Saya ada disana.
Bukan...bukan pada saat Flo sedang berada di pom bensin, berusaha membeli pertamax, dan kemudian berbuntut umpatan kepada Jogja di akun media jejaring sosialnya (path, twitter, atau facebook). Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana pagi itu jalan-jalan di Jogja menjadi sepi. Kemana perginya kendaraan-kendaraan itu? Pagi itu saya memang ingin ke Sigma untuk men-copy buku maka kutelpon abdiku yang saya, Mas Hendri, untuk ngojek ke daerah Sagan. Alangkah kagetnya saya ketika melewati pom bensin di Sagan. Belum pernah saya melihat antrian panjang berpuluh-puluh meter di Jogja ataupun di Makassar (kelak saya tahu hal ini disebabkan kenaikan bbm dan antrian panjang itu tidak hanya terjadi di Jogja). Dan bukan saja hanya dalam waktu beberapa jam, yang mana kadangkala kita beranggapan nanti sore juga pasti sepi.
Antrian itu tetap bertahan sampai pukul 9 malam, jam malam di Jogja. Saat itu saya dan Mbak Truly dalam perjalanan pulang ke rumah dari daerah Condong Catur. Kami habis dinner di rumah makan Bali milik Mbak Atiek, seorang teman yang saya kenal ketika ke Papua tempo hari. Dalam perjalanan pulang itulah, kami melewati pom bensin di jalan Kaliurang. Sama seperti kejadian tadi pagi, pom bensin tersebut juga masih padat. Kebetulan bensin motornya Mbak Truly juga tinggal sedikit. Akan tetapi karena panjangnya antrian, hal itu urung dilakukan. "Besok saja," ujar Mbak Truly.
Namun, kejadian yang sama terjadi lagi keesokan harinya. Pom bensin tetap ramai sejak pagi. Malamnya, Mbak Truly menyerah, motornya sudah seperti vampir yang butuh darah. Saya kemudian menemaninya. Sekitar jam setegah 9 kami keluar menuju pom bensin di jalan Kaliurang. Tapi sayang, baik premium dan pertamax sudah habis. Kami mencari lagi di sepanjang jalan, berharap ada penjual bensin eceran yang biasanya kami tak acuhkan. Namun, lagi-lagi pedagang bensin eceran juga kehabisan stock. Kami malah disarankan ke area Tugu. Itu terlalu jauh, si motor sudah di titik nadir. Mbak Truly sudah mulai menyusun langkah alternatif kalau-kalau ia tak mendapatkan bensin malam itu. Ia sudah ancang-ancang untuk naik taksi saja besok ke kampus.
Yesus berkata," Carilah maka engkau akan mendapatkan", maka kami lantas menuju pom bensin Sagan yang jaraknya masih dekat dari kampus UGM. Dan...masih lumayan juga motor yang mengantri meski tidak sebanyak kemarin. Kami langsung mengambil antrian. Kira-kira hampir satu jam lebih kami menunggu sampai akhirnya giliran si Scoopy milik Mbak Truly mendapat jatah makan. Di belakang kami, masih banyak dan bertambah lagi motor yang mengantri untuk mendapatkan bensin, bahkan ada yang membawa jirigen sementara di bagian mobil tidak sepadat itu. Saya tak tahu lagi apakah keadaan itu masih berlanjut sampai malam ini. Entahlah, saya malas keluar rumah.
***
Ada satu pelajaran penting yang saya dapatkan selama di Jogja yaitu belajar bersabar. Segala sesuatu di kota ini memang menuntut kesabaran. Sebagai pendatang, mau tidak mau kita beradaptasi dengan lingkungan termasuk aturan di dalamnya. Di mana pun kau berada, di rumah sendiri atau di kampung orang, selalu saja ada aturan yang mengikat. Flo memang jelas-jelas salah karena ia tidak antri. Ia mungkin tak sabaran oleh karena suatu dan lain hal sehingga memilih shortcut dan tidak melalui proses yang seharusnya. Namun, ia juga tak sepenuhnya salah ketika mengekspresikan kekesalannya. Salahnya ialah, ia menggunakan media jejaring sosial yang bisa diakses orang lain. Dan tidak semua orang mengerti konsekuensi dari suatu tindakan. Sama seperti di dunia nyata, tidak semua orang juga menyukai kita di dunia maya, meski kita terkoneksi dengannya.
Saya teringat konsep panopticon society dari Foucault, ketika kita sebagai masyarakat jaringan saling memata-matai. Kita memata-matai Si A, dan begitu juga sebaliknya. Mendadak kita menjadi mata-mata. Dan tak ada yang lebih berbahaya dari para pengintai, karena mereka dapat memicu perang. Sejarah manusia sudah membuktikan itu.
Jika di dunia nyata, kita bebas saja memaki dan sulit dibuktikan karena tidak memiliki bukti kecuali ada yang merekam, maka di dunia maya, bukti itu beredar dimana-mana. Percuma kau hapus, begitu ada yang merekamnya, tamatlah riwayatmu. Poor Flo. Tapi, kita harus berterima kasih padanya, ia telah mengajari kita bagaimana menggunakan mulut dan media dengan bijak.
Namun, kejadian yang sama terjadi lagi keesokan harinya. Pom bensin tetap ramai sejak pagi. Malamnya, Mbak Truly menyerah, motornya sudah seperti vampir yang butuh darah. Saya kemudian menemaninya. Sekitar jam setegah 9 kami keluar menuju pom bensin di jalan Kaliurang. Tapi sayang, baik premium dan pertamax sudah habis. Kami mencari lagi di sepanjang jalan, berharap ada penjual bensin eceran yang biasanya kami tak acuhkan. Namun, lagi-lagi pedagang bensin eceran juga kehabisan stock. Kami malah disarankan ke area Tugu. Itu terlalu jauh, si motor sudah di titik nadir. Mbak Truly sudah mulai menyusun langkah alternatif kalau-kalau ia tak mendapatkan bensin malam itu. Ia sudah ancang-ancang untuk naik taksi saja besok ke kampus.
Yesus berkata," Carilah maka engkau akan mendapatkan", maka kami lantas menuju pom bensin Sagan yang jaraknya masih dekat dari kampus UGM. Dan...masih lumayan juga motor yang mengantri meski tidak sebanyak kemarin. Kami langsung mengambil antrian. Kira-kira hampir satu jam lebih kami menunggu sampai akhirnya giliran si Scoopy milik Mbak Truly mendapat jatah makan. Di belakang kami, masih banyak dan bertambah lagi motor yang mengantri untuk mendapatkan bensin, bahkan ada yang membawa jirigen sementara di bagian mobil tidak sepadat itu. Saya tak tahu lagi apakah keadaan itu masih berlanjut sampai malam ini. Entahlah, saya malas keluar rumah.
***
Ada satu pelajaran penting yang saya dapatkan selama di Jogja yaitu belajar bersabar. Segala sesuatu di kota ini memang menuntut kesabaran. Sebagai pendatang, mau tidak mau kita beradaptasi dengan lingkungan termasuk aturan di dalamnya. Di mana pun kau berada, di rumah sendiri atau di kampung orang, selalu saja ada aturan yang mengikat. Flo memang jelas-jelas salah karena ia tidak antri. Ia mungkin tak sabaran oleh karena suatu dan lain hal sehingga memilih shortcut dan tidak melalui proses yang seharusnya. Namun, ia juga tak sepenuhnya salah ketika mengekspresikan kekesalannya. Salahnya ialah, ia menggunakan media jejaring sosial yang bisa diakses orang lain. Dan tidak semua orang mengerti konsekuensi dari suatu tindakan. Sama seperti di dunia nyata, tidak semua orang juga menyukai kita di dunia maya, meski kita terkoneksi dengannya.
Saya teringat konsep panopticon society dari Foucault, ketika kita sebagai masyarakat jaringan saling memata-matai. Kita memata-matai Si A, dan begitu juga sebaliknya. Mendadak kita menjadi mata-mata. Dan tak ada yang lebih berbahaya dari para pengintai, karena mereka dapat memicu perang. Sejarah manusia sudah membuktikan itu.
Jika di dunia nyata, kita bebas saja memaki dan sulit dibuktikan karena tidak memiliki bukti kecuali ada yang merekam, maka di dunia maya, bukti itu beredar dimana-mana. Percuma kau hapus, begitu ada yang merekamnya, tamatlah riwayatmu. Poor Flo. Tapi, kita harus berterima kasih padanya, ia telah mengajari kita bagaimana menggunakan mulut dan media dengan bijak.