Senggigi Menggigil
Jumat, November 28, 2014
Sudah hampir pukul 6 sore, tapi aku masih betah duduk di tepi pantai. Seperti ditusuk paku-paku kenangan, pantatku tak bergeser dari pasir-pasir putih, erat menyatu, membuatku makin khusyuk memandangi sepotong senja dibalik awan kelabu. Langit masih bermuram durja tanda hujan lebat usai melaksanakan tugasnya. Bajuku masih setengah kering. Agak lengket memang tapi siapa yang peduli. Di sana tak ada orang-orang yang mengaku pacar dan cerewet menyuruh ganti baju. Lagipula tak ada baju ganti yang kubawa. Aku hanya membawa sepotong ingatan.
Suasana pantai mulai sepi. Hanya segelintir orang yang bertahan. Ada pedagang mutiara yang menjajakan mutiara-mutiaranya pada pengunjung pantai. Dan meski sudah diusir beberapa kali oleh pengunjung yang itu-itu juga, mereka setia kembali. Ada beberapa pasangan yang asyik bercumbu. Mungkin awalnya mereka ingin melihat matahari terbenam, tetapi justru matahari-lah yang menonton mereka, malu-malu dari balik awan kelabu. Dan, ada sekelompok manusia yang tampak sedang merenung. Mereka umumnya sendirian. Mereka mengambil jarak dari keramaian. Kelompok itu sudah akrab dengan laut.
Tak jauh dari tempatku duduk, seorang perempuan berambut pirang juga duduk menatap lurus ke arah pantai. Jujur saja, aku tak rela berbagi matahari terbenam dengan orang lain. Sudah cukup persaingan dengan manusia-manusia yang resah dan galau di tepi pantai. Pasangan yang sedang bercumbu bukanlah saingan berat. Mereka tak peduli dengan matahari karena mereka punya dunia sendiri yang terselip dalam pelukan pasangannya. Tapi aku dan perempuan bule itu sedang bersaing. Siapa yang paling menarik perhatian dari sang Surya. Awan kelabu keparat itu masih menutup setengah lingkaran dari matahariku yang mulai tenggelam. Sekilas aku melihat perempuan bule itu menangis.
Matahari sudah total terbenam. Pacarku si Matahari sudah berlabuh ke belahan bumi yang lain. Tinggal menanti sebentar lagi sebelum cerminannya muncul mengukir senyum di angkasa. Dengan susah payah aku berdiri, mengebaskan pasir dari celana pendek jeans-ku. Bajuku hampir kering. Sial, kakiku kram. Perempuan bule itu juga berdiri. Ia tersenyum padaku dan meminta untuk difotokan dengan latar pantai dan langit yang mulai gelap. Setelah kuambil fotonya, ia mengucapkan terima kasih. Bahasa Indonesianya cukup lancar. Ia bercerita bahwa ia berasal dari Belgia dan sudah keliling Asia Tenggara. Ia pernah beberapa bulan di Jawa. Ia seorang volunteer.
Kami bercakap-cakap sebelum akhirnya ia menanyakan arah menuju pantai Kuta. Aku tak tahu. Tapi sebagai orang Indonesia yang ramah pada orang asing, aku menjawab juga dengan menyuruhnya naik angkot sampai terminal. Perempuan bule itu malah menawariku untuk join. Padahal sudah kukatakan keberadaanku di Lombok bukan untuk jalan-jalan ke Pantai Kuta. Tapi ia masih memaksa. Aku mulai meragukan kemampuan bahasa Inggrisku. Atau bisa saja bahasa Inggris perempuan bule itu juga sama kacaunya. Anehnya, ia berkali-kali mengatakan, " I don't wanna be alone..."
Percakapan itu tidak bermuara pada kesepakatan. Ia berkali-kali mengatakan kalau ia tak mau pergi sendiri kesana. Aku memanggil seorang penjual mutiara yang tak jauh berdiri dari sana. Wajah penjual mutiara yang letih itu kembali bersinar. Ia datang dengan harapan satu-dua cincin atau kalungnya laku. Betapa, kecewanya ia ketika tahu bahwa aku memanggilnya hanya untuk menanyakan alur transportasi guna menolong perempuan bule itu.
Perempuan bule itu dengan gigih tetap mengatakan bahwa ia tak mau ke pantai kuta sendiri. Aku meninggalkan percakapan antara si perempuan bule dan penjual mutiara yang mulai memanas. Penjual mutiara berkata, "Carilah travelmate. Kalian join saja supaya ongkosnya murah". Sementara si perempuan bule itu tetap bersikukuh, "I don't wanna be alone". Sebelum aku memasuki resto bar yang terletak tak jauh dari tepi pantai, aku masih mendengar dengan suara lelah si penjual mutiara berkata, "Belilah mutiara ini, cuma 20.000".
***
Angin malam mulai berhembus. Aku mulai menggigil di pantai Senggigi. Rasa dingin itu tidak hanya menerpa tubuh tetapi juga sesuatu di dalam sana yang mulai meragu namun tetap berharap. Sayup-sayup suara band akustik menyanyikan lagu lama:
...
I need to know that you will always be
The same old someone that I knew
Ah, what will it take till you believe in me
The way that I believe in you?
mungkin dia sudah lelah.
Suasana pantai mulai sepi. Hanya segelintir orang yang bertahan. Ada pedagang mutiara yang menjajakan mutiara-mutiaranya pada pengunjung pantai. Dan meski sudah diusir beberapa kali oleh pengunjung yang itu-itu juga, mereka setia kembali. Ada beberapa pasangan yang asyik bercumbu. Mungkin awalnya mereka ingin melihat matahari terbenam, tetapi justru matahari-lah yang menonton mereka, malu-malu dari balik awan kelabu. Dan, ada sekelompok manusia yang tampak sedang merenung. Mereka umumnya sendirian. Mereka mengambil jarak dari keramaian. Kelompok itu sudah akrab dengan laut.
Tak jauh dari tempatku duduk, seorang perempuan berambut pirang juga duduk menatap lurus ke arah pantai. Jujur saja, aku tak rela berbagi matahari terbenam dengan orang lain. Sudah cukup persaingan dengan manusia-manusia yang resah dan galau di tepi pantai. Pasangan yang sedang bercumbu bukanlah saingan berat. Mereka tak peduli dengan matahari karena mereka punya dunia sendiri yang terselip dalam pelukan pasangannya. Tapi aku dan perempuan bule itu sedang bersaing. Siapa yang paling menarik perhatian dari sang Surya. Awan kelabu keparat itu masih menutup setengah lingkaran dari matahariku yang mulai tenggelam. Sekilas aku melihat perempuan bule itu menangis.
Matahari sudah total terbenam. Pacarku si Matahari sudah berlabuh ke belahan bumi yang lain. Tinggal menanti sebentar lagi sebelum cerminannya muncul mengukir senyum di angkasa. Dengan susah payah aku berdiri, mengebaskan pasir dari celana pendek jeans-ku. Bajuku hampir kering. Sial, kakiku kram. Perempuan bule itu juga berdiri. Ia tersenyum padaku dan meminta untuk difotokan dengan latar pantai dan langit yang mulai gelap. Setelah kuambil fotonya, ia mengucapkan terima kasih. Bahasa Indonesianya cukup lancar. Ia bercerita bahwa ia berasal dari Belgia dan sudah keliling Asia Tenggara. Ia pernah beberapa bulan di Jawa. Ia seorang volunteer.
Kami bercakap-cakap sebelum akhirnya ia menanyakan arah menuju pantai Kuta. Aku tak tahu. Tapi sebagai orang Indonesia yang ramah pada orang asing, aku menjawab juga dengan menyuruhnya naik angkot sampai terminal. Perempuan bule itu malah menawariku untuk join. Padahal sudah kukatakan keberadaanku di Lombok bukan untuk jalan-jalan ke Pantai Kuta. Tapi ia masih memaksa. Aku mulai meragukan kemampuan bahasa Inggrisku. Atau bisa saja bahasa Inggris perempuan bule itu juga sama kacaunya. Anehnya, ia berkali-kali mengatakan, " I don't wanna be alone..."
Percakapan itu tidak bermuara pada kesepakatan. Ia berkali-kali mengatakan kalau ia tak mau pergi sendiri kesana. Aku memanggil seorang penjual mutiara yang tak jauh berdiri dari sana. Wajah penjual mutiara yang letih itu kembali bersinar. Ia datang dengan harapan satu-dua cincin atau kalungnya laku. Betapa, kecewanya ia ketika tahu bahwa aku memanggilnya hanya untuk menanyakan alur transportasi guna menolong perempuan bule itu.
Perempuan bule itu dengan gigih tetap mengatakan bahwa ia tak mau ke pantai kuta sendiri. Aku meninggalkan percakapan antara si perempuan bule dan penjual mutiara yang mulai memanas. Penjual mutiara berkata, "Carilah travelmate. Kalian join saja supaya ongkosnya murah". Sementara si perempuan bule itu tetap bersikukuh, "I don't wanna be alone". Sebelum aku memasuki resto bar yang terletak tak jauh dari tepi pantai, aku masih mendengar dengan suara lelah si penjual mutiara berkata, "Belilah mutiara ini, cuma 20.000".
***
Angin malam mulai berhembus. Aku mulai menggigil di pantai Senggigi. Rasa dingin itu tidak hanya menerpa tubuh tetapi juga sesuatu di dalam sana yang mulai meragu namun tetap berharap. Sayup-sayup suara band akustik menyanyikan lagu lama:
...
I need to know that you will always be
The same old someone that I knew
Ah, what will it take till you believe in me
The way that I believe in you?
mungkin dia sudah lelah.
Ps: Lirik lagu "Just The Way You Are-Billy Joel
3 comments
kalo sudah di senggigi, hanya 'selangkah' ke komodo dan flores. merapatlah ke sana. ehehhe
BalasHapusyaaa..itu memang mimpi saya. semoga bisa terwujud mengunjungi kampung halaman di tanah Timor :)
BalasHapusyap..
BalasHapusbae sonde bae flobamora lebe bae