Ketawa-Ketiwi dengan Pak Ageng
Rabu, Juli 23, 2014Masih dalam euforia kemenangan pasangan capres-cawapres Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang sudah disahkan kemarin malam, saya menghabiskan tanggal 22 Juli 2014 dengan makan, nonton berita, dan berkeliaran di media jejaring sosial. Tentu saja saya masuk dalam kelompok 70 juta sekian rakyat Indonesia yang memilih Jokowi -JK, maka setelah puas bersukacita merayakan datangnya Presiden dan Wakil Presiden yang baru, saya kembali masuk kamar dan melanjutkan kembali bacaan saya yang tertunda.
Sejak kepulangan saya ke rumah, ada tiga novel yang saya baca di saat yang bersamaan. Pertama, roman Burung-Burung Manyar karangan Romo Mangun (Y.B.Mangunwijaya), Dua Ibu yang ditulis Arswendo Atmowiloto, dan sketsa-sketsa Umar Kayam yang diberi judul Mangan Ora Mangan Kumpul. Roman Burung-Burung Manyar adalah novel rekomendasi dari Eyang sebelum saya pulang ke Makassar. Buku itu sendiri saya dapat di Gramedia Makassar secara tak sengaja. Sebenarnya itu buku lama. Saya sudah berniat meng-sms Mas Totok di shopping Taman Pintar untuk mencari bukunya, tapi udah keburu dapat cetakan barunya di Gramedia. Sementara Dua Ibu "terpaksa" saya beli karena belum dapat novel Canting yang dikarang Mas Wendo, padahal udah ngidam berat mau baca. Syukurnya Dua Ibu adalah novel berbobot juga, wong juara fiksi tahun 1981. Terakhir, Mangan Ora Mangan Kumpul saya beli di Jogja, hanya karena filosofi "mangan ora mangan sing ngumpul" itu mau saya caplok di paper final. Maka, demikianlah kisah ketiga buku yang saya baca hari-hari belakangan ini. Dua Ibu sudah selesai dibaca, menyusul Burung-Burung Manyar dan Mangan ora Mangan Kumpul yang silih berganti saya baca. Kalau satunya bosan, ganti yang lain.
***
Entah mengapa saya lebih ingin duluan mereview Mangan Ora Mangan Kumpul meskipun buku ini belum selesai saya baca. Pertama, karena mungkin ini sekedar sketsa dan bukan novel super panjang yang harus dibahas tokoh dan ceritanya. Mangan Ora Mangan Kumpul adalah kumpulan sketsa-sketsa Umar Kayam yang ditulisnya di antara tahun 1987-1990 di koran Kedaulatan Rakyat (KR) Jogja. Dengan tokoh sentrum dirinya yang ia sebut Pak Ageng, dan kitchen cabinet-nya yang disebut Mr.Rigen anak beranak (Mrs. Nansiyem dan anak mereka Beni Prakosa) sebagai wakil dari wong cilik, maka mengalurlah peristiwa-peristiwa kehidupan sehari-hari dengan situasi politik, sosial, budaya, dan ekonomi masa itu.
Dengan gaya berseloroh, jenaka, nakal, dan santai, Umar Kayam meramu tema-tema berat seperti persoalan kelas sosial - priyayi vs wong cilik-, atau persoalan politik penyusunan kabinet menteri, bahkan pemilu di era Orde Baru dengan ringan. Saya tertawa-tawa membaca satu sketsa dan tertawa lagi ketika membaca sketsa berikutnya. Gaya humor yang berkelas dan satir (lah piye toh Pak Umar Kayam kan Professor Ilmu Budaya, saya sendiri melihat fotonya di salah satu ruangan FIB UGM waktu nganter Eyang menguji) membuat buku ini bisa dibaca berulang-ulang kapanpun. Bonusnya, kita bisa belajar bahasa Jawa sedikit-sedikit disini.
Dengan gaya berseloroh, jenaka, nakal, dan santai, Umar Kayam meramu tema-tema berat seperti persoalan kelas sosial - priyayi vs wong cilik-, atau persoalan politik penyusunan kabinet menteri, bahkan pemilu di era Orde Baru dengan ringan. Saya tertawa-tawa membaca satu sketsa dan tertawa lagi ketika membaca sketsa berikutnya. Gaya humor yang berkelas dan satir (lah piye toh Pak Umar Kayam kan Professor Ilmu Budaya, saya sendiri melihat fotonya di salah satu ruangan FIB UGM waktu nganter Eyang menguji) membuat buku ini bisa dibaca berulang-ulang kapanpun. Bonusnya, kita bisa belajar bahasa Jawa sedikit-sedikit disini.
Kedua, mungkin karena Umar Kayam "dekat" dengan saya. Membaca buku ini seperti merasakan beliau masih ada dan sedang ngobrol dengan saya. Umar Kayam adalah sahabat Eyang. Eyang sering sekali bercerita tentang beliau, bahkan rahasia-rahasianya sekalipun hehehe. Eyang memanggilnya Pak Kayam meskipun banyak orang memanggilnya Uka (kependekan Umar Kayam). Umar Kayam tidak hanya dikenal sebagai salah satu tokoh budayawan dan intelektual Indonesia tapi juga pemain film yang spesialis memerankan Soekarno. Salah satu warisan Umar Kayam yang sampai sekarang dinikmati adalah Sunday Morning (SunMor) di sekitaran UGM setiap minggu pagi. Umar Kayam-lah yang berinisiatif membuat SunMor yang awalnya diperuntukkan sebagai pasar tempat para seniman memperjualbelikan karya-karyanya. Sayangnya, masa berganti, dan kini SunMor jadi bener-bener pasar yang menjual segala hal mulai dari urusan perut, urusan penampilan, urusan rumah tangga, sampai reptil.
Sayang sekali beliau telah tiada, sehingga saya hanya mengenal beliau dari ingatan Eyang. Ketawa-ketiwi dengan Pak Ageng menjadi pelipur lara. Andai beliau masih hidup, pasti Eyang akan mengenalkan saya dengan beliau. Kami akan bertukar cerita tentang masa lalu, tentang Manhattan, tentang sejarah Indonesia, bahkan curhat mengapa jodoh itu terlalu gesit seperti bintang jatuh sambil menikmati sore yang "hanya kita yang roso" di Jogja. Dengan membaca buku ini, saya seperti merasa beliau masih hidup. Kadang, ketika setelah membaca salah satu sketsanya dan melihat tanggal tulisan itu dibuat, saya jadi sedih lagi. Tulisan itu sudah berusia 27 tahun. Tulisan itu bahkan dibuat sebelum saya lahir!
Sayang sekali beliau telah tiada, sehingga saya hanya mengenal beliau dari ingatan Eyang. Ketawa-ketiwi dengan Pak Ageng menjadi pelipur lara. Andai beliau masih hidup, pasti Eyang akan mengenalkan saya dengan beliau. Kami akan bertukar cerita tentang masa lalu, tentang Manhattan, tentang sejarah Indonesia, bahkan curhat mengapa jodoh itu terlalu gesit seperti bintang jatuh sambil menikmati sore yang "hanya kita yang roso" di Jogja. Dengan membaca buku ini, saya seperti merasa beliau masih hidup. Kadang, ketika setelah membaca salah satu sketsanya dan melihat tanggal tulisan itu dibuat, saya jadi sedih lagi. Tulisan itu sudah berusia 27 tahun. Tulisan itu bahkan dibuat sebelum saya lahir!
***
Mangan Ora Mangan Kumpul bukan buku pertama Umar Kayam yang saya punya. Buku pertama yang saya beli adalah Para Priyayi. Entah mengapa buku ini jadi semacam buku wajib kalau kamu menjadi penduduk tanah Jawa. Dibanding Mangan Ora Mangan Kumpul, Para Priyayi jelas lebih berat. Saya memutuskan membacanya jika sedang butuh bacaan yang berat atau kalau kebetulan jodoh saya lelaki Jawa, baru saya akan baca guna mengetahui dan menghayati peran sebagai priyayi yang manglingi.
Ngomong-ngomong, karena membaca Dua Ibu dan salah satu sketsa Mangan Ora Mangan Kumpul yang mengambil setting di Solo, saya jadi ingin mengunjungi Taman Sriwedari sambil nonton wayang disana. As soon as I get back to Jogja, saya akan merengek kepada Mbak Truly untuk dibawa kesana. Entahlah, semoga pertunjukan wayang yang dimaksud dalam dua buku yang terbit di tahun 80-an ini masih ada. Kalaupun masih ada, semoga "suasana magic" itu masih ada.
Yah, semoga.
Yah, semoga.
1 comments
artikelnya mantab sis... blogwalking ke blog ane juga ya sis
BalasHapuswww.adminkumat.blogspot.com