Pada Suatu Kencan
Rabu, Juni 12, 2013
aktingnya Kate dan Matthew...film ini cukup jujur meski endingnya tetap hollywood
Sekitar dua minggu yang lalu, saya diajak kencan oleh seorang cowok. Sebenarnya dia cuma teman baik saya. Rencananya kami pergi berdua untuk nonton. Orangnya cukup good looking dan punya prestasi. Dia pernah bilang pada saya (entah serius atau bercanda) seadainya kami seagama dia akan memacari saya. Saya tertawa. Saya pikir itu hanyalah becandaan. Jadi masuk akal kan kalau saya menyebutnya "kencan". Maka jadilah kencan di antara teman.
Jadi di hari yang sudah disepakati. Saya berboncengan dengannya menuju salah satu Mal. Saat itu hujan turun sedikit deras. Sebenarnya ini cukup romantis jikalau memang kami ada perasaan masing-masing tapi karena statusnya cuma teman, ini menjadi hal yang bikin bete. Saya benci jika rambut saya dalam keadaan basah. Saya suka main hujan tapi rambut saya tidak boleh basah. Sayangnya saat itu penampilan kece kami agak luntur karena air hujan.
Sesampai di bioskop, ternyata film yang saya incar sudah turun. Bioskop itu menayangkan satu film dengan dengan tiga studio yang berbeda. Saya jadi malas untuk nonton. Saya tidak mengikuti perkembangan film itu dari sejak sekuel yang ketiga meskipun katanya ada Joe Taslim main disitu. Akhirnya saya memutuskan untuk makan.
Disaat itulah saya belajar sesuatu.
Teman saya memang cowok dan meskipun kami tidak pacaran tapi dia tetap laki-laki yang sudah memiliki sistem nilai sendiri entah dicangkokkan masyarakat atau dibangun sendiri. Restoran tempat kami makan cukup keren. Tapi teman saya tidak menyukainya, sayangnya saya sudah terlanjur memesan. Saya memesan steak, dia memesan nasi goreng. Perlu dicatat restoran itu cukup mahal.
Saya memang suka makan. Why? because i think a lot and I need food to supply an energy into my body. I am a thinker. Bukan karena saya ilmuwan, tapi pikiran saya suka menjelajah kemana-mana. Bahkan dalam tidur pun saya berpikir. Saya pernah membaca bahwa manusia saat sedang berpikir menghabiskan banyak energi. That's why we need to eat. Tapi, banyak juga orang yang tak punya nafsu makan jika memikirkan banyak hal, itulah sebabnya mereka jadi kurus. Tubuhnya jadi tak sehat. Ada juga orang yang karena banyak pikiran jadi selalu merasa lapar. Mungkin saya masuk di kategori orang-orang ini. Meski banyak pikiran, saya tidak bermasalah dengan penurunan berat badan.
Kembali kepada teman saya, sambil makan ia banyak cerita tentang kisah percintaannya. Peran saya disitu sebagai pendengar yang baik sambil sesekali memberi nasehat. Belajar komunikasi membuat kita jadi orang yang pintar ngomong. Dia takjub mendengar opini saya yang saya rasa sendiri lebih terdengar seperti omong kosong. Dan....tibalah saat itu. Dia sudah kenyang, tetapi saya masih lapar. Jadi saya mau memesan desert. Saya mengatakan padanya, biar saya saja yang membayar desert ini. Meskipun pada awalnya dia yang mau traktir, tapi saya tetap tak enak hati. Apalagi makanan yang saya pesan cukup mahal. Tapi dia memaksa untuk membayar semua makanan itu.
Dia melihat saya makan dengan lahap. Entah apa yang ada di kepalanya. Saat pelayan datang membawakan bill, dia langsung mengeluarkan dompet dan buru-buru membayar. Saya menahannya, yakin mau bayar desert ini? Saya lantas ikut mengeluarkan dompet, tapi dia menggeleng, memaksa membayar semua makanan itu. Disitulah saya melihat bahwa laki-laki (teman saya ini adalah representasi dari laki-laki) sangat takut kehilangan harga dirinya. Ia tak mau terlihat "tak mampu" membayar makanan itu. Ia harus bersikap superior. Ia tidak membiarkan saya sendiri membayar makanan itu bukan karena ia berbaik hati mau mentraktir saya tapi karena dia tak mau kehilangan gengsinya. Padahal di pikiran saya, ini supaya adil. Dia tidak perlu membayar tambahan makanan saya. Tapi rupanya ia berpikiran lain, baginya saya seperti tidak tahu diri makan terlalu banyak.
Setelah acara makan-makan itu saya menerima hukuman. Ia tak mau jalan di samping saya. Jadi kalau bukan dia yang jalan di depan saya, saya yang jalan di depan dia. Ketika ia bertemu teman-temannya ia tak mau memperkenalkan saya. Disitu saya mendapat pelajaran kedua. Laki-laki itu malu. Malu memiliki konotasi. Pertama malu konotasi positif, ia malu sekaligus takut dikira jalan dengan pacarnya dalam hal ini saya yang seorang perempuan dan kita tahu bahwa di Makassar jalan dengan teman perempuan selalu disimpulkan sebagai pacar. Kedua malu konotasi negatif, ia malu jalan dengan saya karena mungkin dia memang tak mau dilihat jalan dengan saya. Hal ini disebabkan karena ia merasa saya tidak memenuhi kriteria perempuan yang patut dikenalkan ke teman-temannya. Pertama saya bukan tipe cewek model, kedua saya sudah menguras dompetnya sampai habis.
Sebagai orang komunikasi, kita cukup memahami bahasa non verbal seseorang. Apakah ia nyaman atau tidak. Tanpa tedeng aling-aling, saya menanyakan apakah ia malu jalan dengan saya. Teman saya spontan mengatakan bahwa ia memang terbiasa jalan cepat sambil tertawa kecut. Lima menit kemudian dia pamit meninggalkan saya di Mal. Katanya dia harus menghadiri sebuah rapat. Kami berpisah di Mal, disaat itulah saya tahu saya membuatnya ilfeel (ilang feeling) dan syukurlah kami tidak pacaran.
***
Kejadian itu mengingatkan saya pada film How To lose a Guy in 10 Days. Dimana Kate Hudson berusaha melakukan apapun yang membuat cowok-cowok ilfeel sedangkan Matthew McConaughey berusaha mempertahankan Kate. Cowok ilfeel kalau cewek terlalu banyak makan. Saya ingat pada teman saya waktu SMP. Teman saya ini pergi dinner dengan pacarnya dan hanya mau makan salad meskipun sebenarnya dia kelaparan setengah mati. Katanya nanti cowoknya ilfeel kalau ia makan banyak. Ia juga malu kalau makan banyak di depan cowoknya. What's wrong with eating department?
Kadang-kadang saya bingung ketika ada laki-laki yang bilang bahwa ia menyukai cewek yang apa adanya. Sedangkan ketika cewek itu menjadi sebagaimana dirinya, ia malah tidak disukai. Tidak ada yang salah dengan pergi makan, yang salah adalah konstruksi yang dibangun ketika laki-laki dan perempuan pergi makan. Cewek-cewek sebaiknya memperlihatkan keanggunan dengan sebaiknya memakan sedikit saja. Lah, bagaimana dengan saya yang memang tukang makan dan akan makan sebanyak-banyaknya selama saya masih bernafas?
Lalu kemudian saya menemukan jawabannya ketika melihat teman saya itu (bukan teman yang makan dengan pacarnya tapi teman yang makan dengan saya). Laki-laki yang ditimpakan tanggung jawab membayar maka sebaiknya ia tidak membayar banyak-banyak (konstruksi ini kemungkinan muncul dari kaum kapitalis yang mau untung banyak-banyak tapi tak mau keluar pengorbanan banyak-banyak). Biar irit kan. Oleh sebab itu, mereka membangun konstruksi bahwa cewek sebaiknya jangan makan banyak-banyak, bukan karena supaya anggun tapi supaya mereka tidak usah bayar banyak. It's not fair, mereka yang tak sanggup bayar kok kita yang disuruh redam nafsu makan. Untuk mengesahkan konstruksi itu, dibangunlah konsep buat cowok-cowok bahwa kalau cowok tidak membayar saat kencan, berarti mereka tidak gentleman. Dan cewek-cewek haruslah terpesona dengan cowok-cowok yang gentleman. Pertanyaan lain kemudian muncul : Lalu bagaimana dengan cowok-cowok yang tidak punya cukup uang untuk mentraktir ceweknya makan di luar? Apakah mereka akhirnya memutuskan menjadi bujang karena tahu besar pasak daripada tiang?
Butuh waktu bagi saya untuk memahami konsep feminisme secara benar. Saya juga lama terjebak dengan pemahaman konsep gentleman yang ditanamkan ke otak saya sejak kecil. Bahwa seharusnya cowok yang menyediakan keperluan dan melindungi cewek serta bla-bla-bla lainnya. Dengan kata lain, sebenarnya konsep gentleman ini mengecap cowok-cowok sebagai superior dan cewek-cewek hidup dalam ketek cowok-cowok gentle. Sayangnya, ketika cewek ingin mandiri dengan memutuskan bersikap adil dalam urusan bayar-membayar, harga diri cowok-cowok ini yang terluka.
Ini memang persoalan yang rumit.
PS : Saya memutuskan menata ulang sistem saya untuk departemen hubungan laki-laki dan perempuan. Kelak sistem ini akan saya gunakan sampai jika saya berumah tangga. Karena sistem ini belum rampung, saya memutuskan tidak ingin berhubungan asmara dulu. Sistem yang belum mapan dapat merusak hubungan yang baik. Lagipula saya masih ingin bebas, saya mau mengejar mimpi-mimpi saya.
4 comments
masih banyak unsur-unsur yang harus saya pelajari tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan. dan sebenarnya mungkin sudah sifat alamiah laki-laki kalo mereka memiliki gengsi yang tinggi. dan betul kata Ka Meike, kalo pada kencan seperti yg ka Meike ceritakan... kita perempuan yang hobinya makan jadi tidak menikmati makan dengan hikmat.
BalasHapusmakasih buat Ka Meike sudah membagi cerita dan pandangannya :))
sebenarnya yang menyedihkan manakala kita telah jatuh hati pada laki2 seperti itu dan ujung-ujungnya kita menyalahkan diri kitasendiri...kemudian berubah menjadi orang lain...itu sama aja dengan pembunuhan (pembunuhan karakter)
BalasHapusketika kita merasa tertindas/tertekan berarti ada yang salah....anehnya cewek suka membela keadaan itu dgn membuat pembenaran-pembenaran itu...
pelajaran pentingnya sepertinya kita harus tetap menggunakan logika sebanding dengan perasaan..hehee..
Ulalaaa..
BalasHapusTinggi sekali gengsinya di' nda mau dibantu bayar.. Syukurlah teman2ku terima ka apa adanya (re: balalak) dalam situasi apapun :))
Kalaupun ada yg dekati ka begitu modelnya, langsung ku tinggalkan Mei. Lebih sayangka sm perutku bela hahaha..
Kak Boen : hahhaa...itu mi kak saya memutuskan jadi Andie di How To Lose A Guy in 10 Days...siapa yang bertahan itu mi jodohku...asekk..:p
BalasHapus