Akibat Lapar Mata
Kamis, April 03, 2014
Orang bijak berkata,"manakala waktu dan situasi berada dalam poros yang sama maka hal yang paling tidak kau sukai atau tak pernah kau bayangkan akan kau sukai sekalipun, dapat menjadi kesukaanmu". Keadaan ini bisa mengacu pada apa saja: tempat, orang, suasana, lagu, film, bahkan pada makanan.
Seumur-umur saya hanya menyukai es krim cokelat dan makanan yang mengandung unsur cokelat. Tetapi suatu ketika, saya mencicipi ice coffee float (es cappucino dengan satu scop es krim vanilla di atasnya) yang dipesan Mami. Sejak saat itulah saya menyukai es krim vanilla, sekaligus dengan milkshake-nya. Sejak saat itu, rasa vanilla menjadi opsi kedua setelah cokelat.
Tergiur adalah kelemahan manusia. Mengapa kelemahan? karena manusia akan berusaha memenuhi apa yang menjadi dambaannya itu. Tergiur akan pacar orang bisa jadi. Tergiur akan kekuasaan juga sudah pasti. Tergiur akan makanan? itu alamiah. Untungnya saya hanya mudah tergiur dengan makanan. Lapar mata lebih tepatnya. Suatu ketika dalam khotbah di Gereja, Pendeta menggunakan gambar-gambar makanan untuk mengantar khotbahnya. Salah satu gambar itu adalah gambar bubur ayam. Entah karena lapar atau nafsu, saya dan Kak Risna jadi tergiur ingin makan bubur ayam. Anehnya, pikiran kami terarah bukan pada bubur ayam yang ada dalam gambar itu melainkan bubur ayam yang dijual di Raminten. Bubur Ayam itu berporsi jumbo dengan harga 9000 rupiah. Kalau mau superjumbo, ada lagi, tapi harganya 15.000 rupiah.
Bubur Ayam di Raminten
Sepulang dari Gereja, saya dan Kak Risna menuju Raminten. Kami ingin memuaskan nafsu kami itu. Sayangnya, setibanya disana, bubur ayam-nya malah habis. Berkali-kali kemudian saya mengatur janji dengan Kak Risna tapi selalu gagal. Segala sesuatu memang ada waktunya. Barulah seminggu yang lalu, sepulang kuliah saya dan Mbak Yefi singgah di Raminten. Ini tumben, mengingat Mbak Yefi orangnya paling malas kalau diajak kesana. Segera saja saya memesan bubur ayam idaman itu. Dengan pede saya memesan yang paling jumbo. Mbak Yefi sudah mengingatkan untuk memesan yang kecil aja dulu. Takutnya mubazir, gak kuat ngabisinnya. Tapi dasar keras kepala, demi nafsu yang tertahan-tahan sejak dulu itu, saya tetap memesan yang paling besar.
Anehnya, begitu pesanan datang, pelayanannya malah membawa porsi yang lebih kecil. Jangan salah, porsi kecilnya malah bisa dimakan 3 orang. Seperti ramalan Mbak Yefi, saya tidak kuat menghabiskan bubur ayam itu. Bahkan bubur ayam itu tidak sampai setengah saya sisakan. Mau dibawa pulang juga sudah tidak enak. Mubazir, iya. Berdosa karena buang-buang makanan, iya. Sakit perut karena kebanyakan makan, iya.
Di lain waktu, Jogja saat ini ramai dengan penjual dessert olahan durian. Saya pecinta durian. Ketika, tren makan pancake durian lagi happening, saya juga tak ketinggalan untuk mencicipinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, ada sebuah kedai durian yang baru buka yang letaknya tak jauh dari kos saya. Saya hanya tinggal jalan kaki 5 menit atau salto 3x dari depan rumah. Meskipun ini anugerah bagi para pecinta durian, tapi untuk menemukan partner makan durian juga ternyata agak-agak susah. Banyak teman-teman saya yang tidak suka durian. Pertama, Mbak Indri anti durian padahal info kedai durian ini saya dapat dari dia. Mbak Truly ogah-ogahan. Bu Mery sih mau tapi waktunya selalu tidak pas. Tapi seperti kata pepatah, dimana ada kemauan, disitu ada jalan.
Korban pertama yang saya ajak kesini adalah Ani, teman kuliah saya. Awalnya Ani happy-happy saja saya ajak kesini, namun saat tiba wajah Ani berubah 180 derajat. Saya lupa kalau Ani tidak suka durian. Namun, setelah bujuk sana, bujuk sini (termasuk "menjual" si pemilik kedai yang berwajah ganteng) Ani bersedia menemani meski berkali-kali ia menutup hidung karena tidak suka dengan bau durian. Saya mencoba pancake durian dan susu durian. Sebenarnya saya mau mencoba soes durian, tapi sudah habis.
Pancake Durian dan Susu Durian di Ngidem Durian dekat rumah
Risol Durian, sebuah invention.
Kali kedua, saya berhasil menyeret Kak Feby, teman kuliah saya untuk makan dessert durian disini. Berbeda dengan Ani, Kak Feby adalah penggemar durian. Klop-lah kami. Kami lantas mencoba risol durian gegara soes durian-nya lagi-lagi sudah habis. 3 potong risol durian dengan ice cream vanilla berharga 20.000 rupiah. Meski awalnya, kurang yakin enak apa tidak (namanya juga coba-coba), kami makan juga risol durian itu dan ternyata...enak pemirsa. Pokoknya sensasi baru, bisa juga ya durian berjodoh dengan risol. Saya dan Kak Feby malah bungkus untuk dimakan di rumah.
Segala pilihan mengandung konsekuensi, termasuk untuk memenuhi hawa nafsu (termasuk nafsu makan). Perut saya jadi sakit akibat terlalu banyak makan durian. Setelah berkontemplasi terhadap kenaikan berat badan saya yang drastis (sejak pindah Jogja naik 10 kg), kesimpulan mengarah pada ketidakmampuan saya mengontrol nafsu makan termasuk lapar mata. Iya, suka aja liat gambar makanannya, tapi pas dimakan ujung-ujungnya malah tidak habis. Ini juga yang menjadikan saya boros meskipun saya berprinsip pantang hitung-hitungan kalau soal makanan, buku, dan baju *ups.
Mungkin ini adalah salah satu tantangan anak perantau di kota orang. Dan kuncinya adalah pengendalian diri yang merupakan senjata ampuh yang harus dimiliki semua anak rantau yang suka makan seperti saya ini.
Pikirkanlah itu.
*senyum ala Khrisna
2 comments
Aduh jadi tertarik mau coba risol durian >.<
BalasHapuskak dwi : enakkkkk bangettt kak....sayang gak bisa dikirim :((
BalasHapus