The Journey
Selasa, Juni 11, 2013
Monas, Gambir jam 05.00 WIB
Saya rasa Tuhan itu romantis.
Dia tahu saya sedang mengharapkan hal itu. Dia tahu saya sedang berjuang untuk mendapatkannya. Dia tahu bahwa sebenarnya saya tidak perlu segalau itu karena toh segala jalan ini memang mengarah kesana. Tapi Ia memang romantis, meskipun caranya tidak saya sukai.
***
Saya tidak pernah ke pulau Jawa. Hal inilah yang membuat Pulau Jawa menjadi tempat yang penuh dengan impian. Impian akan masa depan, bertemu keluarga besar saya (sebagian besar keluarga dari pihak Mami ada disana), dan diam-diam saya mengharapkan cinta dari cowok Jawa (bleh..bleh..blehh). Pusat kehidupan Indonesia memang berada di pulau Jawa, apalagi Jakarta, sehingga kota itu memang menjadi impian bagi banyak orang. Teman-teman saya banyak yang sudah pernah kesana. Malah ada yang memang berasal dari sana. Waktu SD, mereka selalu menceritakan pengalaman liburan mereka ke Jakarta. Saya sendiri hanya senyum-senyum, malu untuk mengakui tidak pernah kesana. Untuk menutupi ketidaktahuan, saya banyak membaca buku seputar Jakarta, termasuk tempat pariwisatanya dan terutama sejarahnya. Sehingga saya bisa menimpali mereka dengan cerita yang tidak lazim mereka tahu. Saya juga memiliki kelebihan dalam menirukan logat beberapa daerah di Indonesia tanpa okots, termasuk logat Jakarta. Percaya atau tidak, orang-orang di KBRI memuji kemampuan saya berlogat ke-Jawa-Jawaan- atau ke-Jakarta-Jakartaan. Menurut mereka saya tidak nampak terdengar dari Makassar.
Orang tua saya sebenarnya mampu membawa saya liburan kesana. Mereka malah hobi kesana. Saya masih ingat waktu Daddy masih menjabat sebagai kepala kantor Koperasi Asuransi Indonesia (KAI)--sekarang kantor itu sudah tidak ada di Makassar-- beliau sering ke Jakarta, bahkan wilayah lain di Indonesia seperti Kalimantan, NTB, Bali, dan Sulawesi. Setiap abis dinas dari Jakarta, beliau membawakan mainan-mainan bagus, terakhir mainan roger-roger (semacam handy talk yang bisa menangkap suara sejauh 3 rumah). Ia juga memiliki satu album foto dengan badut bekantan di Dufan. Sama seperti Daddy, Mami juga begitu. Bedanya ia kesana dalam occasional tertentu seperti pendidikan kantor, lomba Pesparawi, atau acara keluarga. Dan tebak, saya tidak pernah dibawa kesana.
Tahun lalu saya menginjakkan kaki ke Jakarta. Tapi hanya sejauh bandara Soekarno-Hatta. Itupun dalam rangka transit pesawat yang saya tumpangi dari Bangkok ke Makassar. Ini patut disyukuri, setidaknya saya pernah ke Jakarta. Namun, ada pameo yang mengatakan," Siapapun yang belum melihat Monas, berarti belum berada di Jakarta". Maka jelaslah nasib saya.
Lalu datanglah hari itu. Hari dimana grasa-grusu itu dimulai. Saya benar-benar takut saat itu. Hanya ada satu nama yang saya sebut tiap saat, nama-Nya. Tiba-tiba saja saya diajak untuk berpikir melihat secara berlawanan arah. Orang bule bilang, "Hey, look up the bright side...find the silver lining...". Kau harus mampu mengubah kemalanganmu dan menjadikannya sebuah berkah. Lalu saya berpikir, setidaknya saya akan menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Bukan hanya Jakarta tetapi juga Yogjakarta.
***
Maka perjalanan itu dimulai menuju Yogyakarta lewat Jakarta. Lagi-lagi saya hanya mampu melihat Jakarta sebatas bandara. Setelah menyelesaikan urusan di Yogya, saya dan Mami berencana untuk langsung pulang ke Makassar namun kami merubah itenerary. Ada kekuatan yang menggerakkan kami menuju Jakarta malam itu. Rencananya kami akan naik kereta malam dari stasiun Tugu ke stasiun Gambir, Jakarta. Sebelumnya, saya masih menyempatkan diri menikmati Yogya sore itu. Saya melihat suatu penglihatan: Gunung Merapi di sore hari. Disiram kabut dan samar-samar cahaya matahari (meskipun sore itu gerimis). Begitu agung, begitu hening. Tiba-tiba saya mendapatkan filosofi ringan, "cowok Jawa itu kayak Gunung Merapi, terlihat hening padahal membara di dalam...". Well, sebelum berangkat ke stasiun Mami mengajak saya melihat-lihat ke Malioboro, Alon-Alon, dan Keraton. Hanya Tuhan dan Katon Bagaskara yang tahu bagaimana saya jatuh cinta pada Yogyakarta.
***
Kalian pernah nonton film Titanic? Pasti pernah dong, itu adalah salah satu film yang masuk dalam daftar 100 film yang harus ditonton sebelum mati. Masih ingat adegan ketika Rose--setelah apa yang terjadi dengannya dan kapal Titanic---akhirnya melihat patung Liberty? Begitulah kira-kira perasaan saya ketika tanpa sengaja keluar dari indomaret yang ada di salah satu bagian stasiun Gambir. Niatnya cuma jalan-jalan, menghirup udara setelah merasa sepet di dalam kereta. Tapi apa yang terjadi ketika saya mendongak....Monumen Nasional a.k.a Monas pada jam 5 subuh, berdiri dengan megahnya, disirami lampu warna-warni. Langit masih gelap tapi pendar emasnya tetap berkilau. Saya telah ada di Jakarta. Hati saya mendadak hangat, senyum saya mengembang, kalau Tuhan ada disitu, sudah saya cubit-cubit Dia.
***
Silver lining dari perjalanan ini adalah saya bertemu dengan keluarga saya yang selalu saya doakan dalam setiap doa-doa saya. Setelah bertahun-tahun tidak berjumpa saya bertemu Opa Hengky, Oma Pop, Tante Beby, Tante Ayon, dan ketiga sepupu saya : Willy, Raphael, dan Ray. Opa Hengky masih kuat seperti dulu. Oma Pop telah berangsur-ansur pulih dari serangan stroke-nya. Memori beliau agak terganggu, sehingga ia tidak ingat apa yang ia lakukan 5 menit yang lalu. Tante Ayon adalah tante paling keren yang pernah saya punya, kebetulan beliau baru pulang dari Belanda, beliau cukup sibuk dengan pekerjaannya, sehingga ini sebuah keberuntungan bisa bertemu dengannya. Minggu itu saya habiskan dengan mereka. Meskipun tidak menjelajahi Jakarta seperti yang dicita-citakan, tapi ini adalah sebuah perjalanan. Tentang makna kebersamaan dan kekeluargaan. Tentang harapan dan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita. Ini adalah perjalanan pembaharuan iman, apakah kau akan tetap bertahan dan yakin teguh atau kau mundur dan menyerah.
***
Saya yakin Tuhan itu romantis, meskipun caranya tidak saya sukai.
Tidak heran manusia suka mendramatisir, Tuhan yang menciptakan kita lebih jago lagi mendrama. Dalam perjalanan pulang ke Makassar, saya tidak habis-habisnya berpikir, bagaimana mudahnya Tuhan membolak-balikkan sesuatu. Ia hampir membuat saya lebih memilih mati namun dengan jentikan jarinya Ia membuat saya tak sabar untuk menantikan hari esok. Ia mematahkan banyak ramalan manusia. Ia membuktikan Dia-lah yang berkuasa. Seperti dalam Silver Lining Playbook, kata "Exolcior" kalau tidak salah dalam bahasa Yunani berarti "kuasa". In excelsis Deo.
...dan hari itupun berakhir dengan senyum penuh kelegaan.
0 comments