*koleksi "baru" saya*
Sudah sejak lama saya mencari novel-novel Fredy S bahkan ketika masih kuliah di S1. Akhirnya, setelah mencari sekian lama, saya menemukan dua novel Fredy S berjudul Nilai-Nilai Kesetiaan dan Senja Berkabut Sutera beserta bonus novel Nani Rahaju yang ditulis Motinggo Boesje. Ketiga buku ini terkubur di salah satu sudut kota Jogja yang permai.
Saya lupa tahun berapa persisnya ketika membaca sebuah novel karya Fredy S atau saya kira Fredy S. Yang jelas waktu saya sudah bisa membaca dan mengerti bahwa isi novel itu banyak dibumbui erotisme. Novel itu saya temukan diatas tumpukan buku kuliah kakak Enni, saudara saya. Keadaan novel itu agak menggenaskan. Sampulnya agak koyak disana-sini. Judulnya pun sudah hampir lupa, yang jelas ada kata "gairah"-nya. Awalnya saya hanya iseng baca-baca(ada memang suatu masa dimana anak kecil ingin membaca segala hal) namun lama-kelamaan, kok isinya jadi "sesuatu" sekali? Maka mengertilah saya mengapa sampulnya koyak disana-sini. Mungkin si Kakak takut kedapatan Ibu.
Well, itu sepenggal memori saya tentang novel-novel yang dikatakan terlarang bagi usia di bawah 17 tahun. Toh pada kenyataannya ketika duduk di bangku SMA dan teknologi sudah mulai canggih, saya dan teman-teman SMA sudah tidak mendapatkan buku-buku Fredy S lagi. Zaman kami dikenal dengan suatu web cerita porno yang disandi dengan judul "Cerita 5". Saya penganut paham "Ketidaktahuan membuat kita ingin mencoba" dan rupanya itu pula yang dianut teman-teman saya yang lain. Kami semua perempuan dan sudah paham bahwa seks adalah makanan tubuh. Persoalannya kami diikat dengan norma dan budaya untuk menjaga keperawanan sampai menikah nanti. Maka tidak seperti teman-teman laki-laki kami yang sampai berani main ke you-know-what, kami lebih memilih menikmati seks dalam bentuk deskripsi cerita yang menghasilkan fantasi. Meski efeknya hanya sesaat. Toh kami puas juga. Dan setelah itu bosan.
"Cerita 5" kemudian berganti dengan film-film romantis yang dibumbui adegan erotis. Beberapa teman saya mulai yang paling alim sampai yang paling nakal sekalipun punya folder khusus. Kami tidak menyukai film porno yang terlalu vulgar. Rasanya seperti menonton film edukasi bagaimana orang melakukan fertilisasi. Tidak ada estetiknya. Ah iya, disitulah saya paham bahwa film porno memang film yang berfungsi untuk praktikum (khususnya untuk pasutri), tetapi kami tidak mencari praktek kami mencari esensi tentang apa itu seks. Dan walaupun hasilnya semu, seperti semua anak perempuan yang dididik dalam budaya "timur", kami hanya sanggup menunggu sampai waktunya tiba.
Kembali pada novel Fredy S, saya memang baru baca dua judul diatas. Tapi sama sekali tidak ada adegan yang dibilang erotis-erotis itu. Entah kode erotis saya berbeda dengan mereka yang dulu membacanya tapi jika dibandingkan dengan novel metropop zaman sekarang, malah novel yang sekarang jauh lebih erotis. Selain Fredy S, nama Motinggo Boesje lebih klasik lagi dalam penulisan novel erotis. Boesje memulainya pada dekade 60-an. Maka dalam novel Nani Rahaju itu masih kental dengan penulisan ejaan lama yang campur aduk dengan serapan bahasa Belanda.
Jika kita ingin membaca zaman, maka bacalah novel yang terbit di setiap zaman itu (ini juga berlaku pada lagu). Novel Boesje maupun Fredy S meskipun terpaut 20-30 tahun namun memuat satu pola yang sama: penekanan pada keperawanan perempuan. Perempuan wajar saja terlibat asmara dengan laki-laki. Namun jika laki-lakinya sudah mulai "berani", konflik tokoh perempuannya diperhadapkan dalam dilema untuk menjaga kesuciannya atau melepasnya. Sebagian tetap menjaga namun lebih besar lagi yang terenggut paksa. Usia yang dijangkau dalam novel-novel ini terbilang muda yaitu 17 tahun keatas (muda bagi zaman saya, tapi sudah tua di zaman om-tante-kakak). Bahkan tokoh Nani Rahaju berusia 23 tahun dan kuliah di UGM. Memang corak yang paling terlihat dan bahkan mungkin yang membuat kedua pengarang ini dijuliki penulis novel erotis karena pendeskripsian ceritanya memang mengandung unsur erotis meskipun sama sekali tidak vulgar. Misalnya kata "ujar Nina" yang umum dalam percakapan diganti dengan "desah Nina". Tapi wajar juga sih mengingat film-film 70-80an tokoh-tokohnya kalau ngomong suka mendesah-desah. Adegan yang dibilang erotis itu hanya berpuncak pada ciuman. Bandingkan dengan cerita Antologi Rasa-nya Ika Natassia. Bukan lagi ciuman, tapi gaya seks bebas sudah menjadi barang biasa dalam setting yang dipilih Ika. Maka, jelaslah perbedaan zaman antara kakak-kakak kita dengan kita atau bahkan adek-adek kita nanti. Ada memang degradasi nilai-nilai "ketimuran" yang muncul dalam novel-novel metropop bahkan yang paling mencolok adalah budaya konsumerisme yang dipromosikan di dalamnya (sampai jerit-jerit histeris kalau lihat counter Zara, Jimmy Choo, atau Victoria Secret di Mall namun merunduk seperti putri malu takkala tahu harganya jutaan rupiah).
Meskipun saya kecewa karena mitos novel erotis Fredy S tidak sesuai ekspektasi saya, paling tidak novel-novel ini sukses membuat saya kembali ke masa ketika saya masih kecil (khusus untuk novel Boesje, saya mendapat gambaran kehidupan sosialita di tahun 60-an). Sebuah nostalgia untuk masa yang tidak akan pernah sama lagi sekalipun gaya fashion tetap berulang.
salam hangat,
Meike