada yang hidupnya sempurna dan beruntung sementara ada yang
hidupnya penuh penderitaan sejak ia dilahirkan ke dunia?
10. Pakaian
Yesus ditanggalkan
Ia
datang tanpa semarak. Begitulah sang Mesias dilukiskan dalam kitab Yesaya. Ia
mengambil rupa seorang hamba sehingga barangsiapa yang melihatnya akan
memalingkan muka. Aku mengenalnya karena itu aku mencintaiNya. Setiap kali aku
menangis aku memanggil namanya. Setiap kali aku berbahagia, aku mengucap
namanya. Jika aku marah aku juga menyalahkanNya. Tapi Ia tetap mengasihiku. Ia
berbicara padaku dengan caraNya. Ia kekasihku dan sahabatku. Kau tahu kan,
kalau kau punya sahabat atau orang dekat kau tak akan sungkan untuk
menceritakan apa saja atau mengumpat apa saja. Ia bersama dengan aku sejak
semula. Namun, ada kalanya aku merasa Ia tega padaku yaitu ketika aku melihat
ada orang lain yang mendapatkan apa yang sebenarnya hatiku mau. Mengapa Ia
dengan mudah menghampiri doa orang lain, sementara doaku ia lewati?
11. Yesus
disalibkan
Jantungku tak lagi merah terbakar dan
berduri. Jantungku tinggal berduri. Baranya padam bersama airmata. Aku merasa
tidak berdaya. Disana, aku melihat Yesus berusaha menyangkali
dirinya, bersusah payah membuat dirinya tiada berdaya. Ia toh bisa saja
mengedipkan mata dan cawan itu berlalu dari-Nya. Tapi Ia tidak melakukannya.
Anak Manusia tetap teguh pada cinta-Nya. Kami berdua serempak berteriak “Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku”
namun dengan motivasi berbeda.
12. Yesus
wafat di kayu salib
Aku
ingat doaku malam itu. Dalam perasaan gelisah dan tak berdaya, aku berujar, “
kehendakMu saja Bapa, apa yang kau pandang baik”. Dan Tuhan berkata tidak. Aku
seperti anak kecil yang merengek pada ibunya untuk dibelikan sebuah boneka beruang
yang dipajang di etalase toko mainan. Boneka beruang itu berukuran sedang dan
tampak nyaman untuk dipeluk. Aku menginginkannya karena boneka itulah yang
mampu aku gapai. Harganya toh tak mahal-mahal amat. Tapi ibuku tak mau
membelikannya. Ibu berpikir, tak semua keinginan anak harus dituruti. Anak itu
akan menjadi manja dan tak memiliki karakter kuat. Bila badai datang ia tak
mampu menjadi nakhoda yang mengendalikan kapal di tengah lautan luas. Ia nanti
mudah terombang-ambing, terbawa arus, dan pada akhirnya karam. Maka, ibu
memilih mendidik anaknya, anak satu-satunya itu supaya menjadi batu karang yang
teguh. Lagipula ibunya merasa anaknya tidak butuh bermain boneka beruang lagi.
Anaknya sudah beranjak besar dan lebih membutuhkan buku-buku ensiklopedia yang
akan cocok dan memang dibutuhkan anak itu untuk mengasah dirinya. Boneka
beruang itu tidak mendewasakan anaknya. Aku memandang salib Yesus. Hari itu aku
tahu keinginanku tersalib disana.
13. Yesus
diturunkan dari salib
Biarlah kehendak Bapa yang jadi. Meskipun aku
frustasi tak mengerti rencana-Nya. Meskipun aku tak tahu kapan waktu-Nya. Aku
belajar berserah dan bersabar. Sudut-sudut egoisku dibentuk, dilas dengan
pergumulan. Karena kuk yang Kupasang itu ringan, begitu kataNya. Akhir-akhir
ini ketika bulan sedang merah, aku senang memperhatikan darah yang
perlahan-lahan menuruni selangkanganku menuju ke paha, betis, dan kakiku.
Aku teringat darahnya yang juga mengalir
menuruni paha, betis, dan kakiNya. Aku teringat darimana aku berasal. Siapakah
aku itu.
14. Yesus
dimakamkan
Ada masa menabur, ada masa menuai. Segala
sesuatu ada waktunya. Dalam hening aku berdoa. Memohon agar hatiku dipulihkan. Rasa kecewa dan marah masih ada.
Tapi aku merasa, seperti pintu kubur batu yang perlahan terbuka,
kecewa dan marah itu perlahan memudar, ditembusi cahaya iman, pengharapan, dan
kasih. Dan paling besar di antara semuanya itu adalah kasih.