Paper Towns: Mencintai Seseorang atau Mencintai Ide Tentang Seseorang
Selasa, September 01, 2015Paper Towns |
Paper Towns (sumber: google)
Ini adalah film kedua hasil adaptasi novel John Green yang saya tonton. Sebelumnya, The Fault in Our Stars yang populer itu tidak meninggalkan kesan yang mendalam. Film itu tak ada bedanya dengan kisah cinta novel (yang berevolusi jadi film) ala Nicholas Sparks versi abg. Lagipula masa saya untuk menjadi pembaca John Green telah lewat meskipun novel-novelnya sudah sering saya lihat di Periplus, dipajang dengan tulisan best seller. Film Paper Towns sendiri keluar tahun 2015 hanya berselang satu tahun dari The Fault in Our Stars dan dibintangi Nat Wolff dan Cara Delevingne, yang rupanya sama-sama memiliki latar belakang sosialita. Natt sendiri tampaknya sudah teken kontrak untuk membintangi film-film yang disadur dari novelnya John Green karena buktinya ia sudah muncul sebagai salah satu pemain di The Fault in Our Stars.
Plot utama Paper Towns sudah sering muncul di film-film hollywood. Sekilas mengingatkan kita pada adegan pembuka di film Flipped namun dengan posisi terbalik. Kali ini tokoh pesakitan bukan seorang gadis cupu yang menyukai cowok populer seperti yang dominan dalam film remaja pertengahan 2000-an. Quentin (Nat Wolff) adalah representasi cowok yang diam-diam menyukai gadis istimewa (karena dia bukan tipe cewek pada umumnya) bernama Margo Roth Spiegelman (Cara Delevinge) yang meskipun nyentrik ternyata pacaran dengan cowok populer dan kaya raya yang sudah tentu tidak selevel dengan Quentin yang hidupnya lurus dan bercita-cita jadi dokter. Beberapa adegan akan mengingatkan kita dengan kisah berpola sama seperti dalam film The Perk of Being Wallflower. Persoalannya, Paper Towns tidak berbicara tentang bagaimana mendapatkan gadis impian itu, film ini mau menunjukkan perbedaan mencintai seseorang dan mencintai ide tentang seseorang.
Menonton film ini membuat saya teringat masa remaja yang juga diisi dengan film-film drama hasil saduran novel (biasanya karena novelnya laris), terutama dari karya-karya Nicholas Sparks seperti A Walk To Remember atau The Notebook. John Green adalah Nicholas Sparks masa kini sehingga tidak mengherankan jika remaja sekarang adalah saya versi 10 tahun lalu. Selain memasang bintang-bintang muda yang sedang naik daun, cerita yang disajikan jauh lebih kompleks. Jika Nicholas Sparks umumnya menonjolkan alur kisah yang orthodox dan sentimentil, maka John Green selangkah lebih maju, ia mempertanyakan kesadaran seseorang dalam hal mencintai. Sesuatu yang dilihat dari kejauhan biasanya indah, tetapi apakah keindahan itu sama ketika kita melihatnya dari dekat? Pertanyaan John Green ini yang divisualisasikan oleh sang sutradara Jake Schreier dalam adegan ketika Quentin dan Margo melihat kota mereka dari atas gedung SunTrust dan Margo (sebagai gadis istimewa) mempertanyakan kegelisahannya menjalani rutinitas dengan menggunakan metafora "orang-orang kertas". Margo ingin pergi ke suatu tempat di mana waktu berhenti, di mana "orang-orang kertas" seperti dirinya eksis yaitu kota kertas (paper towns) yang sesungguhnya tidak nyata.
paper towns |
Quentin dan Margo melihat panorama kota dari atas gedung SunTrust (sumber: google)
Sayangnya, Quentin telah kadung tenggelam dalam sosok Margo yang ia sukai sejak pertama bertemu. Ia dan (mungkin banyak orang) membangun mitos terhadap sosok Margo. Dalam obsesi alam bawah sadarnya, ia selalu merasa Margo mengirimkan tanda-tanda kepadanya. Margo adalah keindahan yang dilihatnya dari kejauhan. Dan ketika semakin dekat ia melihat Margo, ia tidak lagi melihat Margo sebagaimana adanya. Adegan favorit saya adalah ketika Quentine mengajak Margo berdansa dengan diiringi instrumen saxophone lagu Lady in Red yang dulu dinyanyikan Chris de Burgh di pertengahan tahun 1980-an. Film ini lebih berat dan terasa lebih berbobot dari The Fault in Our Stars, bahkan untuk ukuran film remaja lainnya yang sezaman. Selain menghabiskan beberapa puluh ribu, penonton juga dimanjakan dengan wajah Ansel Elgort (pemeran utama The Fault in Our Stars) yang muncul sebagai cameo. Saya sendiri senang memandangi Natt Wolff yang membuat saya kepingin memiliki anak laki-laki yang tampangnya mirip dia. Pada akhirnya, Paper Towns kembali mengingatkan saya (dan semoga anda) bahwa ada memang orang-orang tertentu yang lebih baik tetap berada dalam fantasi daripada bersinggungan dengannya di dunia nyata.
2 comments
A Walk to Remember itu pas saya kelas 1 SMP atau kelas 6 SD :p masa Meike sudah remaja saat itu :p *salah fokus* hahaha
BalasHapusA Walk To Remember itu tahun 2002. Waktu itu kak Dwi sudah kelas 1 SMP dan saya kelas 6 SD. Kita sudah remaja kalau menurut perhitungan waktu menstruasi :D
BalasHapus