Adakalanya kita sering bersama-sama...
Adakalanya kita harus berbagi...
Adakalanya kita berpisah sementara untuk yang lain...
Menjadi The Last Person itu tidak enak. Semua hal yang dahulu dilakukan bersama-sama perlahan-lahan harus dikurangi atau bahkan dihilangkan. Kadang dengan tegar kita harus berdiri di atas kaki sendiri dan tersenyum meski sebenarnya hati teriris tak rela untuk mengakui bahwa sebenarnya kita kalah.
Menjadi The Last Person bukan menjadi cita-cita saya. Pernah terbayangkan dalam imajinasi saya keadaan ini. Dimana tinggal saya saja yang berdikari sedangkan teman-teman saya yang lain bermonogami. Tapi, saya tidak menduga secepat ini. Saya bisa merasakan tatapan tidak enakan dari mereka. Tatapan kasihan dari orang-orang dan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya sebenarnya mereka sudah tahu tapi sengaja diumbar. Entah untuk melucu atau sengaja untuk menyakiti saya. Maaf, Tapi saya tidak butuh dikasihani. Maaf, saya sudah pernah disakiti jadi saya sudah kebal dengan rasa sakit.
Menjadi The Last Person berarti saya harus bisa mengerti dan memahami mereka. Saya harus beradaptasi dengan keadaan mereka. Di saat mereka membutuhkan saya, saya akan hadir dan menolong. Tapi saya meragu, jika saya yang meminta pertolongan apakah mereka akan sama antusiasnya seperti yang saya lakukan kepada mereka?
Menjadi The Last Person, saya harus tahu diri. Kapan harus bersama dengan mereka, kapan harus berpisah dengan mereka. Saya harus menempatkan diri. Saya harus tahu kapan kereta api itu berangkat dan kapan ia akan tiba. Saya harus pegang kuncinya, kalau saya tidak ingin kehilangan mereka. Jelas, saya tidak ingin kehilangan mereka, mereka yang terbaik.
Menjadi The Last Person, saya harus sabar dan pengertian. Yah, menjadi orang yang pengertian. Sebab saya tahu, jika keegoisan saya muncul, semuanya akan hancur. Dan saya butuh kesabaran untuk melengkapinya.
Menjadi The Last Person? kenapa tidak...