Halusinasi, Pasca Erupsi, dan Pikiran yang Muncul Saat Sedang Mencuci Baju
Rabu, Februari 19, 2014
Seminggu belakangan ini sepertinya saya mengalami halusinasi menjelang bangun tidur. Pertama kali saya merasa mengalami halusinasi ketika mendengar Bu Mery, tetangga kos saya sedang marah-marah dengan seseorang. Pas saya kroscek, ternyata Bu Mery tidak melakukan hal itu. Kali kedua, saya merasa mengecek handphone saya. Saya menemukan sms dari provider, pas benar-benar bangun tidur sms dari provider itu benar-benar ada (yang ini membuat saya berpikir apakah saya berjalan dalam tidur atau bagaimana). Kemudian berikutnya saya merasa menggaruk luka operasi saya dan pas bangun tidur saya mengecek kembali, dan luka operasi yang telah mengering itu sudah hilang. Saya menanyakan pada Bu Mery, kebetulan beliau mengambil S2 Keperawatan dan menurut beliau saya cuma berhalusinasi. Yang mengherankan saya mengalaminya lagi dan lagi sampai hari ini. Momennya selalu sama, menjelang bangun tidur. Tiba-tiba saya merasa seperti Ally McBeal yang sering berhalusinasi. Entah ini ada pengaruhnya karena berhasil menunaikan tontonan yang terdiri dari 5 season tersebut.
Selain itu, saya juga sering salah baca. Misalnya berita tentang erupsi gunung Kelud yang saya baca "ereksi gunung Kelud". Atau waktu memesan makanan, logika matematika saya tidak jalan. Saya memesan 7 ayam goreng yang dimakan untuk 3 orang. Lalu siapa yang akan membayar sisa ayam-ayam itu?
Pasca ereksi eh erupsi gunung Kelud membuat saya (dan pastinya semua korban) akan kerja bakti membersihkan rumah mereka. Saya pun demikian dengan sukarela memanggul tanggung jawab mengurus kamar kos saya sendiri, tugas saya masih lebih ringan dibanding Pak Jono yang harus membersihkan satu rumah. Permasalahannya kamar kos saya cukup besar. Bisa ditempati 2-3 orang malah. Punggung dan belakang saya jadi sakit karena harus mengelap, menyapu, mengepel, dan mengganti apa saja yang ada disana: gorden, taplak meja, sampai seprei. Debu-debu harus segera dibersihkan. Saya tidak masalah dengan membersihkan kamar tapi beban hidup itu terasa menekan ketika melihat keranjang baju kotor yang penuh pakaian. Kemarin saya sudah mencuci 3 ember sekaligus. Tapi karena hujan baru turun dua kali di Jogja (itupun tidak lebat) debu vulkanik masih menempel dimana-mana. Pakaian yang saya jemur terkena debu tersebut, sehingga beberapa baju yang tak terselamatkan harus dicuci ulang. Ini memang kebodohan saya juga sih, maklum tidak pernah merasakan bencana, begitu ada pengalaman seperti ini kemudian bergerak berdasarkan insting, insting anak perkotaan yang sok tahu dan ingin segala sesuatunya cepat selesai. Maksud hati ingin aman apa daya malah kerja dua kali.
Sambil mencuci pakaian gelombang kedua hari ini tiba-tiba saya teringat ibu saya dan semua ibu rumah tangga di seluruh dunia. Jujur saja saya dulu menganggap pekerjaan domestik yang dilakukan ibu rumah tangga itu pekerjaan mati. Kalau bisa bekerja diluar mengapa harus repot-repot mengurus rumah? kita bisa menggaji orang untuk melakukan semuanya. Memang sih pekerjaan domestik tidak menguras otak, tapi tetap saja tenaga kita terkuras. Bagaimana bisa perempuan -seorang ibu- begitu tabah mencuci baju suami dan anak-anaknya, memasakkan makanan, bangun paling pagi dan tidur paling akhir, melayani suami dan anaknya, dan semua pekerjaan itu diulang setiap hari seumur hidup? Pembantu sih enak digaji, nah ibu rumah tangga? How can???
Dan karena ini adalah peran yang sudah diturunkan secara turun temurun selama ribuan tahun maka setiap anak gadis wajib hukumnya menguasi pekerjaan rumah tangga. Saya akui saya memang tergolong malas mengurus rumah, tapi bukan berarti tidak tahu kerja. Just because my face looks careless doesn't mean i can't clean up.
Ada juga yang paling menyesakkan. Perempuan harus pintar masak. Lalu bagaimana dengan perempuan yang (belum) tahu masak seperti saya. Saya lebih pilih jadi tester ketimbang jadi koki. Kemudian cowok-cowok itu membangun karakter perempuan idaman mereka: berkulit putih, memiliki berat badan ideal, dan jago masak (ini serius saya baca di majalah Cleo). Heh? mau cari waitress atau istri, mas?
Yang bikin emosinya, perempuan juga turut memapankan anggapan ini. Lalu terciptalah mitos, mitos yang dijaga sepenuh hati dan menjadi standar kesuksesan perempuan. Gak usah sekolah sampai S3, toh ujung-ujungnya di dapur juga. Tapi perempuan yang sekolah S3 harus tetap menghidupkan dapur, kalau tidak satu rumah bisa mati. Sungguh jadi perempuan itu harus hidup dengan double standar. Kita menentang kehidupan yang diciptakan budaya patriarki, tapi kita juga tabah menjalaninya dengan sukacita.
Sambil menimbang-nimbang apakah saya akan mencucikan baju suami saya nanti atau tidak, pikiran saya melayang memikirkan rumah. Betapa nyamannya rumah dimana segala sesuatu terpenuhi tanpa perlu dipikirkan darimana asalnya.
0 comments