*pic from Google*
Jika saya sedang jenuh pada sesuatu, saya biasa melakukan "escape from time" atau melarikan diri dari realita sekarang menuju masa yang lewat (karena belum bisa berjalan ke masa depan). "Mesin Waktu" itu bisa berupa buku yang melegenda, lagu-lagu lawas, atau film-film jadul yang jadi icon di zamannya. Kita bisa memetik hikmah sekaligus membaca zaman dari hal-hal yang kita temukan dalam mesin waktu itu. Salah satunya adalah ketika Mbak Truly menawari saya untuk menonton serial Friends. Awalnya saya masih ogah-ogahan, tapi come on ini adalah Friends. Semua generasi 90-an tahu serial ini (zaman itu acara TV memang masih sedikit dan hanya orang kaya yang punya parabola). Ketika pulang ke Makassar kemarin -dan koleksi film saya sudah menipis-, iseng-iseng saya mencoba menonton satu episode dan....ketagihan.
Ketika serial Friends heboh hampir 20 tahun lalu, saya masih anak-anak. Gigi geraham saya belum tumbuh dan saya belum bisa cebok sendiri. Serial itu mulai tayang pada tahun 1994 di mana waktu itu saya belum masuk TK. Saya bahkan tidak bisa membaca nama Phoebe, salah satu karakter dalam serial itu dengan benar. Saya menyebutnya "Pobe" dan bukan "Vibi" seperti yang seharusnya. Saya tidak ingat bagaimana ceritanya di awal-awal session. Lagipula serial itu ditayangkan cukup larut di televisi (bagi saya yang masih balita). Samar-samar saya ingat, ada sepasang sahabat yang menikah di antara mereka (Monica dan Chandler). Dan ketika saya menonton kembali (saat ini sampai session 6), kemungkinan saya dulu sempat menonton sampai season 7, setelah itu saya tidak lagi mengikuti serial ini yang berakhir ketika saya duduk di bangku SMP.
Friends adalah salah satu serial paling sukses yang diproduksi di Amerika. Serial yang melejitkan nama Jennifer Aniston, Courtney Cox, Matthew Le Blanc, David Schwimmer, dan Matthew Perry ini bertahan selama 10 tahun dari tahun 1994-2004 dengan total 10 season. Para bintangnya disebut menjadi artis serial termahal dengan honor 1 juta dollar/episode. Friends juga menjadi salah satu icon New York City selain Cats dan Broadway-nya, karena sebagaimana kita tonton di film The Terminal, sewaktu Tom "Viktor Navorski" Hanks dalam perjalanan untuk melengkapi apa yang ada dalam kaleng yang ia sebut "jazz", kita disuguhkan scene-scene icon kota New York seperti yang disebutkan Viktor: Cats dan bilboard Friends.
Kisah ini menceritakan 6 orang yang menjadi sahabat. Karakter utamanya adalah kakak-beradik Ross (David Schwimmer) dan Monica Geller (Courtney Cox) yang memiliki sahabat-sahabat: Rachel Green (Jennifer Aniston), sahabat Monica sejak SMA yang ditaksir Ross mati-matian, Chandler Bing (Matthew Perry) roomate Ross sewaktu kuliah yang kemudian tinggal bersebrangan dengan apartemen Monica dan memiliki roomate, seorang aktor keturunan Italia Joseph "Joey" Tribbiani (Matthew Le Blanc) yang tampan tapi bodoh, serta Phoebe Buffay (Lisa Kudrow) mantan roomate Monica yang masih tetap berhubungan baik meskipun sudah pindah apartemen. Keenam sahabat ini memiliki karakter yang berbeda dan menghadapi konflik yang dekat dengan realita yang sehari-hari kadang kita hadapi. Mereka sering berkumpul di coffeeshop bernama Central Perk. Tempat itu semacam menjadi public sphere mereka selain apartemen Monica atau Chandler.
Kita akan tertawa dengan humor-humor cerdas dari Chandler yang sarkastis atau Phoebe yang unik dan apa adanya. Kadang-kadang kita dibuat sebal dengan sikap Monica yang obsesif compulsif dan Joey yang ceroboh. Kadang tanpa sadar kita dibuat menangis dengan scene-scene yang sebetulnya sederhana tetapi memiliki kedalaman makna seperti ketika Rachel mengetahui -melalui video rekaman prom Monica- bahwa Ross selama ini memiliki perasaan padanya sejak dulu atau kita dibuat terharu dan tertawa ketika Chandler dan Monica lamaran.
Kekuatan serial ini karena menyuguhkan kisah dengan problem-problem yang kita hadapi sehari-hari dalam realita. Misalnya: bagaimana hubungan awkward Rachel dan Ross ketika putus dan sikap sahabat-sahabatnya atau ketika Monica dan Chandler akhirnya pacaran dan kucing-kucingan dari sahabat-sahabatnya. Kita juga akan melihat isu komitmen dan percintaan beda usia yang disentil dalam beberapa episode. Serial ini tidak hanya mengangkat tema percintaan dan persahabatan tetapi juga menyentil isu-isu sosial seperti feminisme dan gender, lesbianisme dan gay, persoalan buruh, perlindungan hewan dalam industri fashion, plagiat, perbedaan kelas sosial, surogasi, dan banyak lagi. Isu-isu tersebut tidak dibungkus secara serius melainkan komikal, sehingga dari komedi-komedi itu maknanya menjadi lebih mengena kepada audiens dan semakin membuat serial ini tidak sekedar picisan. Selain karakter masing-masing tokoh begitu kuat dan unik sampai-sampai kalau saya menonton serial ini sejak awal akan sulit menghilangkan masing-masing pemain dari karakter mereka di Friends dengan film-film mereka yang lain.
Kekuatan serial ini karena menyuguhkan kisah dengan problem-problem yang kita hadapi sehari-hari dalam realita. Misalnya: bagaimana hubungan awkward Rachel dan Ross ketika putus dan sikap sahabat-sahabatnya atau ketika Monica dan Chandler akhirnya pacaran dan kucing-kucingan dari sahabat-sahabatnya. Kita juga akan melihat isu komitmen dan percintaan beda usia yang disentil dalam beberapa episode. Serial ini tidak hanya mengangkat tema percintaan dan persahabatan tetapi juga menyentil isu-isu sosial seperti feminisme dan gender, lesbianisme dan gay, persoalan buruh, perlindungan hewan dalam industri fashion, plagiat, perbedaan kelas sosial, surogasi, dan banyak lagi. Isu-isu tersebut tidak dibungkus secara serius melainkan komikal, sehingga dari komedi-komedi itu maknanya menjadi lebih mengena kepada audiens dan semakin membuat serial ini tidak sekedar picisan. Selain karakter masing-masing tokoh begitu kuat dan unik sampai-sampai kalau saya menonton serial ini sejak awal akan sulit menghilangkan masing-masing pemain dari karakter mereka di Friends dengan film-film mereka yang lain.
Bagi saya yang menonton serial ini 20 tahun kemudian, jelas terasa kekontrasan zaman yang dijadikan setting dalam film ini. Pertama, dari segi backsound lagu-lagu lama seperti With or Without-nya U2, The Way Look Tonight-nya Tonny Bennet, Wonderful Tonight-nya Eric Clapton atau All By Myself-nya Eric Carmen turut menghiasi beberapa adegan plus OST-nya dari The Rembrandt - I'll Be There For You yang iconic. Kedua, tentu saja kita membaca zaman dari gaya fashion yang sangat 90's dan awal millennium. Saya agak surprise ketika menonton salah satu episode di mana Rachel memakai baju yang ternyata sama persis dengan yang saya miliki sewaktu kecil dulu. Di adegan itu, Rachel menggunakan turtleneck biru bulu-bulu yang mungkin sedang trend di masa itu. Saya sendiri tidak terlalu menyukai baju itu karena lengannya yang terbuka (saya dulu tidak suka memakai baju yang terbuka) sehingga kira-kira tidak lebih dari tiga kali saya memakai baju itu. Saya jadi bertanya-tanya, apakah baju itu masih tersimpan di rumah atau mungkin berakhir di tangan para sepupu?
turtleneck biru bulu-bulu yang sama persis dengan milik saya waktu kecil.
Ketiga, teknologi yang digunakan masih sangat jadul, seperti telepon dan pager yang masih menjadi alat komunikasi paling kece masa itu. Di beberapa session akhir tahun 90-an barulah muncul telepon genggam. Komputer dan laptop yang digunakan juga masih memiliki OS entah zaman kapan dengan tampilan layar hitam dan hijau. Minimnya penguasaan teknologi komunikasi di masa itu, membuat komunikasi face to face di antara mereka terasa intim. Bandingkan dengan kita yang hidup di masa sekarang yang lebih suka berkomunikasi dengan smartphone ketimbang dengan orang yang duduk di depan kita. Ironis memang. Scene-scene itu menjadi teguran bahwa percakapan langsung memang jauh lebih menyenangkan.
Pada akhirnya, sama seperti serial-serial jadul lainnya seperti Sex and The City, Ally McBeal, atau Desprete Housewives, Friends tetap menjadi salah satu yang memorable dan membuat siapapun yang menontonnya saat ini tercerahkan sekaligus bernostalgia.