Selamat Jalan, Mbah...
Selasa, Januari 29, 2013
Kami semua memanggil perempuan tua itu dengan sebutan Mbah.
Selama belasan tahun mengenalnya ia selalu tampak sama, sepuh dan rapuh. Kehadirannya selalu menimbulkan rasa sayang bercampur iba. Namun, ia tak pernah mau menyusahkan orang. Tak mau juga terus-terusan bergantung pada orang. Dalam hari tuanya, ia berjuang untuk bertahan hidup juga melawan kesendiriannya dengan berjualan kue. Hasil jualan kue itulah yang memberinya kehidupan. Di hari-hari khusus, Gereja juga memberinya amplop diakonia untuk menambah pundi-pundinya.
Umur saya mungkin masih 7 atau 8 tahun waktu bertemu Mbah. Ia sudah lama tinggal dalam gubuk kecil di belakang rumah Oma Ati. Oma Ati adalah kakak tertua Oma Lin (Oma kandung saya). Satu-satunya alasan mengapa ia dipanggil Mbah karena ia berasal dari Jawa dan keberadaannya di rumah itu adalah karena kemurahan hati Opa Minggus, suami Oma Ati dan Oma Ati yang senang menampung orang untuk tinggal di rumahnya. Menurut wasiat Opa Minggus, Mbah tidak boleh keluar dari rumah sampai ia meninggal. Mbah sudah tidak punya keluarga lagi. Ia juga tak punya suami atau anak. Entah ia pernah memilikinya atau tidak pernah sama sekali. Seperti rumah tua, kehidupan Mbah adalah misteri bagi saya. Saya sering bertanya-tanya seperti apa kehidupan Mbah dimasa mudanya.
Kadang-kadang kita memandang kasihan orang yang menjalani kehidupannya seorang diri. Kita mungkin pernah bertanya-tanya bagaimana bila mati dalam keadaan tak ada sanak saudara yang menangisi kita. Tak ada anak-cucu yang kehilangan kita. Bahkan untuk menyebutkan apakah ada kekasih yang terpukul atas kepergian kita merupakan sebuah ironi yang besar. Mbah meninggalkan warisan bagi saya, bukan sebuah kumpulan resep kue buatannya apalagi emas permata. Mbah meninggalkan pelajaran penting bahwa kita harus tetap bertahan hidup dan berjuang melawan kesendirian kita. Musuh manusia adalah perasaan ditinggalkan, kesepian, dan penolakan. Satu-satunya cara untuk hidup adalah keberanian untuk menjalaninya dengan ikhlas. Mbah memiliki keberanian itu. Keberanian yang membuatnya kuat dalam usia yang sudah senja.
Saya lalu teringat penggalan bait puisi yang dikarang oleh Aslan Abidin, seorang penyair dari Sulawesi Selatan: "Tak ada yang mencintaimu setulus kematian". Mungkin kematian-lah yang paling mencintai Mbah. Kematian-lah yang menjadi pahlawan untuk menghentikan penderitaan Mbah. Kematian-lah yang memeluk dan menjemputnya untuk kembali mengecap kebahagiaan. Ya, kematian-lah kekasihmu, Mbah.
Selamat jalan, Mbah.
PS : setelah ia meninggal, saya baru tahu kalau namanya Mbah adalah Dewi Ribka.
2 comments
Wah saya mungkin tidak akan bisa seperti mbah >.< Hal yang paling saya takutkan adalah tetap hidup sedangkan orang-orang yang saya cintai telah tiada >.<
BalasHapusfeels lonely is the most poison
BalasHapus