Erupsi Kelud dan Balada Valentine
Sabtu, Februari 15, 2014
Saat saya menuliskan ini, abu vulkanik di luar masih merajai dan bertahta diatas apa saja yang ia hinggapi. Saya sudah lelah berulang-ulang mengerjakan pekerjaan yang sama: menyapu & mengepel lantai kamar, mengganti baju sampai pakaian kotor saya setinggi gunung, cuci kaki & cuci tangan, mandi keramas, dan diulang lagi. Debu ini bukan debu biasa yang ditemukan pada benda-benda yang telah lapuk. Bentuknya begitu halus sehingga bisa masuk dan menempel di rambut, pakaian, bahkan pori-pori kulit. Jika menempel di kulit, maka kulit akan terasa kasar. Jika menempel di rambut, maka rambutmu akan terasa seperti habis mengenakan hairspray. Ia bisa mengganggu saluran pernapasan dan merobek paru-paru. Ia mampu membuat sepasang mata iritasi. Tak ada yang mampu melawan pergerakannya. Angin malah membantunya untuk leluasa berkuasa di luar maupun di dalam ruangan.
14 Februari 2014 seharusnya menjadi hari yang istimewa sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Hari dimana orang-orang dari berbagai penjuru dunia mengenalnya sebagai hari kasih sayang pada sesama. Sebuah bentuk devosi bagi St.Valentine dan jasa-jasanya dimasa lampau. Pagi itu saya dibangunkan Mbak Par. Waktu itu masih pukul setengah 7 pagi dan langit Jogjakarta berwarna kuning. Turunlah titik-titik yang kutahu adalah abu vulkanik. Seperti patung Malin Kundang, ia menjadikan segala sesuatu berubah abu-abu: atap rumah, lantai, tanaman, bahkan ikan-ikan mas miliki Eyang menjadi kelabu.
Untuk sejenak saya takjub. Seumur-seumur tinggal di Makassar yang tak pernah merasakan letusan gunung atau gempa menjadikan ini sebagai pengalaman baru bagi saya. Sebelumnya beberapa minggu yang lalu saya sempat merasakan dua kali gempa bumi di Kebumen yang terasa sampai disini. Seperti mencintai seseorang, saya memutuskan akan menerima segala kelebihan dan kekurangan kota Jogja. Saya berusaha mendidik diri saya: mental dan hati untuk menghadapi letusan gunung berapi atau gempa bumi, termasuk mempersiapkan masker yang sudah saya beli dari Makassar. Inilah seninya hidup di Jogja, kota yang berada di tengah-tengah gunung berapi. Kami yang tinggal disini harus terbiasa dengan kejutan-kejutannya. Malam sebelumnya Kelud meletus, memberikan kado Valentine terbaik tahun ini: hujan abu vulkanik.
abu vulkanik di Monumen Tugu, Yogyakarta, 14 Februari 2014 pagi. (foto: Lutfi Luberto)
Siangnya, saya, Bu Mery, dan Mbak Truly kemudian mencari makan. Kami benar-benar kelaparan dan tak mungkin hanya mengandalkan pop mie yang sudah dibeli sejak pagi. Namun, tak ada satupun tempat makan yang buka. Kami tak pantang menyerah, berjalan lebih jauh di tengah debu vulkanik yang beterbangan. Dalam perjalanan, kami singgah di apotek terdekat untuk membeli masker buat Bu Mery. Namun, maskernya habis. Petugas apotek kebingungan karena tak ada lagi stok masker dan Bu Mery belum mendapatkan masker biar satupun. Orang-orang yang ada disana yang membeli masker sampai bertumpuk-tumpuk tak ada satupun yang tergerak memberi atau menjual satu maskernya untuk Bu Mery. Di hari Valentine bahkan tak ada Kasih. Petugas apotek akhirnya datang dengan membawa masker lain untuk Bu Mery. Dasar terlalu banyak baca buku kritis, kami pun berpikiran kritis, bawaannya curiga melulu. Masker itu kemungkinan adalah masker pemberian gratisan yang kemudian dijual kembali. Warnanya berbeda dengan masker yang biasa dijual. Lagipula harganya juga terbilang murah.
Setelah mendapatkan masker, kami berjalan lagi mencari rumah makan. Akhirnya, kami menemukan satu-satunya rumah makan Minang yang buka. Bukan main banyaknya orang yang antri membeli dan makan disana meskipun harganya dua kali lipat dari rumah makan Padang. Sesampai di kos, kami mengucap syukur kepada Tuhan bahwa di tengah-tengah kesusahan, kami masih bisa makan enak: nasi ayam dan pop mie. Ini adalah kemewahan di tengah-tengah suasana alam yang seperti ini. Teringat saudara-saudara kami di pengungsian yang belum tentu memakan makanan seenak kami.
Sebelum media massa heboh memberitakan Gunung Kelud meletus, saya sudah lebih dulu tahu. Tanggal 13 Februari 2014 sekitar pukul 11 malam, teman saya Ade yang berada di Pare, Kediri sudah mengupdate status: Kelud meletus. Tapi yang membuat saya kaget adalah kenyataan bahwa abu vulkanik Kelud terbawa angin ke arah barat menuju Jogja - Solo - dan daerah sekitarnya. Awal tahun ini, Indonesia harus mengahadapi banyak bencana: Gunung Sinabung di Sumatera meletus, banjir bandang di Manado, banjir di Jakarta, dan disusul Gunung Kelud yang meletus.
***
Saya teringat pepatah orang bule "You can plan the holiday but you can predict the weather". Rencana liburan kali ini gagal total. Pada Januari kemarin, saya dan Mami batal ke Jakarta dan Bandung karena banjir yang melanda ibukota. Saya juga batal ke Surabaya minggu lalu untuk menengok Tirta setelah Yefi, teman saya yang tinggal di Blitar sudah memperingatkan kalau Kelud sudah status waspada. Untuk menghibur hati saya memutuskan menonton konser Kla Project bersama Feby yang diadakan bertepatan dengan hari Valentine. Namun apa daya, tak ada yang berjalan sesuai rencana bahkan untuk mencuci setumpuk pakaian kotor di hari Valentine. Kini saya terpekur, menatap tumpukan baju yang tak karuan. Tiket Kla masih di tangan padahal konsernya telah selesai digelar. Abu vulkanik memaksa saya tinggal di rumah.
15 Februari 2014, dengan mengenakan satu-satunya baju rumah yang bersih, saya mengepel lagi kamar yang berdebu. Namun naas, saat membersihkan kain pel, tak sengaja kayu pelnya menghantam pipa air yang berada di atas saya. Tumpahlah semua abu vulkanik yang ada disana, untung saya mengenakan topi sehingga rambut saya selamat. Tapi tidak dengan baju saya. Keadaan ini memaksa saya untuk membeli pakaian baru. Saya memutuskan keluar rumah dengan menggunakan masker dan memakai pasmina yang dililit seperti hijab di kepala saya. Tujuan saya ke Malioboro Mall untuk membeli pakaian dalam dan baju-baju rumah, setidaknya saya harus bersiap-siap jika hujan tidak turun sampai dua hari ke depan sesuai ramalan cuaca.
Sampai sekarang, belum pernah sehebat ini saya merindukan hujan. Hujan yang deras yang air-airnya akan melarutkan semua abu-abu vulkanik ini. Kami semua menantikan hujan deras, hujan keras yang melimpah-limpah untuk mencuci Jogjakarta.
Sampai sekarang, belum pernah sehebat ini saya merindukan hujan. Hujan yang deras yang air-airnya akan melarutkan semua abu-abu vulkanik ini. Kami semua menantikan hujan deras, hujan keras yang melimpah-limpah untuk mencuci Jogjakarta.
jalanan menuju Kotabaru, 15 Februari 2014 sore. Masih tampak sisa-sia abu vulkanik
Saya memandang ke langit dan hanya menemukan satu warna, abu-abu. Perlahan cahaya matahari berusaha menembus pekatnya debu vulkanik di udara. Hawa terasa semakin panas. Kantong belanjaan yang saya tenteng semakin berat.
Sepertinya hujan masih lama turun.
0 comments