Sekelam Lot, Sekelam Menikah Tanpa Pilihan
Rabu, Oktober 01, 2014
Beberapa hari yang lalu, saya dan Mbak Truly ngobrol ngalor ngidul tentang pernikahan. Obrolan itu memancing saya mengingat tentang sistem perkawinan dalam perspektif Antropologi. Seperti biasa, kami mendiskusikan sesuatu yang akan disambung-sambungkan dengan teori (pada bagian ini biasanya Bu Mery akan mencibir kami, "Ah kalian berdua ini teori terus, prakteknya kapan???" --- lalu kami akan tertawa terbahak-bahak). Melalui sisa-sisa pengetahuan yang mulai terlupa saat mengambil mata kuliah Gender dan Antropologi dulu, saya kemudian menjelaskan tentang cara-cara perkawinan, misalnya melalui perjodohan, menikah dengan pilihan sendiri, dan kawin lari. Lalu ada jenis-jenis perkawinan dengan istilah-istilah dahsyat khas Antropologi: endogami, eksogami, dan tabu incest.
Secara sederhana, endogami adalah pernikahan dengan anggota kelompok yang sama, misalnya satu suku, agama, atau ras. Eksogami, saudaranya endogami, diartikan sebagai pernikahan dengan anggota di luar kelompok. Orang tua saya jelas masuk kategori eksogami: mereka beda suku dan beda agama. Adik endogami dan eksogami bernama tabu incest atau pernikahan sedarah. Misalnya, paman menikah dengan keponakan, kakak dan adik kandung, antar saudara sepupu, et cetera. Pembicaraan kami kemudian bermuara pada pernikahan incest. Saya dan Mbak Truly bergidik membayangkan hal itu walaupun faktanya dalam masyarakat kita masih ada yang menganut incest marriage, apalagi jika mereka termasuk kalangan bangsawan.
Masalah incest kemudian membuat diskusi kami menelusuri kitab suci (See...ada studi terdahulunya, kan). Mbak Truly mengatakan bahwa ia teringat salah satu kisah dalam Perjanjian Lama tentang Lot, keponakan Abraham. Saya pun tercekat, karena saya juga mengetahui kisah itu. Sebuah kisah yang sangat "mengganggu" ingatan kanak-kanak saya. Kisah yang sangat kelam dan tragis. Kisah yang membuat sedih sekaligus ngeri. Kisah ini terasa ganjil sampai-sampai jarang diceritakan di sekolah minggu dan jarang pulang diangkat dalam khotbah-khotbah. Kisah Lot adalah salah satu kenyataan paling menyedihkan yang tersurat dalam kitab suci.
***
Lot, lelaki itu adalah pemuda yang baik. Ketika Abram-sebelum berganti nama jadi Abraham-, pamannya meninggalkan tanah kelahiran mereka untuk pergi ke tempat yang ditunjukkan Allah, ia pun turut serta. Di tengah-tengah perjalanan mereka menuju Tanah Perjanjian, terjadi suatu perkara yang harus diselesaikan. Baik Lot dan Abram memiliki harta yang banyak sementara tanah yang mereka diami bersama untuk sementara tidak cukup untuk kekayaan mereka berdua. Keadaan itu menimbulkan pertengkaran antara gembala Lot dan gembala Abram. Agar tercipta perdamaian di antara gembala-gembala mereka, Lot dan Abram kemudian berpisah dengan membagi daerah mereka. Abram tetap menetap di Kanaan, tanah yang dijanjikan Tuhan padanya. Sementara Lot memilih daerah dekat lembah Yordan yang subur dan banyak airnya. Akan tetapi, tempat itu dekat dengan Sodom.
Di sinilah kisah tragis itu dimulai.
Ketika Lot memilih lembah Yordan, Sodom dan Gomora belumlah dibinasakan. Semoga kalian tahu kisah Sodom dan Gomora, kota dimana orang-orangnya sangat jahat dan berdosa terhadap Tuhan. Biasanya guru sekolah minggu dengan dramatis akan menceritakan bahwa saking jahatnya orang-orang Sodom dan Gomora sampai kesabaran Tuhan habis dan akan menunggangbalikkan kota itu. Guru sekolah minggu tidak pernah dengan tegas menjelaskan dosa-dosa Sodom dan Gomora, kelak saya tahu bahwa dosa-dosa tersebut salah satunya kekerasan, perbuatan cabul, dan homoseksual.
Tapi...tapi..di sana ada Lot, keponakan Abram yang dikasihi Tuhan. Abram meminta pengampunan atas Sodom dan Gomora. Tetapi Tuhan sudah membuat ketetapan-Nya. Abram terus memohon, ia ingat keponakannya Lot ada di sana. Maka, Tuhan pun berkata pada Abram, kira-kira begini," Jika di dalam Sodom dan Gomora masih ada 10 orang yang berbuat baik maka aku tidak akan menjatuhkan murka-Ku pada mereka". Singkat cerita, (percayalah kisah ini cukup ribet diceritakan kembali, sebaiknya kau membaca kitab Genesis untuk lebih jelas) Tuhan mengirimkan malaikat-malaikatnya untuk mencari masih adakah orang baik yang ada di Sodom dan Gomora. Tapi hasilnya nihil. Adapun Lot dan keluarganya kemudian diselamatkan, karena selain ia adalah keponakan Abram, Lot-lah yang menyelamatkan malaikat-malaikat itu dalam penyamarannya.
Lot, istri, dan kedua anak perempuannya kemudian diselamatkan oleh malaikat Tuhan dengan satu syarat: apapun yang terjadi jangan lihat ke belakang. Pada bagian ini anak-anak sekolah minggu akan bernyanyi dengan riang, "Istri Lot lupa dan menoleh ke belakang...hey, jadi tiang garam...jadi tiang garam....". Istri Lot menjadi tiang garam karena ia menoleh ke belakang. Istri Lot belum bisa melepaskan kemelekatannya pada harta bendanya, sehingga ia pun binasa. Anak-anak sekolah minggu senang sekali menyanyikan lagu itu tanpa mengerti betapa tragisnya kejadian yang menimpa Lot. Ia tak hanya kehilangan istrinya, istrinya menjadi tiang rasa asin.
Namun, kejadian tragis itu belum apa-apa. Keselamatan itu ternyata membawa mereka pada suatu pengembaraan yang tak jelas. Tanpa harta benda, tanpa rumah, Lot dan kedua anak perempuannya luntang-lantung sampai kemudian mereka menetap di sebuah goa (karena Lot tidak berani tinggal di pegunungan). Akan tetapi anak-anak Lot yang sudah cukup usia untuk menikah tak melihat kesempatan bertemu dengan laki-laki yang akan meminang mereka. Mereka hidup terisolasi dan tak melihat kemungkinan ada laki-laki yang akan menyetubuhi mereka. They're desperate to get married!
Satu-satunya laki-laki di tempat itu adalah ayah mereka, bukan ayah tiri tapi ayah kandung! Maka si sulung berkata pada adiknya," Ayah kita telah tua dan tidak ada laki-laki di negeri ini yang dapat menikahi kita, seperti kebiasaan seluruh bumi. Marilah kita beri ayah kita minum anggur, lalu kita tidur dengan dia, supaya kita menyambung keturunan dari ayah kita". Inilah incest yang menyedihkan itu. Kedua anak perempuan Lot menyetubuhi ayah mereka sendiri dan sialnya Lot tak sadar akan hal itu.
Betapa menyedihkannya melakukan sesuatu tanpa pilihan. Jika anak-anak perempuan itu disuruh memilih tentu mereka tak akan melakukan incest. Tapi mereka sebagai anak yang berbakti dan demi melanjutkan keturunan (seperti yang dilakukan orang-orang di seluruh dunia) rela memikul tanggung jawab itu. Mereka melakukannya karena itu adalah kebiasaan bukan pertemuan cinta sepasang kekasih. Bayangkan, betapa sedihnya pengorbanan yang mereka lakukan. Saya tak sanggup membayangkan si sulung dan bungsu berganti-ganti menaiki ayahnya yang tak sadar (karena mabuk) dan uhhh..... Ini sungguh ironis, mereka dapat menemukan anggur tetapi tidak menemukan satu pun lelaki disana.
Betapa menyedihkannya melakukan sesuatu tanpa pilihan. Jika anak-anak perempuan itu disuruh memilih tentu mereka tak akan melakukan incest. Tapi mereka sebagai anak yang berbakti dan demi melanjutkan keturunan (seperti yang dilakukan orang-orang di seluruh dunia) rela memikul tanggung jawab itu. Mereka melakukannya karena itu adalah kebiasaan bukan pertemuan cinta sepasang kekasih. Bayangkan, betapa sedihnya pengorbanan yang mereka lakukan. Saya tak sanggup membayangkan si sulung dan bungsu berganti-ganti menaiki ayahnya yang tak sadar (karena mabuk) dan uhhh..... Ini sungguh ironis, mereka dapat menemukan anggur tetapi tidak menemukan satu pun lelaki disana.
***
Selama ini saya mencari-cari jawaban atau pembenaran akan persepsi cinta yang saya yakini. Saya (ingin) percaya bahwa orang yang menjadi suami saya nanti adalah soulmate saya. Ia yang dipilihkan Tuhan bagi saya begitu pula sebaliknya. Saya mempercayai bahwa ketika kita mencintai seseorang atau jatuh cinta -meski kedua hal itu sepertinya tampak berbeda-, maka orang itulah yang melengkapi kita. Ia adalah puzzle yang hilang, ia adalah adishakti. Dalam hal ini, saya ingin membawa pernikahan dalam konteks takdir. Pertemuannya adalah jalan Tuhan. Orang menikah karena mereka saling jatuh cinta, saling mencintai. Titik.
Tapi, ada banyak orang yang juga percaya bahwa pernikahan adalah peristiwa budaya. Dua penulis favorit saya Pramoedya Ananta Toer dan Ayu Utami mempercayai itu. Pram bilang," cinta itu anak kebudayaan bukan batu dari langit" sementara Ayu berkomentar," karena itu peristiwa budaya jadi ya menikah itu tidak harus, baik tapi tidak harus". Karena saya membaca tulisan mereka, maka secara tidak langsung kata-kata mereka telah menghancurkan fantasi saya tentang true love. Namun, entah mengapa, kepingan-kepingan fantasi itu terus menguat, dan sayup-sayup berbisik, "aku masih tetap percaya".
Begitu banyak orang mengambil keputusan untuk menikah karena itulah hal yang umumnya dilakukan banyak orang. Sebagian menikah karena mereka saling jatuh cinta. Namun, sebagian menikah karena peristiwa budaya, entah dijodohkan atau asal comot yang penting ada. Sebagian dari mereka belajar untuk mencintai, belajar untuk terbiasa dengan orang yang dengannya mereka nikahi dan menghasilkan keturunan. Saya tidak berani mengatakan bahwa itu menyedihkan atau menyenangkan. Tapi sepertinya tak ada passion disana. Tak ada api yang membakar. Semuanya terkesan datar, hening seperti pohon-pohon yang mematung tanpa hembusan angin di malam hari.
Satu-satunya alasan mengapa saya mempertanyakan hal ini adalah karena saya takut, pada suatu saat nanti, anak saya akan bertanya, " Mommy, do you love Daddy?".
Tapi, ada banyak orang yang juga percaya bahwa pernikahan adalah peristiwa budaya. Dua penulis favorit saya Pramoedya Ananta Toer dan Ayu Utami mempercayai itu. Pram bilang," cinta itu anak kebudayaan bukan batu dari langit" sementara Ayu berkomentar," karena itu peristiwa budaya jadi ya menikah itu tidak harus, baik tapi tidak harus". Karena saya membaca tulisan mereka, maka secara tidak langsung kata-kata mereka telah menghancurkan fantasi saya tentang true love. Namun, entah mengapa, kepingan-kepingan fantasi itu terus menguat, dan sayup-sayup berbisik, "aku masih tetap percaya".
Begitu banyak orang mengambil keputusan untuk menikah karena itulah hal yang umumnya dilakukan banyak orang. Sebagian menikah karena mereka saling jatuh cinta. Namun, sebagian menikah karena peristiwa budaya, entah dijodohkan atau asal comot yang penting ada. Sebagian dari mereka belajar untuk mencintai, belajar untuk terbiasa dengan orang yang dengannya mereka nikahi dan menghasilkan keturunan. Saya tidak berani mengatakan bahwa itu menyedihkan atau menyenangkan. Tapi sepertinya tak ada passion disana. Tak ada api yang membakar. Semuanya terkesan datar, hening seperti pohon-pohon yang mematung tanpa hembusan angin di malam hari.
Satu-satunya alasan mengapa saya mempertanyakan hal ini adalah karena saya takut, pada suatu saat nanti, anak saya akan bertanya, " Mommy, do you love Daddy?".
0 comments