Special Moment

Congratulation, Cure

Senin, Juni 24, 2013

Hari ini saya turut berbahagia untuk teman-teman angkatan saya di kampus yang menamakan diri Cure '09 (Communication Unique and Radical Effect). Sebagian dari mereka diwisuda hari ini. Meski tidak mengambil bagian secara langsung, saya mendukung mereka dari jauh. Khusus untuk Sakinah, saya berbahagia karena ia menjadi lulusan terbaik jurusan ilmu Komunikasi. Mungkin ini egosentris anak Jurnal, tapi dua periode wisuda ini, anak Jurnal-lah yang memegang posisi itu. hehee...

Congratulation, Cure...



(ki-ka) Sari, Titah, Putra, Pyonk, Sakinah, dan Uni ---masih ada Gina, Rina, dan Mymy yang entah dimana (foto diambil dari FB-nya Sakinah)

Aku dan Tuhan

Janji Yang Dipenuhi

Senin, Juni 24, 2013

Kemarin satu lagi Hamba Tuhan diteguhkan untuk memimpin kami. Seorang perempuan muda yang dipilih dan menjawab panggilannya sebagai Hamba Tuhan. Lewat penantian panjangnya akhirnya ia menerima anugerah itu. Setelah menyelesaikan studinya dalam ilmu Teologia juga pelayanannya sebagai vikaris (calon pendeta), akhirnya ia diteguhkan sebagai Pendeta. Tak tanggung-tanggung, Ketua Majelis Sinode sendiri yang meneguhkan ia. Di hadapan Allah dan jemaat-Nya, ia mengambil janjinya. Kami pun juga berjanji dihadapan Kristus dan dia bahwa kami sebagai jemaat akan menghormati dan menopangnya dalam penginjilan. 

Saya tidak terlalu mengenalnya secara pribadi tapi saya berinteraksi dengan dia lewat khotbah-khotbahnya setiap ibadah di gereja. Tuhan berbicara kepada manusia dengan berbagai media, termasuk khotbah seorang calon pendeta. Dalam khotbah-khotbahnya, ia selalu menekankan pada pemenuhan janji Allah. Dan dalam sambutannya tadi ia berkata, "saya sudah menunggu datangnya hari ini selama 22 tahun". Nama perempuan itu berarti "Allah yang menyelesaikan". Sejak saya mendengarkan khotbahnya itu (yang saya yakini sebagai perpanjangan lidah Tuhan), saya mengimani bahwa Allah akan selalu menyelesaikan perkara-perkara yang saya hadapi. Dalam saat teduh, ketika secara random saya membaca kitab suci, saya pernah mendapati satu kalimat "Allah yang Menyelesaikan" saya lupa di kitab mana mungkin kitab Yeremia atau Mazmur. Kalimat itu membuat iman saya segar kembali.

Kemarin juga, dalam ibadah itu seorang teman saya memenuhi panggilannya. Ia menjadi konduktor dalam ibadah akbar itu. Tidak semua orang dipercayakan menjadi konduktor memimpin paduan suara dan jemaat yang banyak itu. Dalam lingkungan Gereja, hampir semua orang adalah musisi. Kamu punya banyak saingan. Teman saya menjawab panggilannya ketika ia masih kecil. Ia sangat suka menirukan pelatih paduan suara saat memalukan nada-nada. Ibu kami berdua adalah anggota paduan suara gereja dan berkali-kali mengikuti lomba Pesparawi sejak dari mereka masih gadis. Ketika mereka sudah berkeluarga, mereka tetap menyanyi dan membawa anak-anaknya ikut melihat mereka latihan. Teman saya ini begitu bersemangat. Ia selalu bilang ibunya adalah Mariah Carey dan mami saya adalah Whitney Houston.

Gereja telah membentuk kami menjadi musisi. Kami membaca not tetapi kami juga diajar merasakan musik lebih daripada 7 nada pokok. Musik adalah pesan. Pesan itulah yang membuat lirik lebih bermakna. Tanpa musik, lirik hanyalah kata-kata. Sejak kanak-kanak sampai pemuda kami tergabung dalam paduan suara yang sama. Saya ingat waktu kecil, saya dan teman-teman memainkan lakon sedang bertanding dalam paduan suara dan tentu saja teman saya menjadi konduktornya. Waktu berjalan, dia tetap dengan paduan suaranya sedangkan saya mengembangkan talenta saya yang lain, menulis. Kami telah menjawab panggilan masing-masing. Kemarin impiannya menjadi kenyataan. Ia akan segera menjadi konduktor masa depan yang luar biasa.

Bagaimana dengan saya?
saya sedang berproses menantikan pemenuhan akan janji-janji itu. Tak lama lagi.

Special Moment

Setelah Rambo Pergi

Jumat, Juni 21, 2013

Sejak kepergian Rambo, rumah kami sering kedatangan tamu. Seekor kucing belang-belang yang suka duduk di atas meja kayu teras rumah dan seekor kucing berwarna cokelat-hitam yang suka membawa makanannya dan memakannya di atas keset. Seolah-olah ia tidak mau tulang-tulang ikannya itu terkena debu kotoran. Hal ini persis dilakukan Rambo dulu. Fakta ini membuktikan bahwa binatang itu makhluk yang cukup higienis. 

Selain kedua kucing itu, biasanya di sore hari selalu ada suara kucing yang sedang pacaran. Dalam kepercayaan masyarakat, mendengar suara kucing sedang pacaran itu pamali, bikin sial. Biasanya jika bunyi sedikit saja, Daddy akan keluar dan mengusir mereka. Pada dini hari, selalu ada suara gonggongan anjing yang arah datangnya berasal dari depan pintu pagar atau samping rumah. Kadang-kadang kalau saya mendengar suara gonggongan itu, saya lantas teringat Rambo. Gonggongan anjing itu mirip dengan gonggongannya Rambo. Pernah saya membuka pintu untuk mengecek, saat itu kira-kira jam setengah 4 subuh. Saya berharap menemukan Rambo berdiri di depan pagar. Tapi tak ada penampakan anjing disana. Kosong. 

Dalam banyak kepercayaan, makhluk hidup yang telah meninggal atau pergi tidak benar-benar musnah. Mereka hanya terpisah dimensi dengan kita. Mereka bahkan biasanya mengubah diri menjadi bentuk lain untuk menyatakan eksistensi mereka kepada yang masih hidup. Saya masih ingat cerita Mami kalau alhamarhum Opa biasanya datang dalam wujud lalat yang besar sekali bentuknya. Biasanya diikuti dengan bau parfumnya Opa sewaktu masih hidup. Suasananya memang membuat bulu kuduk merinding. Tapi itu manusia, bagaimana dengan binatang?

Saya merindukan Rambo. 
Apakah Rambo mengubah wujudnya menjadi kucing? atau dia tiap malam menggonggong untuk mengingatkan kami bahwa ia masih "ada"?

Entahlah...
Kadang-kadang konsep reinkarnasi bisa menjadi pelipur bagi seseorang yang ditinggal pergi. Ahh...mendadak saya merasa seperti Demi Moore yang ditinggal Patrick Swayze di film Ghost. 



last pic from Rambo before he went




Life Story

Sabar

Rabu, Juni 19, 2013

Dalam proses menunggu itu yang diuji adalah kesabaran dan katanya orang sabar itu disayang sama Tuhan. Saya bukan orang yang sabaran. Jadi, wajar saja jika saya harus melalui ujian dalam menaikkan level kesabaran itu. Saya harus sabar menanti doa-doa saya dijawab. Saya harus sabar melihat orang lain memiliki sesuatu yang dari dulu saya inginkan. Saya harus sabar apabila saya agak dicemooh karena tidak memilikinya. 

Sabar...sabar...sabar...mungkin ujian kedua paling sulit bagi manusia setelah ikhlas.

Saya akan berusaha sabar karena kesengsaraan menghasilkan tahan uji, tahan uji menghasilkan ketekunan, ketekunan menghasilkan pengharapan, dan pengharapan tidak mengecewakan. Itu bukan kata saya, itu kata Tuhan dan saya memegang janji Tuhan. 






PS : hari ini bertepatan dengan ulang tahun salah satu penulis favorit saya. Selamat ulang tahun Seno Gumira Ajidarma, salam sayang untuk Ike dan Timur Angin. 

Love Story

Pada Suatu Kencan

Rabu, Juni 12, 2013

aktingnya Kate dan Matthew...film ini cukup jujur meski endingnya tetap hollywood


Sekitar dua minggu yang lalu, saya diajak kencan oleh seorang cowok. Sebenarnya dia cuma teman baik saya. Rencananya kami pergi berdua untuk nonton. Orangnya cukup good looking dan punya prestasi. Dia pernah bilang pada saya (entah serius atau bercanda) seadainya kami seagama dia akan memacari saya. Saya tertawa. Saya pikir itu hanyalah becandaan. Jadi masuk akal kan kalau saya menyebutnya "kencan". Maka jadilah kencan di antara teman.

Jadi di hari yang sudah disepakati. Saya berboncengan dengannya menuju salah satu Mal. Saat itu hujan turun sedikit deras. Sebenarnya ini cukup romantis jikalau memang kami ada perasaan masing-masing tapi karena statusnya cuma teman, ini menjadi hal yang bikin bete. Saya benci jika rambut saya dalam keadaan basah. Saya suka main hujan  tapi rambut saya tidak boleh basah. Sayangnya saat itu penampilan kece kami agak luntur karena air hujan. 

Sesampai di bioskop, ternyata film yang saya incar sudah turun. Bioskop itu menayangkan satu film dengan dengan tiga studio yang berbeda. Saya jadi malas untuk nonton. Saya tidak mengikuti perkembangan film itu dari sejak sekuel yang ketiga meskipun katanya ada Joe Taslim main disitu. Akhirnya saya memutuskan untuk makan. 

Disaat itulah saya belajar sesuatu.
Teman saya memang cowok dan meskipun kami tidak pacaran tapi dia tetap laki-laki yang sudah memiliki sistem nilai sendiri entah dicangkokkan masyarakat atau dibangun sendiri. Restoran tempat kami makan cukup keren. Tapi teman saya tidak menyukainya, sayangnya saya sudah terlanjur memesan. Saya memesan steak, dia memesan nasi goreng. Perlu dicatat restoran itu cukup mahal.

Saya memang suka makan. Why? because i think a lot and I need food to supply an energy into my body. I am a thinker. Bukan karena saya ilmuwan, tapi pikiran saya suka menjelajah kemana-mana. Bahkan dalam tidur pun saya berpikir. Saya pernah membaca bahwa manusia saat sedang berpikir menghabiskan banyak energi. That's why we need to eat. Tapi, banyak juga orang yang tak punya nafsu makan jika memikirkan banyak hal, itulah sebabnya mereka jadi kurus. Tubuhnya jadi tak sehat. Ada juga orang yang karena banyak pikiran jadi selalu merasa lapar. Mungkin saya masuk di kategori orang-orang ini. Meski banyak pikiran, saya tidak bermasalah dengan penurunan berat badan. 

Kembali kepada teman saya, sambil makan ia banyak cerita tentang kisah percintaannya. Peran saya disitu sebagai pendengar yang baik sambil sesekali memberi nasehat. Belajar komunikasi membuat kita jadi orang yang pintar ngomong. Dia takjub mendengar opini saya yang saya rasa sendiri lebih terdengar seperti omong kosong. Dan....tibalah saat itu. Dia sudah kenyang, tetapi saya masih lapar. Jadi saya mau memesan desert. Saya mengatakan padanya, biar saya saja yang membayar desert ini. Meskipun pada awalnya dia yang mau traktir, tapi saya tetap tak enak hati. Apalagi makanan yang saya pesan cukup mahal. Tapi dia memaksa untuk membayar semua makanan itu.

Dia melihat saya makan dengan lahap. Entah apa yang ada di kepalanya. Saat pelayan datang membawakan bill, dia langsung mengeluarkan dompet dan buru-buru membayar. Saya menahannya, yakin mau bayar desert ini? Saya lantas ikut mengeluarkan dompet, tapi dia menggeleng, memaksa membayar semua makanan itu. Disitulah saya melihat bahwa laki-laki (teman saya ini adalah representasi dari laki-laki) sangat takut kehilangan harga dirinya. Ia tak mau terlihat "tak mampu" membayar makanan itu. Ia harus bersikap superior. Ia tidak membiarkan saya sendiri membayar makanan itu bukan karena ia berbaik hati mau mentraktir saya tapi karena dia tak mau kehilangan gengsinya. Padahal di pikiran saya, ini supaya adil. Dia tidak perlu membayar tambahan makanan saya. Tapi rupanya ia berpikiran lain, baginya saya seperti tidak tahu diri makan terlalu banyak. 

Setelah acara makan-makan itu saya menerima hukuman. Ia tak mau jalan di samping saya. Jadi kalau bukan dia yang jalan di depan saya, saya yang jalan di depan dia. Ketika ia bertemu teman-temannya ia tak mau memperkenalkan saya. Disitu saya mendapat pelajaran kedua. Laki-laki itu malu. Malu memiliki konotasi. Pertama malu konotasi positif, ia malu sekaligus takut dikira jalan dengan pacarnya dalam hal ini saya yang seorang perempuan dan kita tahu bahwa di Makassar jalan dengan teman perempuan selalu disimpulkan sebagai pacar. Kedua malu konotasi negatif, ia malu jalan dengan saya karena mungkin dia memang tak mau dilihat jalan dengan saya. Hal ini disebabkan karena  ia merasa saya tidak memenuhi kriteria perempuan yang patut dikenalkan ke teman-temannya. Pertama saya bukan tipe cewek model, kedua saya sudah menguras dompetnya sampai habis. 

Sebagai orang komunikasi, kita cukup memahami bahasa non verbal seseorang. Apakah ia nyaman atau tidak. Tanpa tedeng aling-aling, saya menanyakan apakah ia malu jalan dengan saya. Teman saya spontan mengatakan bahwa ia memang terbiasa jalan cepat sambil tertawa kecut. Lima menit kemudian dia pamit meninggalkan saya di Mal. Katanya dia harus menghadiri sebuah rapat. Kami berpisah di Mal, disaat itulah saya tahu saya membuatnya ilfeel (ilang feeling) dan syukurlah kami tidak pacaran.

***

Kejadian itu mengingatkan saya pada film How To lose a Guy in 10 Days. Dimana Kate Hudson berusaha melakukan apapun yang membuat cowok-cowok ilfeel sedangkan Matthew McConaughey berusaha mempertahankan Kate. Cowok ilfeel kalau cewek terlalu banyak makan. Saya ingat pada teman saya waktu SMP. Teman saya ini pergi dinner dengan pacarnya dan hanya mau makan salad meskipun sebenarnya dia kelaparan setengah mati. Katanya nanti cowoknya ilfeel kalau ia makan banyak. Ia juga malu kalau makan banyak di depan cowoknya. What's wrong with eating department?

Kadang-kadang saya bingung ketika ada laki-laki yang bilang bahwa ia menyukai cewek yang apa adanya. Sedangkan ketika cewek itu menjadi sebagaimana dirinya, ia malah tidak disukai. Tidak ada yang salah dengan pergi makan, yang salah adalah konstruksi yang dibangun ketika laki-laki dan perempuan pergi makan. Cewek-cewek sebaiknya memperlihatkan keanggunan dengan sebaiknya memakan sedikit saja. Lah, bagaimana dengan saya yang memang tukang makan dan akan makan sebanyak-banyaknya selama saya masih bernafas?

Lalu kemudian saya menemukan jawabannya ketika melihat teman saya itu (bukan teman yang makan dengan pacarnya tapi teman yang makan dengan saya). Laki-laki yang ditimpakan tanggung jawab membayar maka sebaiknya ia tidak membayar banyak-banyak (konstruksi ini kemungkinan muncul dari kaum kapitalis yang mau untung banyak-banyak tapi tak mau keluar pengorbanan banyak-banyak). Biar irit kan. Oleh sebab itu, mereka membangun konstruksi bahwa cewek sebaiknya jangan makan banyak-banyak, bukan karena supaya anggun tapi supaya mereka tidak usah bayar banyak. It's not fair, mereka yang tak sanggup bayar kok kita yang disuruh redam nafsu makan. Untuk mengesahkan konstruksi itu, dibangunlah konsep buat cowok-cowok bahwa kalau cowok tidak membayar saat kencan, berarti mereka tidak gentleman. Dan cewek-cewek haruslah terpesona dengan cowok-cowok yang gentleman. Pertanyaan lain kemudian muncul : Lalu bagaimana dengan cowok-cowok yang tidak punya cukup uang untuk mentraktir ceweknya makan di luar? Apakah mereka akhirnya memutuskan menjadi bujang karena tahu besar pasak daripada tiang?

Butuh waktu bagi saya untuk memahami konsep feminisme secara benar. Saya juga lama terjebak dengan pemahaman konsep gentleman yang ditanamkan ke otak saya sejak kecil. Bahwa seharusnya cowok yang menyediakan keperluan dan melindungi cewek serta bla-bla-bla lainnya. Dengan kata lain, sebenarnya konsep gentleman ini mengecap cowok-cowok sebagai superior dan cewek-cewek hidup dalam ketek cowok-cowok gentle. Sayangnya, ketika cewek ingin mandiri dengan memutuskan bersikap adil dalam urusan bayar-membayar, harga diri cowok-cowok ini yang terluka. 

Ini memang persoalan yang rumit.



PS : Saya memutuskan menata ulang sistem saya untuk departemen hubungan laki-laki dan perempuan. Kelak sistem ini akan saya gunakan sampai jika saya berumah tangga. Karena sistem ini belum rampung, saya memutuskan tidak ingin berhubungan asmara dulu. Sistem yang belum mapan dapat merusak hubungan yang baik. Lagipula saya masih ingin bebas, saya mau mengejar mimpi-mimpi saya. 

Life Story

The Journey

Selasa, Juni 11, 2013

Monas, Gambir jam 05.00 WIB



Saya rasa Tuhan itu romantis. 

Dia tahu saya sedang mengharapkan hal itu. Dia tahu saya sedang berjuang untuk mendapatkannya. Dia tahu bahwa sebenarnya saya tidak perlu segalau itu karena toh segala jalan ini memang mengarah kesana. Tapi Ia memang romantis, meskipun caranya tidak saya sukai.

***

Saya tidak pernah ke pulau Jawa. Hal inilah yang membuat Pulau Jawa menjadi tempat yang penuh dengan impian. Impian akan masa depan, bertemu keluarga besar saya (sebagian besar keluarga dari pihak Mami ada disana), dan diam-diam saya mengharapkan cinta dari cowok Jawa (bleh..bleh..blehh). Pusat kehidupan Indonesia memang berada di pulau Jawa, apalagi Jakarta, sehingga kota itu memang menjadi impian bagi banyak orang. Teman-teman saya banyak yang sudah pernah kesana. Malah ada yang memang berasal dari sana. Waktu SD, mereka selalu menceritakan pengalaman liburan mereka ke Jakarta. Saya sendiri hanya senyum-senyum, malu untuk mengakui tidak pernah kesana. Untuk menutupi ketidaktahuan, saya banyak membaca buku seputar Jakarta, termasuk tempat pariwisatanya dan terutama sejarahnya. Sehingga saya bisa menimpali mereka dengan cerita yang tidak lazim mereka tahu. Saya juga memiliki kelebihan dalam menirukan logat beberapa daerah di Indonesia tanpa okots, termasuk logat Jakarta. Percaya atau tidak, orang-orang di KBRI memuji kemampuan saya berlogat ke-Jawa-Jawaan- atau ke-Jakarta-Jakartaan. Menurut mereka saya tidak nampak terdengar dari Makassar. 

Orang tua saya sebenarnya mampu membawa saya liburan kesana. Mereka malah hobi kesana. Saya masih ingat waktu Daddy masih menjabat sebagai kepala kantor Koperasi Asuransi Indonesia (KAI)--sekarang kantor itu sudah tidak ada di Makassar-- beliau sering ke Jakarta, bahkan wilayah lain di Indonesia seperti Kalimantan, NTB, Bali, dan Sulawesi. Setiap abis dinas dari Jakarta, beliau membawakan mainan-mainan bagus, terakhir mainan roger-roger (semacam handy talk yang bisa menangkap suara sejauh 3 rumah). Ia juga memiliki satu album foto dengan badut bekantan di Dufan. Sama seperti Daddy, Mami juga begitu. Bedanya ia kesana dalam occasional tertentu seperti pendidikan kantor, lomba Pesparawi, atau acara keluarga. Dan tebak, saya tidak pernah dibawa kesana.

Tahun lalu saya menginjakkan kaki ke Jakarta. Tapi hanya sejauh bandara Soekarno-Hatta. Itupun dalam rangka transit pesawat yang saya tumpangi dari Bangkok ke Makassar. Ini patut disyukuri, setidaknya saya pernah ke Jakarta. Namun, ada pameo yang mengatakan," Siapapun yang belum melihat Monas, berarti   belum berada di Jakarta". Maka jelaslah nasib saya.

Lalu datanglah hari itu. Hari dimana grasa-grusu itu dimulai. Saya benar-benar takut saat itu. Hanya ada satu nama yang saya sebut tiap saat, nama-Nya. Tiba-tiba saja saya diajak untuk berpikir melihat secara berlawanan arah. Orang bule bilang, "Hey, look up the bright side...find the silver lining...". Kau harus mampu mengubah kemalanganmu dan menjadikannya sebuah berkah. Lalu saya berpikir, setidaknya saya akan menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Bukan hanya Jakarta tetapi juga Yogjakarta. 

***

Maka perjalanan itu dimulai menuju Yogyakarta lewat Jakarta. Lagi-lagi saya hanya mampu melihat Jakarta sebatas bandara. Setelah menyelesaikan urusan di Yogya, saya dan Mami berencana untuk langsung pulang ke Makassar namun kami merubah itenerary. Ada kekuatan yang menggerakkan kami menuju Jakarta malam itu. Rencananya kami akan naik kereta malam dari stasiun Tugu ke stasiun Gambir, Jakarta. Sebelumnya, saya masih menyempatkan diri menikmati Yogya sore itu. Saya melihat suatu penglihatan: Gunung Merapi di sore hari. Disiram kabut dan samar-samar cahaya matahari (meskipun sore itu gerimis). Begitu agung, begitu hening. Tiba-tiba saya mendapatkan filosofi ringan, "cowok Jawa itu kayak Gunung Merapi, terlihat hening padahal membara di dalam...". Well, sebelum berangkat ke stasiun Mami mengajak saya melihat-lihat ke Malioboro, Alon-Alon, dan Keraton. Hanya Tuhan dan Katon Bagaskara yang tahu bagaimana saya jatuh cinta pada Yogyakarta. 

***

Kalian pernah nonton film Titanic? Pasti pernah dong, itu adalah salah satu film yang masuk dalam daftar 100 film yang harus ditonton sebelum mati. Masih ingat adegan ketika Rose--setelah apa yang terjadi dengannya dan kapal Titanic---akhirnya melihat patung Liberty? Begitulah kira-kira perasaan saya ketika tanpa sengaja keluar dari indomaret yang ada di salah satu bagian stasiun Gambir. Niatnya cuma jalan-jalan, menghirup udara setelah merasa sepet di dalam kereta. Tapi apa yang terjadi ketika saya mendongak....Monumen Nasional a.k.a Monas pada jam 5 subuh, berdiri dengan megahnya, disirami lampu warna-warni. Langit masih gelap tapi pendar emasnya tetap berkilau. Saya telah ada di Jakarta. Hati saya mendadak hangat, senyum saya mengembang, kalau Tuhan ada disitu, sudah saya cubit-cubit Dia. 

***

Silver lining dari perjalanan  ini adalah saya bertemu dengan keluarga saya yang selalu saya doakan dalam setiap doa-doa saya. Setelah bertahun-tahun tidak berjumpa saya bertemu Opa Hengky, Oma Pop, Tante Beby, Tante Ayon, dan ketiga sepupu saya : Willy, Raphael, dan Ray. Opa Hengky masih kuat seperti dulu. Oma Pop telah berangsur-ansur pulih dari serangan stroke-nya. Memori beliau agak terganggu, sehingga ia tidak ingat apa yang ia lakukan 5 menit yang lalu. Tante Ayon adalah tante paling keren yang pernah saya punya, kebetulan beliau baru pulang dari Belanda, beliau cukup sibuk dengan pekerjaannya, sehingga ini sebuah keberuntungan bisa bertemu dengannya. Minggu itu saya habiskan dengan mereka. Meskipun tidak menjelajahi Jakarta seperti yang dicita-citakan, tapi ini adalah sebuah perjalanan. Tentang makna kebersamaan dan kekeluargaan. Tentang harapan dan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita. Ini adalah perjalanan pembaharuan iman, apakah kau akan tetap bertahan dan yakin teguh atau kau mundur dan menyerah. 

***

Saya yakin Tuhan itu romantis, meskipun caranya tidak saya sukai. 
Tidak heran manusia suka mendramatisir, Tuhan yang menciptakan kita lebih jago lagi mendrama. Dalam perjalanan pulang ke Makassar, saya tidak habis-habisnya berpikir, bagaimana mudahnya Tuhan membolak-balikkan sesuatu. Ia hampir membuat saya lebih memilih mati namun dengan jentikan jarinya Ia membuat saya tak sabar untuk menantikan hari esok. Ia mematahkan banyak ramalan manusia. Ia membuktikan Dia-lah yang berkuasa. Seperti dalam Silver Lining Playbook, kata "Exolcior" kalau tidak salah dalam bahasa Yunani berarti "kuasa". In excelsis Deo.

...dan hari itupun berakhir dengan senyum penuh kelegaan. 

Life Story

Tak Ada Teman dan Musuh Yang Abadi

Selasa, Juni 11, 2013

Dari dulu saya selalu merasa memiliki insting atau bisa juga disebut firasat mengenai seseorang atau sesuatu. Saya pun yakin bahwa manusia pada dasarnya memang dilengkapi dengan kemampuan beradaptasi termasuk memiliki perasaan "diterima" dan "ditolak" dalam sebuah kelompok atau tempat. Jadi sebenarnya saya tidak mesti merasa terlalu istimewa dengan perasaan-perasaan itu.

Perasaan itu muncul sejak beberapa bulan yang lalu, perasaan "diasingkan" atau "ditolak" oleh kelompok dimana dulu kami mengangkat diri sebagai saudara. Setelah apa yang terjadi pada saya, mereka tiba-tiba berubah menjadi musuh dalam selimut. Mereka tidak siap menerima perubahan dan mampu bertahan dalam perbedaan yang terjadi. Setiap kali saya melihat mereka yang saya rasakan adalah aura rasa iri yang luar biasa. Dulu kami bisa saling bercanda namun sekarang candaan itu penuh dengan rasa benci. Mereka tersenyum namun di belakang mereka habis-habisan menceritai saya. Sayangnya, di antara mereka sendiri pun juga saling membenci, saling menceritai satu sama lain, sangat menyedihkan. Rasa persaudaraan dan kekompakan itu dihargai sebatas pergi ke rumah bernyanyi. Dimana kamu ketika saudaramu difitnah orang?Dimana kamu ketika ada temanmu lapar?

Apa yang salah dengan menjadi berbeda?
Mereka mendadak menjadi komunis dengan merasa bahwa semua orang harus berjalan sejajar dengan mereka. Faktanya bahkan di negara-negara komunis sekalipun akan ada satu Kamerad yang menjadi pemimpin. See, tak pernah ada masyarakat tanpa kelas. Tak pernah ada manusia yang bebas nilai. Karena toh tetap ada yang menguasai dan dikuasai, mungkin itu juga salah satu insting manusia yaitu untuk berkuasa. Jika kamu percaya Tuhan adil, maka kita tidak perlu iri dengan rejeki orang lain. Karena masing-masing kita memiliki rejekinya masing-masing. 

Hal yang paling menyakitkan hati adalah orang yang kau percayai ternyata mengkhianatimu. Iya, ia berubah menjadi mereka. Anehnya meski saya marah padanya, saya malah tetap mengingat kebaikan-kebaikannya. Orang-orang bilang "tak ada teman dan musuh yang abadi".  Bagi saya, kemalangan seseorang adalah ketika ia tidak mengenali siapa temannya daripada siapa musuhnya. 

Ini adalah pelajaran terakhir yang diberikan kampus pada saya. Tak ada seorang pun yang bisa kau percayai. Di kota yang baru nanti, saya berharap saya tidak akan lengah. Oma Pop --meski dalam kelemahan fisik-- telah berpesan untuk tetap berhati-hati. Orang-orang disana jauh lebih kejam, mereka bahkan mampu menghalalkan segala cara. 

Yah...hidup memang bukan jalan tol yang selalu mulus.